LXXI. Reuni

846 76 10
                                    

Pagi yang cerah. Dan Rajendra menempel di kasur seperti koala yang meringkuk kehabisan tenaga. Aku sih sudah mandi daritadi. Mandi pagi ternyata enak sekali. Rajendra itu yang tiba-tiba sulit dibangunkan. Semalaman penuh memang kami begadang. Tapi dia tidak biasanya sepulas ini.

Aku beranjak keluar. Berjalan di jembatan kayu dengan pemandangan laut lepas membuat tubuhku terasa segar. Aku baru menyadari Rajendra mengganti parfumnya. Wanginya dulu bukan cendana. Kenapa, ya? Aku juga tidak tahu.

Aku memutuskan pergi ke arah dapur resor. Ada dapur terbuka yang biasa dibuat para koki untuk show off. Aku berniat ikut memasak. Sejujurnya, ya, aku bosan hanya berdiam di resor terus. Kalau masalah pemandangan indah, di Paviliun Matahari juga indah. Hal yang aku suka di sini adalah laut lepas yang tampak menenangkan.

Hevina yang berjaga di dekat pintu langsung mengikutiku di belakang. Aku tersenyum senang saat koki resor membiarkanku memakai dapurnya. Ya, bagaimanapun aku putri mahkota. Aku sangat menikmati privilege yang kupunya untuk saat ini. Seperti kata Dokter Hanggini, aku tidak perlu merasa bersalah, 'kan?

Resor ini akan sepi selama dua bulan ke depan. Rajendra bilang kalau ia menyewa seluruh resor ini untuk dua bulan. Jaga-jaga kalau aku butuh ruang untuk sendiri dan tidak mau bertemu orang lain, katanya. Senyumku mengembang lebar. Menikahi Rajendra adalah salah satu keputusan yang benar-benar tidak akan aku sesali lagi setelah ini.

Aku menuangkan telurku ke atas teflon. Setelah mencampur adonan telur, potongan daging, saus, dan beberapa rempah-rempah, aku akan membuat omelet dengan ini. Aku sebetulnya ingin membuat kue, tapi Rajendra sepertinya tidak suka sarapan kue.

Ia lebih suka nasi. Jadi aku berniat membuat sesuatu yang bisa dimakan dengan nasi.

Aku membalik telurku. Mataku terkesiap saat Rajendra tiba-tiba datang dengan pakaian santainya, duduk di salah satu kursi yang tersedia. Aku beralih mengambil pisau, memotong bawang bombay.

Seketika tanganku gemetar memegang pisau.

Pisau ini mengingatkanku pada kejadian di Menara Sihir. Aku menatap kosong, tanganku sepertinya masih memotong.

"Yang Mulia!" Aku mengerjapkan mata saat Hevina merampas pisau dari tanganku dan membawa tanganku menuju wastafel. Pikiranku kosong. Rajendra juga tiba-tiba ada di dekatku dan jemarinya itu membantu mencuci tanganku.

Aku meringis saat mulai merasakan perih. Makin kaget saat melihat darah mengucur dari jari-jariku. Aku bisa mendengar Rajendra menyuruh Hevina memanggil dokter. Aku menatap jemariku kosong. Rajendra memegangi tanganku dan membersihkan lukaku.

"Sepertinya kamu harus istirahat," tuturnya. Tak lama kemudian dokter datang membawa peralatan pertolongan pertama. Aku hanya menurut saat Rajendra menyuruhku duduk dan dokter itu memberi lukaku obat merah.

"Luka Putri Mahkota sangat dalam, Yang Mulia Putra Mahkota. Kasanya harus diganti setelah enam jam." Kepalaku pusing. Aku bisa melihat Rajendra mengangguk-angguk. Sebenarnya aku ini kenapa, sih?

Bisa-bisanya aku tidak sadar dan justru melukai diriku sendiri? Aku hampir mengiris total jariku sendiri loh, ini! Aku meringis saat mulai merasakan nyeri di telunjuk kiriku yang sudah dibalut kasa steril. Rajendra menuntunku duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Dokter menyuruhku untuk menunggikan telunjuk lenih tinggi dari jantung agar perdarahan cepat berhenti.

"Kayaknya kamu harus istirahat dulu, Na." Rajendra menatapku dalam setelah memberi kode pada pelayan untuk menyajikan makanan. Aku hanya mengangguk lemas.

"Tadi bagaimana yang kamu rasakan? Pusing? Atau apa?" cecarnya lagi. Aku menggelengkan kepala.

"Aku juga tidak tahu. Aku tidak sadar. Tahu-tahu berdarah." Aku menatapnya jerih. Kadangkala aku juga bingung dengan kondisiku yang seperti ini. Aku seperti tidak sadar, tahu-tahu terluka seperti ini.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang