XXVIII. Takut

1.1K 127 23
                                    

Aku menuangkan jamu herbal ke cangkir, memberikannya pada Putra Mahkota yang entah kenapa malam ini tampak begitu bersinar.

Ia mungkin tampak lelah, tetapi energi positif yang melingkupinya terlalu mencuat dan bersinar terang.

"Terima kasih, Sienna." Putra Mahkota meminum jamu yang kutuang dalam sekali teguk. Jamu itu jamu untuk menambah stamina, stamina dalam artian sebenarnya.

"Tadi Yang Mulia Ratu memberiku berkas penyelidikan kematian Mendiang Raja." Aku memutuskan bercerita. Bola mata hitam kebiruannya bergulir, memandangku dengan binar antusias penuh minat.

"Benarkah? Ibu pasti mengajakmu ke ruangan harta kerajaan. Apa kau menyukai desain ruangannya?" Putra Mahkota justru menanyakan hal lain, aku jadi tertawa kecil.

"Suka, suka sekali. Tapi aku lebih suka desain paviliun ini, Yang Mulia." Aku menyanjungnya, tetapi aku memang jujur.

Paviliun ini terasa sangat hangat dan terasa seperti rumah. Aku suka penataan dan pencahayaannya yang temaram.

"Syukurlah. Aku sempat bingung mencocokkan seleramu. Kalau begitu, apa yang kamu pelajari dari berkas itu, Sienna?"

Seperti biasa, berdiskusi dengan Putra Mahkota selalu membuat otakku jadi cemerlang. Aku merangkai kata sejenak, mencoba merangkaikan paragraf demi paragraf untuk mencapai kesimpulan dari hasil penyelidikan yang sudah kubaca.

"Penyelidikan dihentikan karena kurangnya bukti. Hampir separuh anggota parlemen dan keluarga bangsawan menyatakan tidak ada bukti konkret yang mengarah pada satu orang." Aku mengucap ragu. Kutatap bola mata Putra Mahkota yang kini mengangguk pelan.

"Apa kamu bisa menebak kenapa Ayah dan Ibu menutup kasus begitu saja walau keluarga kerajaan sudah tahu siapa orangnya?"

Aku terdiam. Putra Mahkota menunggu jawabanku, aku membeku di tempatku. Beberapa jawaban menggelitik benakku, beberapa kemungkinan ... Apa yang membuat semua sepakat menutup kasus ini begitu saja?

"Akan ada lebih banyak orang yang terluka bila kasus ini tetap terbuka, Sienna." Putra Mahkota tersenyum.

Senyuman miring yang terlihat sinis dan ... Menyedihkan? Aku tidak bisa mendeskripsikannya lebih banyak.

"Kebenaran seperti pil pahit. Kebanyakan orang menghindarinya, tetapi suatu saat kita akan tetap meminumnya." Putra Mahkota tertawa, tawa getir yang membuatku sukar menelan ludah.

"Yang Mulia," desisku, kehilangan kata-kata karena ucapan Rajendra.

"Kita harus bersiap. Setelah kasus dibuka, pernikahan kita bisa saja berubah jadi arena perang," putusnya final. Aku menatap bola mata hitam kebiruannya lamat-lamat. Beberapa hari yang lalu pria di hadapanku ini masih ragu. Tetapi saat ini, ia duduk di hadapanku.

Duduk lebih dari yakin, untuk memulai sesuatu yang jelas membawa resiko bagi semuanya.

"Besok kita sudah mulai mengurus pernikahan. Kau harus bersiap juga, Sienna. Aku menyiapkan pasukan, tetapi kita tidak bisa menebak apa yang mereka lakukan." Rajendra menjelaskan. Aku mengangguk pelan.

Pernikahanku jelas hal berisiko yang bisa membahayakan banyak orang.

**

Hari ini jadwal fitting gaun pernikahan. Ratu Manohara menatapku senang. Gaun berwarna putih tulang yang menjuntai sampai ke lantai. Detail bordiran bunga anggrek--bunga kesukaan Mendiang Ratu Harshita--dengan angsa putih yang diberi sentuhan warna ungu. Tudung pernikahan berhias bunga mawar putih yang sangat cantik. Aku menyukainya, sangat. Ratu Manohara mengambilkanku tiara berhiaskan berlian ungu. 

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang