LVIII. Dayana

753 86 27
                                    

Anargia berkuda begitu cepat menuju Ekalaya. Ditemani seorang pengawal, Pangeran Nirvana itu berpacu dengan waktu sembari memegang sebuah gulungan. Hutan lebat ia lewati, rawa-rawa ia tebas dengan harga mati. Kekalutan yang membuncah hatinya, Anargia benar-benar berharap ia tidak datang terlambat.

Anargia menarik napas dalam-dalam saat gelang yang ia kenakan kembali berpendar terang. Tanpa Sienna tahu, gelang yang ia hadiahkan, gelang yang Sienna bilang sebagai ganti presensi gadis itu adalah pasangan dari kalung batu opal susu yang ia berikan.

Kalung dengan sihir murni, sihir penjaga yang akan menjaga siapapun yang memakainya.

Anargia memacu kudanya lebih cepat. Awalnya ia hanya diam di Nirvana. Mendengar semua yang terjadi, ia sedikit menyesal pernah bergabung dengan Dayana Dayita. Puncaknya ketika Alia mendatanginya dan memberitahu bahwa Putri Dayana makin gila, Anargia masih tidak percaya.

Gelangnya semakin berpendar terang. Anargia komat-kamit merapal doa. Semakin terang cahaya gelang ini, semakin sakit dan kecil kemungkinan Sienna akan selamat. Cahaya gelang ini tanda bahwa kalung itu sedang menetralkan sihir yang mahabesar, yang untuk kali ini, Anargia merasa benar-benar putus asa.

Karena lawannya adalah Arjuna Hakim, Adipati Ravenna yang memiliki kekuasaan untuk memanggil iblis.

**

Aku mengerang pelan saat merasakan tanganku diikat ke sisi ranjang. Tiduran telentang dengan rasa sakit yang luarbiasa dahsyat! Berkali-kali aku meringis saat merasakan perutku seperti dihantam benda berton-ton yang sayangnya tidak terlihat.

"Apa kabar, Keponakan?" Suara feminin yang jarang kudengar itu hadir. Aku memejamkan mata kuat-kuat, menahan rasa sakit yang luar biasa dahsyat.

Kakiku bahkan diikat di ujung ranjang. Bergerak sedikit saja rasanya sakit sekali. Tergores. Aku meringis. Kalau waktu bisa diulang, aku benar-benar tidak ingin mengenal Tristha saja. Aku benar-benar tidak habis pikir, justru orangnya Bibi Dayana adalah sosok yang sangat lekat dengan kehidupanku jauh sebelum aku menikah.

"Argh!" Aku mengerang kembali. Kali ini rasanya seperti ditampar dengan tangan raksasa yang memiliki kekuatan megadahsyat. Aku bahkan tidak tahu kapan terakhir kali aku makan. Aku juga tidak tahu ini siang atau malam. Ruangan yang kutempati saat ini hanya dilengkapi pencahayaan remang-remang. Aku tidak tahu pasti aku berada di mana. Aku memalingkan muka, merasakan tangan halus Bibi Dayana yang menyentuh rahangku.

Bahkan kini aku tak sudi memanggilnya dengan sebutan bibi.

Bulu kudukku berdiri ngeri. Sentuhan Putri Dayana terasa sangat menyakitkan. Seperti disayat pisau. Aku tidak tahu bagaimana kondisiku saat ini. Benar-benar buruk. Bagaimana juga dengan bayiku?

"Ini belum ada apa-apanya dari yang dulu kurasakan, Sienna." Dayana menatapku dengan senyuman terkembang. Aku memalingkan pandanganku. Merasakan tangannya menyentuh kulitku dan meraba-raba tubuhku membuat bulu kudukku berdiri tegang. Aku ketakutan.

Kupejamkan mataku erat-erat menahan nyeri. Aku memilih untuk mengabaikan suara Putri Dayana yang membuatku semakin pusing. Perutku rasanya perih. Sentuhan Dayana Dayita membuat sekujur tubuhku benar-benar sakit.

"Aku bahkan disiksa lebih parah dari ini, Sienna." Aku berusaha mengabaikan ucapannya. Menggigit bibir saat merasakan tanganku seperti disuntik dan aku merasa darahku disedot. Bau amis menyeruak, membuatku harus mati-matian menahan mual.

Jantungku berdetak kencang. Di saat-saat seperti ini aku benar-benar merindukan Rajendra. Aku meringis saat merasakan ada sesuatu menyelinap di balik gaunku, menyentuh dan membeset kulit pahaku.

"Kau beruntung sekali. Dilahirkan di keluarga bahagia. Suamimu bahkan putra mahkota. Punya mertua yang menyayangimu. Semuanya menyayangimu, Sienna. Bukankah sesuatu yang terlalu sempurna itu tidak baik?" Aku mengerti ucapan Dayana yang mencoba mencuci pikiranku. Menekanku. Aku meringis saat merasakan pahaku digosok dengan besi tajam.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang