Rajendra sangat bersyukur Sienna mau memulai sesi konselingnya walau harus jauh-jauh ke Haridra. Tapi pria itu juga senang. Senyum tidak lepas dari wajahnya bahkan ketika ia berkonfrontasi dengan salah satu menteri. Rapat pagi ini membuat Arsenika geli sendiri.
Padahal anaknya menuai banyak protes. Proses persidangan cukup rumit. Apalagi persidangan militer. Rajendra dikritik karena tindakannya dianggap memihak Kristiano. Rajendra juga dikritik karena proses penyembuhan berkedok liburan ke Haridra yang dianggap tidak bersimpati pada rakyat.
Negara masih sedang masa berkabung, tetapi Putra dan Putri Mahkota justru bulan madu ke Haridra. Yang Arsenika heran, Rajendra menanggapi semuanya dengan sangat santai. Dengan senyum yang terpatri. Satu sisi Arsenika bangga. Di sisi lain Arsenika sedikit merinding.
"Kau tidak mau mampir ke rumah dulu, Pangeran? Menjenguk ibumu." Arsenika menepuk bahu putranya setelah semua pergi. Hanya tinggal mereka berdua di ruang rapat.
Rajendra berdeham. "Ibu baik-baik saja, 'kan?"
"Ibumu selalu baik-baik saja. Ibumu sibuk sekali. Ayah saja kalah. Kamu mau mampir?" tawar Arsenika. Rajendra menggeleng.
"Kasihan Sienna sendirian. Aku tidak bisa meninggalkannya lama-lama, Yah." Rajendra tersenyum tipis. Ada gelegak menyenangkan tersendiri saat ia menyebut nama istrinya. Kalimat pertama, bohong.
Sienna jelas tidak sendirian. Ada Dokter Hanggini, dan mereka bisa memulai sesi konseling pribadi lebih dulu. Keberadaan Rajendra terkadang justru jadi penghambat. Tetapi kalimat yang kedua, Rajendra tidak berbohong.
"Oh, iya. Bagaimana perkembangan Putri Mahkota?" Arsenika seketika terlupa. Rajendra mengulum senyumnya.
"Istriku baik. Dokter Hanggini sudah memulai sesi konseling. Mungkin butuh kurang lebih dua bulan sampai bisa normal. Mungkin juga lebih." Rajendra menanggapi dengan senyum. Arsenika tertawa bangga.
"Nikmati liburan kalian, Putra Mahkota. Kalian memang perlu liburan. Biarkan Sienna sehat dulu. Masalah yang lain, Ayah bisa urus sendiri." Arsenika menepuk bahu anaknya bangga. Rajendra mengernyit, kemudian tersenyum tipis.
Ayahnya bohong. Besok juga paling Rajendra dipanggil lagi untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil. Tapi tidak masalah. Itu memang sudah tugasnya sebagai putra mahkota. Rajendra akhirnya membungkuk hormat, pamit.
Ia harus pergi ke suatu tempat sebelum pulang menemui istrinya.
**
Rajendra melirik arlojinya. Yang ia tunggu-tunggu belum datang juga. Padahal pria itu sudah dalam mode penyamaran. Rajendra berdeham membenahi maskernya. Pria itu mengembuskan napas lega saat melihat figur pemuda berkulit putih yang tampak familier akhirnya muncul.
"Kau telat tigapuluh menit, Pangeran Agung." Rajendra menunjuk arloji yang menempel di pergelangan tangannya. Lawan bicaranya hanya nyengir sambil menarik kursi. Rajendra menghela napas panjang.
Bertemu Alam memang selalu terasa berbeda.
"Maaf terlambat, Putra Mahkota. Aku harus mengantar Pluvia dulu. Apakah Putri Mahkota baik-baik saja?" Alam langsung membawa topik ke arah yang lain. Dan Alam tersenyum saat wajah Rajendra langsung cerah seketika.
Entah terkena racun apa, tapi pangerannya itu selalu riang gembira kalau istrinya disebut. Alam sedikit merinding. Tapi Alam juga turut berbahagia. Alam turut berbahagia saat Sienna akhirnya siuman walau harus kehilangan anak mereka. Alam jadi tidak terlalu merasa bersalah.
"Istriku sangat baik. Kau mau memberi hadiah?" Rajendra dengan pertanyaan acaknya membuat Alam menelan ludah kasar. Ia mendadak lupa tujuan utamanya menemui Rajendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Ficción históricaSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...