LXXIV. Demokrasi

796 72 0
                                    

Pulang adalah kata yang sekarang sangat memiliki makna bagiku. Perjalanan dari Haridra menuju Agradhipa terasa sangat heroik. Chava dan Melrose ikut pulang bersama kami. Ada sedikit rasa sedih saat meninggalkan resor yang menjadi saksi proses penyembuhanku. Aku harus kembali ke sini jika ada waktu.

Dadaku bergejolak ketika kereta kudaku memasuki gapura kota yang dipimpin ayahku. Bagaimana keadaan ayahku sekarang, ya? Terakhir aku tahu, ayahku belum bisa bergerak bebas. Masih tiduran di kasur. Bagaimana keadaan ayahku sekarang?

"Yang Mulia mau langsung ke Paviliun Matahari?" tanyaku. Rajendra daritadi diam mengamati berkas setelah bangun tidur. Bahkan ia membawa pekerjaannya di kereta kuda.

"Kamu mau mampir, Sayang?" Tuh, tuh. Mulai lagi. Rajendra tidak tahu saja, jantungku sudah mulai berdentum kalau mendengar panggilannya yang satu ini.

"Aku ingin menjenguk Ayah." Aku menatap matanya yang kini mencurahkan atensinya padaku. Sudah sebulan lebih aku tidak bertemu ayahku. Apalagi terakhir kondisi Ayah cukup buruk.

"Mau menginap di Kastil Agradhipa dulu?" tawarnya lagi. Kedua sudut bibirku terangkat naik. Senyumku mengembang lebar.

"Terima kasih. Yang Mulia tidak terganggu?" Aku kembali memastikan. Menilik berkas-berkasnya, sepertinya ia sedang sangat sibuk. Aku hendak bertanya kenapa, tapi urung. Aku sungkan.

Untuk saat ini, ia membolehkanku menginap di Kastil Agradhipa saja sudah sangat baik. Gara-gara masalah kembali ke sekolah kemarin, hatiku jadi mengambang. Aku jadi sering termenung dan memikirkan harus bagaimana. Habisnya, aku merasa dilema.

"Aku tidak masalah, sih, Sayang." Rajendra kembali mengerling nakal. Aku mencubit lengannya yang keras itu. Dia ini, biasa mengayunkan pedang. Lengannya keras sekali.

"Mungkin kamu bisa konsultasi dengan Ibu masalah sekolah juga. Sepertinya kamu butuh Ibu," tambah Rajendra lagi, membuatku jadi terbayang wajah ibuku. Ah, ya. Aku merindukannya.

Bagaimana ibuku bisa melewati semuanya sendirian, ya? Melihat ibunya sendiri tidak waras, keluarganya hancur lebur. Dan masih tetap waras dan bisa membesarkan aku dan adik-adikku dengan baik. Lagi, sisi sentimentilku muncul lagi. Aku tak sadar sudah mengeluarkan air mataku.

Mengingat Ibu selalu menjadi hal paling berat yang harus aku lalui setelah menikah.

**

Rumah masa kecilku selalu terasa hangat. Tanaman-tanaman yang berbaris menyapaku tanpa suara. Pintu-pintu kayu yang melambai anggun, selalu menarikku kembali pulang. Sulur-sulur bunga yang selalu memelukku erat. Aku hanya bisa menampilkan senyumanku dan menahan tangisku saat melihat ayahku duduk di kursi roda demi menyambutku.

"Apakabar, Kak?" Suara ayahku terdengar. Aku hampir menangis, tapi kutahan. Aku tidak mau ayahku ikut menangis karena sebetulnya ayahku juga cengeng. Ayahku gampang terharu.

Aku berjalan menyalimi ayahku. Memeluk ayahku yang duduk di kursi roda. Tangan kanan ayahku sudah bisa bergerak sebagian. Hanya saja kakinya belum bisa. Tetapi cara bicara ayahku baik-baik saja. Syukurlah.

"Aku baik. Baik sekali." Aku melepas pelukanku, menampilkan senyumku yang mengembang hangat. Sementara ibuku yang awalnya berdiri di belakang kursi roda ayahku langsung berjalan ke arahku.

Aku langsung menjatuhkan diri pada pelukan hangat ibuku. Pelukan hangat yang selalu aku rindukan baik sadar maupun tak sadar. Walau sudah ada Rajendra, tetapi tetap tidak ada yang bisa menggantikan ikatan batin seorang ibu dan putrinya. Aku tidak bisa menahan air mataku. Aku bisa merasakan air mataku mulai merembes, membasahi gaun ibuku di bagian pundak.

Rasanya tenang, rasanya nyaman. Aku kembali merasakan pulang. Pulang ke tempat di mana aku selalu bisa menemukan pelukan hangat ibu dan ayahku. Pulang ke tempat aku bisa meluapkan seluruh rasa yang aku pendam.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang