XXVII. Surat Berharga

1.3K 153 10
                                    

Pagi-pagi Putra Mahkota sudah pergi ke bangsal prajuritnya. Katanya mau berlatih pedang. Aku melemaskan otot-ototku setelah sarapan. Hari kedua pelatihan, aku akan mengunjungi kantor keuangan Istana. Tugas pertama seorang Ratu setelah melahirkan keturunan adalah mengurus arus kas Istana.

Dan dalam hal ini, aku juga akan mengurus anggaran pernikahanku sendiri. Paramita menunjukkan langkahku. Ratu Manohara datang begitu aku sampai di persimpangan menuju gedung pusat keuangan.

Ratu Manohara datang bersama salah satu dayangnya. Seperti biasa, wanita itu tersenyum senang. Gurat wajah yang begitu tegas itu, terkadang tampak sangat menenangkan di mataku.

"Sudah sarapan, Sienna?" Seperti biasa, Ratu Manohara akan menyapa lebih dulu.

Terkadang hal itu membuatku tak enak, karena tak sopan rasanya membiarkan seorang Ratu berbicara lebih dulu tanpa memberi penghormatan.

Aku membungkuk hormat, tersenyum kikuk.

"Sudah, Yang Mulia."

"Baguslah. Putra Mahkota itu suka melewatkan sarapan kalau tidak punya teman makan." Ratu Manohara menyejajari langkahku. Kepala dayang mundur satu langkah.

Kami tiba di kantor keuangan Istana, pelayan dan pengawal langsung menunduk hormat. Beberapa pegawai negeri yang berlalu lalang menunduk, Ratu Manohara memanduku melangkah masuk.

Suasana vintage khas dengan kayu jati berlapis, lampu gantung serta lantai bercorak abstrak membuat kantor keuangan Istana itu terkesan begitu ramah dan hangat.

Ratu Manohara melangkahkan kakinya, memanduku menuju ruangan yang terletak di pojok lorong, yang dijaga beberapa pengawal. Salah satu pengawal membukakan pintu, aku melongo melihat isi ruangan ini.

Ruangan bernuansa putih bergaya Amerika klasik itu dipenuhi brankas yang berjejer di atas meja. Aku bisa melihat emas batangan satu kilogram yang disusun rapi di lemari kaca penuh penjagaan ketat. Beragam dokumen, surat-surat tanah, obligasi. Surat berharga. Surat kepemilikan saham. Mataku dengan cepat meneliti semua benda di ruangan ini, semua tampak sangat berkilauan.

Duh. Ini isinya uang semua!

"Ini harta benda kerajaan, Sienna." Ratu Manohara mengajakku mengamati emas batangan entah berapa kilogram yang di atasnya diukir simbol kerajaan Naladhipa yang berbentuk matahari dan neraca.

"Semua barang-barang ini milik kerajaan, diwariskan turun-temurun. Secara fakta ini milikku dan Yang Mulia Raja. Tetapi saat besok kamu dan Rajendra menjabat, aku harap kalian tidak gegabah dan menjual aset-aset ini sesuka kalian." Ratu Manohara menatapku penuh harap dengan senyum mengembang.

Jantungku berdentum. Emas-emas ini membawa sensasi berbeda. Ratu Manohara beralih ke salah satu brankas, mengetikkan kode, lalu membukanya.

"Ini berkas investigasi kematian Mendiang Raja yang tahun-tahun kemarin." Ratu Manohara menyerahkan berkas itu padaku, membuat tanganku gemetar saat menerimanya.

"Ibu tahu benar semua ini ada keterkaitannya, Sienna. Mendiang Ratu berwasiat pada Jbu untuk memilihmu jadi putri mahkota selanjutnya. Ibu pada awalnya tidak paham, tidak mengerti. Tetapi semakin ke sini, Ibu sadar semuanya berkaitan." Ratu Manohara mengusir Paramita, memerintahkan dayang-dayang yang lain untuk keluar dari ruangan.

"Kebenaran kalau Mendiang Ratu dan Putri Dayana adalah saudara tiri ibumu, Ibu jadi paham kalau semuanya memang berkaitan. Mendiang Ratu percaya kalau kamu anak yang baik, tidak seperti yang Putri Dayana bayangkan terhadap keluargamu." Ratu Manohara menatapku penuh makna.

Aku tak mampu berkata-kata. Kalimat Ratu Manohara itu ... Aku merasa tersanjung saat beliau membahasakan dirinya sebagai ibu untukku.

"Ibu harap ke depan, kamu bisa menjalin komunikasi yang baik dengan Rajendra. Anak Ibu yang satu itu benar-benar baik hati. Penurut, kadang dia lebih memikirkan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Walau pernikahan kalian awalnya keterpaksaan, Ibu sangat berharap kalian menikah dengan cinta, Sienna."

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang