XXXIII. Pingsan

1.5K 138 27
                                    

Aku meminum tehku di tempat tidur. Pagi ini benar-benar melelahkan. Pinggangku sakit, sekujur tubuhku sakit.

Setelah hampir tiga hari penuh melawan sihir bersama Putra Mahkota, pengaruh sihir itu hampir hilang.

Walau sebagai gantinya, bercak-bercak kemerahan itu membekas di berbagai tempat. Aku hanya meringis ketika Hevina dan beberapa pelayan lain memandikanku. Kondisi tubuhku tidak memungkinkan untuk mandi sendiri.

"Tidurmu nyenyak?" Rajendra masuk dari pintu. Pria itu tampak segar, berbeda dengan aku yang justru tampak lesu.

Kalau kemarin-kemarin tubuhku lemas dan panas karena sihir, maka sekarang tubuhku lemas karena hal yang berbeda.

Hari setelah pernikahan memang terasa berbeda. Apalagi Putra Mahkota minta dipanggil dengan namanya sendiri, walau terkadang aku masih kikuk dan sungkan.

Untungnya aku tidak terlalu kaget. Aku sudah lumayan lama menempati Paviliun Matahari. Pindah kamar ke kamar Putra Mahkota tidak terlalu membuatku culture shock.

"Lumayan," balasku, mengambil potongan alpukat dengan garpu. Ratu Manohara beberapa hari ini selalu mengirimkan buah-buahan yang harus kuhabiskan, komplit dengan jamu yang katanya untuk menguatkan rahim.

Aku baru menikah tiga hari. Resepsi saja belum. Tetapi Ratu Manohara bilang ia tidak mau ambil resiko. Sihir Putri Dayana bisa saja membuatku mengalami hal yang tidak disangka.

Rajendra duduk di tepi ranjang, mencomot buah beri yang ada di piring.

"Masih ada waktu tiga hari sebelum resepsi, Sienna. Fokus saja istirahat," suruh Putra Mahkota. Aku mengunyah alpukatku sambil mengangguk.

Tubuhku sudah tidak terasa panas.  Aku juga sudah biasa saja saat bersentuhan dengan Putra Mahkota. Sensasi seperti tersetrum atau apalah itu juga sudah menghilang.

Tetapi aku tetap harus berhati-hati. Kakek Karna juga terus memantau kondisiku, katanya tidak ada yang tahu sihir itu akan bekerja seperti apa.

"Yang Mulia," panggilku pelan. Putra Mahkota yang duduk di tepi ranjang mendengkus sebal.

"Rajendra, Na."

"Kakak, kalau begitu. Tidak sopan aku panggil Rajendra, Yang Mulia lebih tua empat tahunan dariku." Aku menyanggah. Tetapi hal itu memang benar.

Memanggil Putra Mahkota memakai namanya sendiri terasa begitu ... Ya, canggung bagiku.

"Terserah kalau begitu." Putra Mahkota memalingkan muka, aku bisa lihat ekspresinya yang tampak mengerucutkan bibir. Aku tertawa kecil.

"Bagaimana dengan penelitian wabah?" Aku tiba-tiba terpikir hal lain. Beberapa hari hanya di istana membuatku ketinggalan banyak berita.

Mungkin Putra Mahkota benar, aku harus fokus pada penyembuhanku. Tetapi menjadi putri mahkota, aku harus bertanggungjawab atas banyak hal.

Wabah. Suatu hal yang bisa membuat negara ini kolaps karena serangan virus berbahaya yang membuat rakyat menderita. Putra Mahkota terdiam mendengar pertanyaanku.

"Tidur dulu saja, Sienna. Tidak usah memikirkan hal lain," titahnya, membuatku menghela napas panjang.

"Itu tanggungjawabku juga, Yang Mulia. Apa tidak ada kabar dari Putri Alamanda?" Aku bertanya lagi. Setengah memaksa Rajendra agar memberi jawaban.

Tetapi sia-sia. Putra Mahkota justru bangkit dari ranjang, kepalanya menggeleng.

"Aku yang akan mengurusnya. Tidur saja dulu sampai besok. Kalau dokter dan Kakek Karna bilang kondisimu sudah memungkinkan, aku yang akan mengajakmu ke Akademi Pusat." Putra Mahkota berjalan ke luar kamar, membuat aku melengos pelan.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang