XV. Obsesi

1.7K 163 47
                                    

Seharian kuhabiskan berkutat dengan makalah dan juga rencana untuk pelatihan pengobatan dasar besok. Pesta peringatan kematian ini diadakan tiga hari. Hari kedua dibuka untuk rakyat biasa, jadi aku tidak perlu ikut.

Besok yang pesta penutupan. Untung Ratu Manohara sudah mengirimkan gaun, aku tinggal memakainya.

Ini hari yang tenang. Sangat tenang, aku menyukainya.

Sebegitu tenangnya, sebelum Anargia datang bertamu dan mengajakku duduk di bangku taman.

Aku menatap Anargia yang duduk membungkuk, menautkan jari-jemarinya sembari menghadap anggrek tanam yang ada di taman. Pemuda ini, yaa ....

Tidak munafik, aku merindukannya.

"Kabarmu baik, Na?" tanya Anargia, suara seraknya itu terdengar parau. Aku mengangguk.

"Aku baik, kok. Kamu bagaimana?" tanyaku balik, Anargia ini tampak lebih kurus dari biasanya.

Setitik rasa bersalah muncul di hatiku.

"Seperti yang kamu lihat. Aku enggak baik-baik saja," jawab Anargia jujur. Pemuda itu menoleh, menatap mataku dengan mata hitam hijau kebiruannya yang indah.

"Kenapa? Apa ada yang mengganggumu?" tanyaku, penasaran. Aku jadi teringat Putri Alia yang mengunjungiku beberapa hari lalu.

"Kamu," balas Anargia retorik. Aku jadi membeku.

Perkataan Anargia sedikit menyinggungku. Apa maksudnya?

"Kenapa aku mengganggumu?" Aku sedikit tak terima. Sudah bagus pria itu datang, aku memang merindukannya.

Tetapi aku juga bukan perempuan lemah yang bisa seenaknya diganggu begitu saja.

"Kenapa kamu harus di sini?" Anargia bertanya, lirih. Aku bisa melihat sorot pasrah namun tak suka dari matanya, tetapi aku terlanjur tersinggung.

"Aku juga tidak meminta untuk berada di sini, Anjana." Rahangku mengeras. Tanpa sadar aku menatap Anargia tajam, membuat pemuda itu memalingkan wajahnya sedikit sebal.

"Kamu bisa menolak," sanggah Anargia. Aku menggelengkan kepala, menatapnya kesal.

"Siapa aku? Berani sekali menolak perintah kerajaan? Jangan egois, Anjana." Suaraku melirih, aku memalingkan muka. Aku tidak sanggup menatap wajah Anargia, takut emosiku meledak begitu saja.

Aku lupa terakhir kali aku merasa jatuh sedalam-dalamnya pada Anargia. Rasa itu kian mengabur seiring kesibukan dan intensitasku bertemu dengannya.

Walau kalung berbandul opal putih susu itu masih tergantung indah di leherku, tetapi rasa yang ada tidak lagi sama.

Aku memandangi figur Anargia dalam keheningan. Pemuda itu sama-sama membisu, mengunci mulutnya untuk sesaat. Matanya memerhatikan anggrek bulan yang tergantung di dalam pot lamat-lamat.

"Enggak semua kisah berakhir bahagia." Aku memutuskan memecah keheningan itu dengan kalimat yang cukup menyakitkan.

Anargia menoleh kaget. Matanya mengerjap mendengar pernyataanku.

"Apa maksudnya?"

"Kita," tegasku, membuat Anargia mengernyit.

"Kita sahabat, jadi sampai kapanpun tetap begitu. Apanya yang tidak bahagia?" Anargia tersenyum miring, menatapku seolah mengejek.

Sial. Manipulatif. Anargia sangat manipulatif.

Aku mengepalkan tangan, meremas jemariku kuat-kuat. Berusaha menetralkan napas sekaligus emosi, aku memilih menghindari bertemu pandang dengan Anargia.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang