LXXVIII. Pensiun

689 64 9
                                    

Waktu berjalan seperti kecepatan cahaya. Banyak hal terjadi di luar kendaliku, mengagetkanku seiring waktu. Tahu-tahu, Putri Alamanda sudah punya anak saja. Tahu-tahu, Pangeran Titanic kena skandal mengejutkan. Yang satu ini, ceritanya nanti saja.

Kesibukanku sebagai putri mahkota ternyata tidak sesibuk dan serumit yang kubayangkan. Apa karena aku sudah terbiasa, ya? Sekarang sudah hampir tujuh tahun dari pernikahanku. Ilmu pengetahuan Naladhipa berkembang pesat. Baru kemarin aku menghadiri peresmian Akademi Lanjutan yang berubah nama menjadi universitas. Perubahan nama Akademi Bangsawan, juga. Atas keputusan raja nomor 919 yang didesak Pangeran Mahesa, Akademi Bangsawan berganti nama menjadi Akademi Menengah. Setelah persidangan panjang, akhirnya semuanya selesai juga.

Naladhipa juga sudah mengenal telepon. Telepon pertama diresmikan Yang Mulia Raja dua tahun lalu. Begitu pula mesin kendaraan. Tidak lama lagi, kami tidak akan menggunakan kereta kuda sebagai transportasi satu-satunya.

Aku juga sudah menghadiri pengangkatan Pangeran Mahesa sebagai menteri pendidikan yang baru. Pengangkatan Putri Alamanda sebagai menteri pemberdayaan perempuan. Dan sekarang, kami akan menghadiri pesta ulang tahun pertama putra mereka yang kedua.

Keren, bukan? Enam tahun menikah, dengan segala kesibukan mereka. Rajendra sudah berdiri di depan pintu, menungguku yang berhias sangat lama. Maaf, yah, Jen. Tetapi aku masih bingung harus memakai hiasan rambut yang mana dan kalung yang seperti apa.

"Kalau masih lama sekali nanti bangunkan aku kalau sudah siap," ancamnya halus, membuatku segera bergegas. Aduh, kami hampir terlambat.

**

Huraymila sekarang berjarak kurang dari sehari dari Agradhipa. Pembangunan jalan bebas hambatan yang dimulai tahun lalu di sepanjang wilayah utara dan selatan membuahkan hasil yang menyenangkan. Pesta ulang tahun pertama Ilyasin, putra kedua Pangeran Mahesa itu digelar di Kastil Huraymila. Balon-balon nuansa oranye dan biru membuatku tersenyum tipis. Aku melepas tautanku pada tangan Rajendra. Mataku berbinar saat melihat Putri Alamanda yang sedang memandu  untuk memotong kue, sementara Pangeran Mahesa menggendong Alfaris, putra pertamanya yang merengek mau ikut memotong kue juga.

Senyumku mengembang lebar. Putri Alamanda menyadari kehadiranku, senyumnya ikut terkembang lebar. Aih, senangnya. Aku datang sebelum acara dimulai. Aku mengedarkan pandangan, keluarga kerajaan yang lain belum datang. Yang kulihat adalah Ratu Laluna dan Raja Kenza Elderick yang memang sangat dekat dengan anak-anak Putri Alamanda.

"Ayo, salaman dulu dengan Putri Mahkota." Putri Alamanda membawa Ilyasin ke dalam gendongannya. Aku mengulurkan tanganku senang, tetapi Ilyasin tidak menyambut. Bayi itu justru sibuk melihat balon yang baru saja meletus dengan tatapan penasaran.

"Ilyasin pintar. Dia sudah pandai memerhatikan situasi. Tidak takut balon, lagi." Aku takjub memerhatikan ekspresi Ilyasin yang tampak melongo melihat balon-balon dan keramaian orang. Aku pelan mengedarkan pandangan. Rajendra ternyata bersama Pangeran Mahesa.

"Ketimbang Alfaris dia lebih tenang, lebih tidak rewel. Dulu Alfaris lihat apa-apa pasti menangis. Ilyasin tidak." Putri Alamanda tertawa sembari mengusap pucuk kepala bayinya. Hatiku menghangat.

Betapa bahagianya jadi seorang ibu, ya? Terlepas segala kerepotan dan keribetannya, menjadi seorang ibu tampak begitu sakral. Putri Alamanda tiba-tiba menyentuh lenganku pelan.

"Yang Mulia mau menggendong Ilyasin?" Putri Alamanda selalu bisa membaca apa yang ada di pikiranku. Aku menatap mata Ilyasin ragu. Bayi sekecil ini, apa aku bisa menggendongnya?

Umurku sudah duapuluh empat. Tetapi bisa dihitung jari aku menggendong bayi. Apalagi semenjak kejadian itu, semenjak traumaku belum sembuh, Putra Mahkota selalu menghindari pembicaraan tentang anak.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang