Gaun warna merah muda pucat itu mengembang apik. Tidak terlalu tinggi, tetapi cukup untuk menambah kesan khas wanita bangsawan yang anggun di tubuhku.
Aku tersenyum cerah. Gerbang besar Kastil Agradhipa ini seolah membuat semangatku yang kemarin runtuh bangun kembali. Putra Mahkota turun, mengulurkan tangan untuk membantuku turun dari kereta kuda yang langsung kusambut dengan senang hati.
Suasana sepi Kastil Agradhipa selalu membuatku merasa pulang.
"Kakak!" Gyan sudah berteriak, menghampiri. Aku bisa melihat dia masih mengenakan seragam sekolahnya, menghambur ke pelukanku. Aku mengusap rambutnya perlahan.
"Beri salam pada Putra Mahkota dulu, Gyan," suruhku, melirik Putra Mahkota yang tampak ikut tersenyum senang. Gyan melirik Putra Mahkota, menolehkan kepala sepenuhnya dengan mulut menganga.
"Jadi ini Putra Mahkota? Wow." Gyan mengatupkan mulutnya takjub. Putra Mahkota tertawa geli saat Gyan membungkuk hormat, tangan pria itu dengan santai mengelus pucuk kepala Gyan.
"Kakak Rajendra, panggil saja begitu." Putra Mahkota tersenyum hangat. Aku terpaku, menatapi wajahnya yang mendadak begitu berkharisma.
Kakak, katanya?
Sampai sekarang saja aku masih memanggilnya 'Yang Mulia'.
"Wah, keren! Kakak Rajen," celetuk Gyan, membuatku menatapnya horor. Tetapi Putra Mahkota malah menggamit lenganku, menggelengkan kepala.
"Ayo masuk, Sienna," ajaknya, membuatku menghela napas panjang.
Siapa tuan rumah di sini sebenarnya?
Abiyya duduk di kursi taman. Adikku itu asik mengelus-elus kucing, membuatku menggeleng-gelengkan kepala. Putra Mahkota berhenti sejenak untuk memerhatikan, tersenyum geli sembari menepuk bahuku pelan.
"Sudah baikan? Bagaimana perasaanmu?" tanya Rajendra, begitu hangat. Kalimatnya bertenaga, membuatku menatapnya kehilangan kata-kata.
Kepalaku perlahan mengangguk. Menatap Abiyya yang berdiri di hadapanku, membungkuk memberi penghormatan untuk Putra Mahkota dengan ogah-ogahan membuatku tertawa kecil.
Mataku basah. Abiyya menyadari aku menangis, anak itu langsung menonjok bahuku tanpa aba-aba, membuatku refleks berteriak sembari melotot.
"Aduh, sakit!" teriakku kesal, melemparkan tatapan tajam. Abiyya hanya mengendikkan bahunya tak peduli, sementara Rajendra menatapku dan Abiyya kaget.
"Suruh siapa menangis segala. Alay," cibirnya, membuatku melotot tak suka. Putra Mahkota menelan ludah, kehilangan kata-kata.
"Ini memang cara dia mengekspresikan rasa sayang," bisikku, melirik Abiyya yang berbalik meninggalkanku, berjalan ke arah bangunan utama. Rajendra terpaku, sedetik kemudian pria itu tertawa lepas, membuatku menatapnya aneh.
"Kenapa?" tanyaku, memandanginya bingung. Tawanya benar-benar horor, aku baru kali ini melihatnya tertawa lepas. Jabatannya sebagai putra mahkota membuat ia seolah orang yang tak bisa kusentuh, membuatku heran ketika ia tertawa sebegitu lepasnya.
"Aku pernah mencubit keras Lakeisha karena rindu," tuturnya jujur. Putra Mahkota masih melanjutkan tawanya sampai keluar air mata. Aku meringis pelan.
Yaa, tidak hanya aku yang rindu. Tidak hanya aku yang kesepian. Tidak hanya aku yang sendirian.
Pria itu pasti lebih merasakannya dariku, hanya saja ia memilih untuk tidak menampakkannya.
**
Ruang keluarga rumahku itu terasa begitu gelap. Entah efek jendela yang ditutup, atau memang hawa Ayah dan Ibu yang tampak berbeda saja. Aku tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Historical FictionSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...