LXV. Kupu-kupu

800 81 7
                                    

Aku duduk di kursi roda. Putra Mahkota mendorongku pelan, membawaku pada pintu utama Paviliun Matahari yang terasa berbeda.

Baru aku masuk ke dalamnya, aku merasa asing dengan interior ini. Sofa-sofa yang berbeda. Lukisan yang berpindah tempat. Pembatas ruangan yang berbeda. Aku mendongakkan kepala, menatap Rajendra penuh tanya.

Rajendra menyadari tatapanku, hanya membalas dengan senyum tipisnya. Ia mendorong kursi rodaku menuju kamar kami dengan seulas senyumnya. Aku akhirnya menyerah, memilih mengikuti permainannya.

Bisa kupastikan seluruh kondisi paviliun sangatlah berubah. Tatanan meja dan kursi yang berubah. Tatanan pajangan dinding dan dekorasi lainnya juga berpindah. Begitu pula kamar kami. Ranjang kami berbeda. Aku menatap berbinar hiasan kupu-kupu yang ada di tiang-tiang kelambu. Lukisan yang ada di dindingpun diganti.

Suasananya jadi lebih hangat. Lebih nyaman. Bunga lavender yang ada di vas juga terlihat cantik. Rajendra tersenyum simpul melihatku yang memandangi seluruh isi ruangan dengan mata berbinar.

"Kamu suka?" Rajendra bertanya. Aku menganggukkan kepala cepat.

"Cantik. Siapa yang desain?" Aku bertanya penasaran. Sepertinya aku koma tidak terlalu lama, kok. Tetapi banyak sekali yang berubah di istana.

Apa memang selama itu, ya?

"Aku. Kamu suka?" Jawaban Rajendra membuat mulutku menganga kaget. Rajendra tertawa geli. Pria itu memapahku untuk duduk di ranjang kami.

"Tidak usah kaget begitu. Kupu-kupunya bagaimana? Bagus, 'kan?" Rajendra menunjuk hiasan kupu-kupu yang ada di tiang-tiang kelambu. Mataku berbinar. Dadaku menghangat. Darimana ia tahu aku suka kupu-kupu?

Kupikir-pikir, aku sudah lama sekali tidak melihat kupu-kupu. Aku suka kupu-kupu karena aku punya filosofiku sendiri. Tetapi hal-hal datang silih-berganti, aku bahkan lupa kalau aku pernah menyukai kupu-kupu.

"Tahu darimana aku suka kupu-kupu?" Hatiku menghangat. Kali ini ia duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam erat tanganku lembut. Bibirnya yang tebal itu terangkat tulus.

"Gyan yang bilang." Rajendra tersenyum tipis. Tiba-tiba saja ia melepas genggaman tangannya, merogoh saku jubahnya.

Aku terpana saat yang ia keluarkan adalah hiasan rambut kupu-kupu berwarna ungu bercampur merah muda yang begitu cantik. Jemarinya yang kokoh itu menyisir rambutku, menyisipkan jepit kupu-kupu itu di sisi kiri kepalaku.

"Kupu-kupu adalah lambang harapan akan kehidupan yang lebih baik, Na." Ucapan Rajendra membuatku tersenyum geli. Aku menatapnya balik.

"Lalu? Kenapa ditaruh di kepalaku?" Aku sengaja menggodanya. Jujur saja, berdekatan dengan Rajendra membuat suasana hatiku cukup membaik.

Perlahan aku bisa melupakan apa yang harus aku lupakan.

"Putri Mahkota adalah simbol harapan bagi bangsa. Kutaruh di kepalamu, karena--Uhm." Rajendra justru memalingkan wajahnya yang bersemu. Aku mengerutkan dahi.

"Karena apa?"

"Ya, cantik saja."

Rajendra sukses membuat jantungku berhamburan sore ini.

**

Hevina membawakan masuk troli berisi makan malam kami. Sebetulnya aku sudah bisa berjalan, tapi sifat protektif Rajendra memang cukup kelewatan. Pria itu memaksaku untuk istirahat di ranjang, sementara ia pergi entah ke mana.

Sejujurnya ini menyebalkan. Aku ingin egois. Ia memang bukan hanya milikku. Tetapi juga milik kerajaan. Situasi kerajaan pasti sedang carut-marut. Aku tidak boleh egois dengan memintanya untuk terus berada di sisiku seharian.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang