"Raj," lenguhku, menyingkirkan tangannya yang mendekapku erat. Entah dipindah Rajendra atau bagaimana, Gasendra yang awalnya berada di tengah-tengah kami jadi di pinggir ranjang.
Untung dia tidak jatuh.
"Sebentar lagi." Rajendra masih memejamkan mata. Aku menghela napas panjang. Hari sudah pagi. Ibu Ratu menungguku di Paviliun Utama untuk menyiapkan pernikahan Pangeran Alam. Rajendra masih saja memelukku erat-erat dengan mata terpejam.
Aku sedikit takut dimarahi Ibu Ratu. Sedikit, karena sisanya aku sudah cukup kebal.
"Nanti aku dimarahi Ibu kalau terlambat ke sana, Raj." Aku menyingkirkan lengannya. Tetapi Rajendra balas memelukku lagi.
"Besok kalau kamu jadi ratu, juga sesibuk ini?" Aku terkesiap. Pertanyaan lirih Rajendra membuatku menatap wajahnya yang masih terlihat tenang. Matanya masih terpejam. Dia ini ngelindur? Atau sadar dan bertanya betulan?
"Raj," desisku, masih berusaha menyingkirkan lengannya dari tubuhku. Rajendra justru makin mendekapku erat.
"Jangan sibuk-sibuk, nanti aku rindu."
Sepertinya dia ngelindur sungguhan.
**
Untung saja Ibu Ratu tidak terlalu ribet hari ini. Aku pulang cepat, dan mendapati paviliun kosong tanpa anakku. Hanya ada pelayan. Aku menengok ke belakang. Marina menatapku khawatir.
"Pewaris Agung betulan tidak ada, Putri?" Marina bertanya hati-hati, takut menyinggung diriku. Aku menghela napas panjang.
"Ada yang tahu di mana anakku?" Aku sedikit putus asa, bertanya pada rombongan pelayan yang menunduk kepadaku. Salah satu pelayan mendongakkan kepala.
"Hamba, Yang Mulia Putri Mahkota. Pewaris Agung bersama Putra Mahkota di Taman Prajaprana."
"Suamiku tidak keluar?" Aku makin kaget. Harusnya Rajendra sibuk ini, setidaknya dia pergi ke kantor administrasi istana atau apalah.
"Hamba, Yang Mulia. Yang Mulia Putra Mahkota tidak keluar istana dari tadi pagi."
Aku mengangguk, kemudian berbalik dan berjalan ke luar paviliun. Dari kejauhan aku bisa melihat Rajendra memangku Gasendra dan duduk di pinggir danau Taman Prajaprana. Aku mengembuskan napas lega.
"Ibu!" Gasendra menengok ke belakang, sudah melihatku. Ia berbinar antusias, langsung berdiri dan berlari.
Usianya sekarang sudah hampir dua tahun. Bicaranya sudah jelas, dan sudah bisa berlari. Tidak berlari cepat juga, sih. Apa ya, bahasanya? Berjalan cepat?
Aku merentangkan tanganku, berjongkok dan memeluk Gasendra yang langsung menghambur dalam dekapanku. Aku memberi gestur pada Marina untuk meninggalkanku. Aku menepuk-nepuk punggung Gasendra pelan.
"Dari tadi kamu di sini sama Ayah?" Aku berjalan menggandeng tangannya menuju tempat duduk Rajendra. Gasendra mengangguk-angguk senang.
"Iya. Tadi aku tangkap ikan sama Ayah." Gasendra menunjuk kolam ikan yang ada di utara danau. Aku duduk di sebelah Gasendra, sementara Gasendra duduk di antara kami berdua.
"Kamu sudah mandi?" Aku bertanya lagi, mengendus-endus tubuh anakku ini. Gasendra mencubitku gemas.
"Aku wangi, ya, Bu!"
"Iya, Ibu 'kan cuma memastikan." Aku mengelus kepalanya. Gasendra cemberut. Sepertinya dia marah karena kukira belum mandi.
Rajendra diam. Ia hanya menatap danau sedari tadi. Menyapaku saja tidak. Dia marah, 'kah? Kalau iya, kenapa? Aku tidak merasa melakukan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Ficción históricaSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...