XI. Istana

1.7K 184 42
                                    

"Terima kasih sudah menyambut, Yang Mulia." Aku tersenyum penuh penghargaan saat Putra Mahkota mencium punggung tanganku sebagai bentuk penghormatan. Pria itu mengangguk pelan.

Lama tak melihatnya, aku bisa melihat ada kerutan dan kantung mata yang menghitam. Putra Mahkota pasti sudah bekerja keras. Dia memang layak mendapatkan gelar itu.

"Kupikir Adipati Swarnabhumi dan Nyonya Nirvaira ikut serta, Nona Mandalika?" Putra Mahkota memilih berbicara semiformal. Aku menanggapinya dengan senyum tipis, menyembunyikan emosiku yang agak sedikit bergejolak.

Ayah dan Ibu menolak tinggal di istana. Mereka memilih tinggal di Kastil Agradhipa dan menghadiri acara pembukaan serta penutupan peringatan kematian Narrarya Satria dan Sri Wismaya saja. Setelah mengetahui kebenarannya, aku tidak bisa membantah atau mengintervensi keputusan orangtuaku.

Ibu pasti terluka, Sri Wismaya adalah anak dari istri kedua kakek. Walau Ibu sudah mengikhlaskan, tapi anak mana yang rela ibunya dimadu?

Namun aku menghargai penuh sikap Ibu yang menjaga hubungan baik dengan Ratu Wismaya sampai akhir hayatnya. Tidak pernah sekalipun aku melihat Ibu mengucapkan kalimat sinis, yaa, seingatku saja, sih.

"Ayah dan Ibu memiliki beberapa urusan yang tidak bisa ditinggalkan, Yang Mulia." Aku menjawab jujur. Lagipula Istana juga tidak bisa mengintervensi Kastil Agradhipa.

Agradhipa termasuk daerah paling kaya di Naladhipa, dengan kekuatan militer juga diplomasi serta ekonomi yang kuat. Istana membutuhkan Agradhipa kalau ingin tetap berkuasa.

"Omong-omong, kau sudah membaca suratku?" Putra Mahkota menghentikan langkahnya, menyejajarkan langkah lebarnya dengan langkah kecilku.

Putra Mahkota begitu tinggi. Kakinya panjang, membuat langkahnya menjadi lebar.

"Sudah, Yang Mulia." Aku mengangguk, menjawab pendek. Putra Mahkota memandangku dalam.

"Bagaimana? Kau setuju?"

Aku diam sejenak. Putra Mahkota memang tipikal lugas dan cekatan. Kalau istilah sekarang, Putra Mahkota itu tipe yang sat-set-sat-set. Tipikal pemimpin yang baik, sebetulnya.

Hanya saja banyak orang tak menyukainya karena sifatnya itu jelas menguntungkan rakyat, tetapi tidak bagi para pejabat. Apalagi yang korup.

"Ada banyak hal yang masih kupertimbangkan. Statusku beberapa bulan ke depan adalah murid Akademi Bangsawan, Yang Mulia. Apakah Yang Mulia bisa menjamin kerjasama kita tidak mengganggu hal itu?" Aku mengungkapkan jujur. Bertanggung jawab untuk sebuah riset merupakan hal berat.

Apalagi, partner kerjasamaku Putra Mahkota. Aku yakin pria itu sedang menyiapkan manuver politik di balik langkahnya mengajakku kerjasama.

Situasi kerajaan semakin memanas.

Putra Mahkota menghela napas panjang. "Aku adalah pembimbingmu di Akademi Bangsawan. Aku sudah menandatangani kontrak guru, jadi untuk nilaimu, aku yang tanggungjawab."

Aku menatap Rajendra bingung. Sistem Akademi Bangsawan itu kubuat seperti sekolah menengah pada umumnya. Dia tentu tidak bisa bertanggungjawab penuh atas nilaiku, kecuali kalau dia menyogok Akademi sebagai Putra Mahkota untuk menaikkan nilaiku.

"Ada pembaruan sistem di Akademi Bangsawan, Sienna. Kurikulum merdeka, tiap murid punya pembimbing yang bertanggungjawab penuh atas studi mereka." Putra Mahkota menatapku, menjelaskan runtut. Seolah pria itu bisa membaca pikiranku.

Aku terdiam. Putra Mahkota tersenyum tipis, melanjutkan ucapannya.

"Kalau kamu mau bekerjasama, aku akan bekerja keras agar bisa menjadi pembimbingmu. Nilaimu aku yang tanggung, kau cukup fokus dengan tugas yang aku berikan."

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang