XVII. Tujuan

1.3K 155 16
                                    

yang belum baca chap 16 bisa baca chap 16 dulu yaa. Makasii!

Aku duduk memangku tanganku di bangku Taman Prajaprana. Pagi tadi aku bertemu Ratu Manohara, beliau menyuruhku untuk pergi ke Taman Prajaprana dan menemui Putra Mahkota.

Aku ingin menolak, tetapi sungkan.

Dan sekarang aku pun termangu, buat apa aku duduk di sini? Apa yang mau aku bicarakan?

"Sudah siap?" Putra Mahkota datang, berjalan di belakang pengawalnya. Aku bisa melihat rautnya yang tampak lesu.

Lingkaran bawah matanya sedikit menghitam. Matanya sedikit bengkak, tetapi tetap saja tampan.

Apa Putra Mahkota habis menangis?

"Sudah, Yang Mulia. Yang Mulia Ratu yang menyuruhku ke sini untuk menemui Yang Mulia." Aku tersenyum, berdiri sebagai bentuk penghormatan.

Gaun lengan panjang dengan ujung lengan seperti lonceng bernuansa emas dengan rompi hitam ini benar-benar sempurna melekat indah di tubuhku. Aku memandangi jubah yang Putra Mahkota kenakan, menyadari kenapa Ratu Manohara memberikan gaun ini dan menyuruhku untuk memakainya.

Sebesar itu upaya Ratu untuk menjadikanku putri mahkota.

Aku tidak bisa tidak menghargai upaya Ratu Manohara, tetapi jauh dalam lubuk hatiku, aku sedikit tidak nyaman. Semua perhatian dan semua dukungan yang aku dapatkan, apakah aku memang pantas mendapatkannya?

"Ooh, Ibu menyuruhmu ke sini, ya? Duduk di dalam saja, Sienna. Aku harus mengganti bajuku." Putra Mahkota tersenyum tipis, menyuruhku masuk ke dalam paviliun tempatnya tinggal.

Paviliun Matahari, tempat tinggal Putra Mahkota. Aku baru pertama kali ke sini, karena Paviliun Matahari memang tertutup. Paviliun ini bersambungan langsung dengan Taman Prajaprana, dikelilingi kolam air mancur dan tanaman-tanaman berbagai rupa. Burung-burung berkicau di dalam sangkar emas, paviliun ini jadi yang paling indah setelah paviliun milik Raja dan Ratu.

Aku memutuskan melangkah, memasuki paviliun yang berlantaikan marmer kecoklatan. Putra Mahkota sudah masuk duluan, meninggalkan Leon--pengawalnya--yang memanduku untuk duduk di sofa di ruangan paling luar.

Ada bunga tulip biru di sudut ruangan. Aku hanya duduk manis, menunggu pria itu berganti pakaian.

Paviliun Matahari benar-benar luas dan indah. Lampu gantung berkilauan, lukisan-lukisan kuno yang tergantung di dinding ruangan. Buku-buku sejarah apik, tempat ini benar-benar mencerminkan pribadi Putra Mahkota.

Walau sepertinya pria itu lebih sering menghabiskan waktunya di istana utama, Putra Mahkota sedikit malas tinggal di tempat yang jauh dari keluarganya. Ia lebih suka tinggal di kamar pribadinya di Istana Utama, kata pelayan yang kemarin melayaniku.

"Maaf, aku lama sekali." Putra Mahkota datang dengan jubah hitam berlis emasnya, lambang matahari dan neraca yang menjadi simbol Naladhipa tampak gagah berkibar di balik punggungnya.

"Yang Mulia Putra Mahkota dan Tuan Putri sudah ditunggu di acara penutupan." Leon menunduk sigap, membuat Putra Mahkota yang berdiri tak jauh dari tempatku duduk menatapku penuh arti sembari mengulurkan tangannya.

"Ayo," ajak Putra Mahkota dengan wajahnya yang tampak lesu. Aku berdiri, menyambut uluran tangannya. Berusaha menghargai sikapnya yang mencoba tersenyum di saat matanya bengkak seperti habis menangis semalaman.

Aku tidak tahu alasan Putra Mahkota menangis, tetapi setidaknya aku tidak ingin jadi beban juga untuknya.

**

Leon tidak berbohong. Kami memang benar-benar ditunggu di acara penutupan.

Yang Mulia Raja dan Ratu bahkan sudah hadir. Aku berjalan di sisi Putra Mahkota, memasang senyum dengan tebal muka. Putra Mahkota berjalan cuek, tetapi pria itu berjalan lebih lambat untuk menyesuaikan langkahku yang kecil.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang