"Sudah menendang!" Rajendra berseru antusias. Hari ini adalah hari pesta perayaan kehamilan empat bulan anakku. Aku akhirnya bisa bernapas lega. Dari tadi orang-orang hilir mudik menyalamiku yang duduk di singgasana. Ibu Ratu dan Ayah Raja tampak senang sekali. Begitu juga orangtuaku. Dari kursiku aku bisa melihat Gyan dan Abiyya yang sibuk makan kue. Padahal mereka sudah besar. Tetapi kelakuannya sama saja.
"Selamat untuk kehamilannya, Yang Mulia Putri Mahkota." Aku sedikit terkejut melihat siapa yang bersuara. Suara ringan dan renyah tetapi tetap teridentifikasi sebagai suara laki-laki. Rajendra berdeham.
"Loh, pasangannya tidak dibawa, Pangeran?" Suara sinis Rajendra langsung terdengar. Aku buru-buru menepis lengan Rajendra. Ya, yang ada di hadapanku Anargia. Dia sekarang gagah dan tampan sekali. Kacamata bertengger di hidungnya. Ia datang bersama orangtuanya, membawa berbagai perlengkapan bayi.
Aku tersenyum senang. "Terima kasih, Anargia ..." Aku menghentikan kalimatku, hampir saja aku keceplosan memanggilnya Anjana. Rajendra memgubah raut wajahnya sedikit lebih ramah.
"Sepertinya kalau Yang Mulia punya kenalan, aku bisa dikenalkan. Asal jangan sepupu-sepupu Yang Mulia saja." Anargia terkekeh. Matanya menyipit manis. Walau kalimatnya jelas sindiran. Ya, dia tidak jadi dengan Putri Alia. Alasannya simpel. Mereka sama-sama pewaris tahta daerah masing-masing. Apalagi Jenderal Besar ituloh. Protektif.
"Sayangnya aku sudah lama tidak bertemu wanita. Eh, minta saja sama Sienna. Dia itu yang punya kenalan banyak," tutur Rajendra, sengaja membiarkan Anargia untuk berbincang denganku. Aku hanya nyengir lebar menanggapi.
Rajendra itu lucu. Sudah tujuh tahun berlalu. Bahkan Anargia juga ikut dalam misi penyelamatanku dulu. Cemburunya tidak hilang-hilang. Padahal sudah jelas aku di sini memilihnya.
"Wah. Kalau ada aku mau, Putri Mahkota. Kalau bisa sih yang seperti Putri Mahkota." Anargia melirik Rajendra jenaka, sengaja mengerjai Rajendra yang mukanya sedikit memerah.
Aku sedikit meringis ngeri. Untung saja Rajendra pintar menahan diri.
"Oh, sepertinya berlatih pedang bagus, Pangeran. Aku dengar kau yang terbaik di Angkatan Darat." Rajendra memuji sarkastik. Karier Anargia akhir-akhir ini memang menanjak drastis. Usianya seumuran denganku tetapi sudah jadi kolonel. Yah, kalau ingat dia pangeran Nirvana, sih, wajar.
"Menembak juga kedengarannya bagus, Yang Mulia. Aku lebih suka pertarungan jarak jauh," timpal Anargia. Rajendra tersenyum culas.
"Bisa diatur. Datang saja ke istana sesekali. Kita latihan bersama," ajak Rajendra, yang aku tahu betul pria itu sedang melampiaskan rasa kesalnya. Dasar.
Anargia berlalu. Pandanganku jatuh pada ibuku. Aku mengulum bibirku lama. Rajendra kembali sibuk menyapa tamu-tamu yang lain, begitu juga aku yang menyalami beberapa keluarga bangsawan.
"Aku ingin ke tempat Ibu, Kak." Aku berbisik pelan saat orang-orang sudah mulai sibuk dengan makanan. Rajendra menoleh.
"Kapan? Aku antar? Atau mau sendiri?" Kalimat Rajendra menyiratkan ia begitu sibuk. Biasanya dia tidak begini. Tidak menawarkan aku untuk pergi sendiri ke rumah orangtuaku.
Apa aku yang terlalu sensitif, ya?
"Aku bisa pergi sendiri, kok. Yang Mulia pasti sibuk. Tidak apa-apa." Lagipula resiko menikahi Putra Mahkota 'kan memang begitu. Aku tidak bisa menuntut ia jadi milikku sepanjang hari dan malam.
Ia juga milik negara. Dan aku, adalah prioritas kedua.
**
Malam ke sekian aku tidak bisa tidur. Perutku semakin membesar. Aku juga sering ke kamar mandi. Kakiku pegal sekali. Lututku rasanya seperti kena pengapuran sendi. Rajendra sudah terlelap. Dia baru saja pulang, padahal sudah sangat larut malam. Bulan sudah condong ke timur dan ia baru masuk kamar dengan wajahnya yang kusut.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Fiksi SejarahSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...