XXI. Ikhlas

1.5K 152 31
                                    

Aku beristirahat total sampai matahari terbenam. Radang tenggorokanku sudah lumayan mendingan, panasku juga sudah reda. Putra Mahkota rajin menyuruh pelayan mengantarkan makanan dan menyuruhku minum obat, jelas membuat hatiku sedikit menghangat.

Walau aku tahu, mungkin ini adalah bentuk tanggungjawabnya sebagai pemilik rumah, tetapi aku tetap gadis pada umumnya yang bisa baper karena hal-hal seperti ini.

Makan malam sudah lewat. Putra Mahkota menitipkan salam kalau ia tidak bisa berkunjung, harus mengurus anak buahnya di militer. Dari pembicaraan kami tadi pagi, aku jelas bisa menyimpulkan kalau Putra Mahkota tengah menyiapkan kekuatan.

Pelayan datang mengambil piring kosong. Aku tersenyum tipis.

"Boleh tolong antarkan aku ke perpustakaan?" Aku mencoba duduk, memanggil pelayan yang tadi mengambil piring kosong.

"Baik, Tuan Putri. Saya akan bersihkan dulu piring-piringnya." Pelayan itu membungkuk. Aku mengangguk.

"Siapa namamu?"

Aku bertanya, merasa tak enak karena beberapa hari ini aku tinggal dan sedikit menyusahkan mereka.

Memang, mereka dibayar Putra Mahkota. Tetapi sebagai calon penghuni paviliun ini, aku harus bisa menjalin hubungan baik dan memastikan mereka berada di pihakku.

Omong-omong, aku jadi rindu Tristha. Ia tidak ikut aku ke Istana. Dia memang pembimbingku, tetapi dia pekerja Agradhipa. Dia bukan pelayanku seutuhnya.

Dia pekerja ayah-ibuku. Aku tidak bisa membawanya seenak hati.

"Hamba Hevina, Yang Mulia." Pelayan itu kembali setelah mengangsurkan piring ke troli dan membawanya ke luar.

Gadis ini sih kelihatannya lebih tua dariku beberapa tahun. Ia tampak matang, tetapi belum terlalu tua juga. Belum senior.

Tetapi dia bisa berguna.

"Aku bisa berjalan sendiri, cuma aku takut jatuh," ujarku, menjejakkan kaki di lantai setelah memakai sandal rumah. Hevina berdiri dengan jarak aman, menunduk hormat sembari memerhatikan kalau tiba-tiba aku terjatuh.

Jarak antara perpustakaan dan kamarku cukup lumayan. Tubuhku sudah kuat untuk berjalan, kakiku sudah kuat untuk menopang tubuhku sendiri. Penjaga membukakan pintu perpustakaan, aku tersenyum senang begitu menghirup aroma vanila khas dari bubuk vanila yang sengaja dijadikan pengharum ruangan di sini.

Khas barang-barang Putra Mahkota.

Walau pria itu jelas tidak mengenakan aroma vanila--beberapa kali aku mencium bau citrus segar menguar dari tubuhnya--tetapi wangi vanila yang menenangkan membuatku senang.

Aku duduk di salah satu sofa setelah mengambil buku yang mau kubaca. Itu buku sejarah Naladhipa, entah mengapa aku tertarik membacanya. Silsilah penguasa dari seluruh daerah.

Senyumku tercetak, nyatanya Putri Dayana dan Ratu Wismaya pun tidak ada dalam silsilah keluarga ibu yang ditampilkan ke publik.

Semua tampak begitu hitam kelam nan gelap, seolah memang tidak ada informasi yang terlihat.

Kehancuran Naladhipa, aku tidak tahu apa yang menyebabkan Putri Dayana sampai seperti ini. Aku bahkan belum menemuinya langsung, tetapi aku yakin Putra Mahkota pasti melarang.

Terlalu beresiko untuk bertemu dengannya.

Aku tidak bisa mempertaruhkan nyawaku begitu saja.

**

"Ini daftar pengawal dan pelayan di Paviliun Anggrek, Yang Mulia." Leon menaruh beberapa lembar kertas di papan. Rajendra duduk di kursinya, mengamati latihan para prajurit di lapangan.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang