"Maaf Ayah tidak bisa sering datang, Alam." Layendra meneguk minuman yang sudah dipesankan putranya. Ruangan khusus VVIP rumah sakit itu lengang sekali, hanya ada Alam yang sedang menyendok sup dan Layendra yang meminum sirupnya.
"Aku bisa mengatasinya. Selama semua cuma berkaitan dengan rakyat, aku bisa. Yang aku tidak bisa kalau Ayah memintaku membereskan kekacauan yang Ibu buat." Alam memutuskan jujur pada sang ayah. Jujur pada perasaannya sendiri.
Untuk apa Alam berbohong? Ibunya sekarang ada di rumah sakit jiwa. Diterapi dan dikurung di ruangan khusus karena tingkahnya yang makin menggila.
"Nak," lirih Layendra pelan. Layendra memandangi putranya lamat-lamat. Alam jelas menuruni wajahnya yang kalem, sifatnya yang kalem dan suka mengalah. Alam menarik napas panjang.
"Kondisi Ibu baik?" tanya Alam, tidak sekadar berbasa-basi.
Pertemuannya dengan Rajendra menjadi dasar kenapa ia harus mengunjungi ibunya saat ini.
"Ibumu belum boleh ditemui, Nak. Ayah saja hanya melihat dari kaca," tutur Layendra. Tatapan sendunya ia palingkan, Layendra tak suka Alam melihatnya sedih.
"Tumben kamu datang ke sini. Ada masalah di kastil?" Layendra menatap putranya, berusaha menghilangkan tatapan sendu yang membuatnya tampak menyedihkan. Alam sudah besar sekali. Alam juga sudah tahu benar dosa-dosa apa saja yang ia lakukan demi Dayana.
Kalau boleh, Layendra ingin menanggung semuanya sendiri. Alam dan Alia tidak usah ikut campur.
"Ayah benar-benar mau menuruti semua keinginan Ibu?" Pertanyaan Layendra justru ditimpali oleh pertanyaan Alam. Layendra menatap teduh putranya yang tampak putus asa.
Sudah lama sekali ia tidak melihat Alam bersemangat seperti pemuda pada umumnya. Setitik rasa bersalah selalu menggumpal di sudut hati Layendra. Suka tidak suka, ialah penyumbang paling besar kelesuan Alam selama ini.
"Keinginan yang mana maksudmu?" Layendra menguji Alam. Alam memalingkan muka.
Ia benci bila harus berhadapan dengan orangtuanya sendiri. Alam tidak suka berbicara seolah menggurui dengan orangtuanya sendiri. Alam ingin dibimbing, Alam ingin dituntun seperti orangtua biasa menuntun anaknya. Alam juga ingin ditegur.
"Apa Ayah akan melanjutkan serangan kepada Putra Mahkota dan Putri Mahkota?" Alam bertanya ragu. Ia benar-benar bertaruh, ia takut untuk bertanya.
Bagaimana kalau ternyata jawabannya justru iya?
"Ayah tidak pernah menyerang Putra Mahkota dan istrinya, Nak. Ayah hanya mempertahankan apa yang Ayah punya agar tetap berada di samping Ayah." Rahang Layendra mengetat. Ia sedikit tidak menyangka Alam akan terang-terangan menanyakannya.
"Ayah berencana menyerang agar isu investigasi kematian Paman Raja dialihkan?" tebak Alam tepat sasaran. Layendra membisu. Putranya tumbuh begitu pintar. Saking pintarnya, Layendra tidak lagi bisa mengarang alasan untuk meyakinkan Alam bahwa yang ia lakukan memang benar dan tidak menyalahi aturan.
"Ayah tidak bisa kehilangan ibumu." Layendra memandang Alam dalam, menelusuri bola matanya yang sebening cairan. Alam tersenyum getir.
"Ayah sakit jiwa." Alam sudah pasrah. Ayahnya tampak begitu tenang dengan kalimat yang bagi Alam terdengar begitu menyeramkan.
Ayahnya sakit. Lebih dari sakit.
"Ayah mencintai ibumu. Cinta yang berlebihan memang membuat seseorang sakit jiwa." Layendra mengangkat alisnya, membuat Alam mengembuskan napasnya kasar.
"Ayah tidak akan membunuh bayi yang belum lahir, 'kan?"
Katakanlah Alam naif. Katakanlah Alam begitu polos. Tetapi di hadapan orangtuanya seringkali Alam memohon merintih kepada Tuhan, bisakah orangtuanya kembali hidup bahagia dengan normal?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Ficção HistóricaSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...