"Ada apa di Agradhipa sampai-sampai kita harus mengungsi ke Bharata, Kak?"
Pertanyaanku mengambang di udara. Atmosfer yang mendadak mencekam, Putra Mahkota yang membeku seketika.
Aku benci situasi ini.
Aku benci, sebanyak apapun aku bilang aku tidak suka jadi pajangan, nyatanya Rajendra hanya menganggap omonganku angin lalu.
Aku bukan barang berharga yang harus dilindungi dari segala marabahaya. Aku adalah manusia berakal yang bisa diajak bekerjasama untuk mempertahankan harga diri dan martabat sebagai manusia.
"Maaf."
Aku menghela napas panjang. Alih-alih menjawab pertanyaanku, Rajendra justru meminta maaf. Basi.
"Kenapa minta maaf?" Aku bertanya sinis. Putra Mahkota justru merengkuh bahuku, membuatku langsung menepis tangannya.
"Aku butuh jawaban, Yang Mulia. Sudah berulang kali aku bilang, aku tidak suka jadi pajangan." Aku menegaskan maksudku, menatap terang-terangan wajahnya yang tampak sayu.
Katakan aku kurangajar karena membangunkannya, lalu malah marah-marah seperti ini. Tapi Putra Mahkota itu sebenarnya menganggapku apa? Istri? Partner? Atau sekadar wanita yang menghiasi istananya?
Tetapi belum sempat Rajendra menjawab, pria itu justru merengkuh bahuku dan menutupi telingaku.
Aku bisa mendengar suara pistol dan gesekan pedang, tetapi Putra Mahkota semakin memelukku erat.
"Hari ini Bibi Dayana memutuskan menyerang kita, Sienna." Rajendra semakin mengeratkan pelukannya. Aku yang bisa mencium wangi tubuhnya justru semakin waswas.
"Yang di luar mungkin pasukan mereka. Tunggu di sini, aku yang urus." Rajendra mengecup keningku lembut, melepas pelukannya perlahan. Wajahku mendadak pucat pasi. Aku menatapnya ragu.
Setelah tadi aku marah-marah, kini justru aku mendadak kehilangan kata-kata.
Aku tidak pernah berada di medan perang. Suara gesekan pedang dan pistol benar-benar membuatku ketakutan. Rajendra sudah melompat dari kereta kuda, keluar untuk membantu pasukannya.
Hevina merangsek masuk. Aku menarik napas dalam-dalam.
"Hamba diutus Yang Mulia Putra Mahkota untuk menemani Yang Mulia, Tuan Putri." Hevina membungkuk, yang hanya bisa kubalas dengan anggukan kosong.
Apakah Rajendra akan baik-baik saja? Apa yang akan terjadi dengan kami nanti? Apa kami bisa sampai ke Bharata dengan selamat?
Udara panas itu kembali mencekik perutku. Aku memejamkan mata, mengepalkan tangan kuat-kuat.
Tidak salah lagi, ini memang pasukan Putri Dayana.
**
Aku hanya bisa berkomat-kamit merapal doa. Suara tembakan terdengar begitu keras. Aku menutup telingaku, memegang tangan Hevina. Tubuhku mulai lemas.
Aku menyandarkan tubuhku di kursi. Mengelus perutku pelan, aku memejamkan mata menahan sakit.
Untuk pertama kalinya, aku merasa kematianku begitu dekat.
Perutku seolah ditusuk berkali-kali menggunakan jarum, kepalaku seolah dibenturkan ke kanan-kiri seperti bandul. Aku bisa merasakan kakiku yang lemas seperti jeli, nyeri yang menjalar di daerah panggul membuatku meringis tanpa suara.
"Yang Mulia baik-baik saja?" Hevina mengipasiku, ia melihat peluh yang mengalir di dahiku. Aku menggeleng jujur, meremas jemariku lemah.
Aku tidak tahu kapan aku bisa bangun kembali. Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Fiksi SejarahSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...