Mahesa sudah menunggu di Taman Prajaprana. Rajendra menarik napas dalam-dalam. Situasi kerajaan benar-benar krisis.
Wabah sudah mulai. Putri Mahkota yang sakit. Menteri yang berniat melengserkan Putri Mahkota.
Dayana benar-benar gila.
Entah sebesar apa pengaruhnya, Rajendra mengurut dahi. Bagaimana Dayana bisa membuat semua keinginannya jadi nyata?
"Wabahnya sudah dimulai." Mahesa duduk di kursi taman, meminum anggur yang disajikan pelayan.
"Wabah seperti apa?" Rajendra memutuskan menindaklanjuti. Ekspresi Mahesa sangat serius, berarti kali ini masalahnya memang benar-benar serius.
"Seperti kusta, tapi bukan kusta." Mahesa menatap jerih danau yang ada di hadapannya.
"Kusta disebabkan bakteri. Yang ini disebabkan virus, penularannya cepat. Gejalanya juga lebih cepat. Kulit yang berubah warna, membengkak. Otot melemah. Mati rasa. Gejala yang parah adalah gangguan pernapasan yang berujung kematian." Mahesa menjelaskan detail penyakitnya. Rajendra mendengarkan serius.
"Bagaimana penanganannya? Sudah berapa orang yang kena?" Rajendra menghitung kekuatannya sendiri. Mengatasi wabah tidaklah mudah.
Apalagi ini penyakit kulit yang bisa menginfeksi organ dalam juga. Bisa berakibat kematian dalam hitungan minggu.
Walau titik utama serangan bukan pada kematian, tetapi pada penyebaran yang begitu cepat yang membuat tim medis akan kelimpungan.
"Sejauh ini penanganan bagus. Aku menutup daerah itu. Rumah sakit pusat juga sudah memberikan bantuan. Pasien yang terverifikasi baru seratus duapuluh." Mahesa melapor. Rajendra mendengarkannya manggut-manggut.
Semua masalah datang begitu saja.
"Sebenarnya wabah ini tidak terlalu mengkhawatirkan, Yang Mulia." Mahesa menatap Rajendra serius. Pria itu memandangi sepupu iparnya tajam.
"Yang lebih mengkhawatirkan adalah tujuan di balik ini semua." Mahesa tersenyum sinis, lagi-lagi.
"Apa maksudmu?" Rajendra balas menatap Mahesa tajam. Ia tidak suka nada sinis Mahesa yang terdengar agak meremehkan.
"Arjuna Hakim memintaku bertemu. Ia bilang ia punya obat untuk wabah itu." Mahesa menatap lurus sepupunya. Rajendra yang mendengar kalimat Mahesa masih mempertahankna tatapan tajamnya.
"Aku lebih mementingkan rakyatku dari apapun, Yang Mulia Putra Mahkota. Bahkan ketika aku harus berseberangan dengan pemilik tahta itu sendiri, aku akan tetap mementingkan rakyatku." Pangeran Mahesa mengutarakan maksud hatinya.
Rajendra menelan ludah kasar. Ia paham maksud kalimat Mahesa. Ia lebih dari paham.
"Aku tidak bisa memaksamu untuk mendukungku, bukan?" Rajendra langsung melempar tanya. Ia paham benar maksud Mahesa.
Mahesa meminta kesepakatan dan kepastian untuk rakyatnya. Kesepakatan yang untuk saat ini, jelas tidak bisa Rajendra pastikan bagaimana wujudnya.
"Aku akan melindungi rakyatku. Apapun yang terjadi." Mahesa menatap Rajendra lamat-lamat, menggantungkan ucapannya.
"Tetapi yang benar tidak akan bercampur dengan yang batil, Putra Mahkota." Mahesa menegaskan sikapnya. Rajendra tersenyum tipis mendengar kalimat iparnya.
"Paviliun Matahari selalu terbuka untukmu." Rajendra menatap Mahesa penuh penghargaan. Tetapi Mahesa mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Satu syarat, aku akan memberikan dukunganku seutuhnya." Intervensi akhir Mahesa membuat Rajendra mengangguk mantap.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Fiksi SejarahSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...