Raska mengusap lembut kedua matanya agar pandangannya menjadi jelas,namun usahanya sia sia. Tatapannya buram saat ini, entah karena apa. Ia menegakkan tubuhnya dan terduduk di sana
"Ana..."
Mendengar itu membuat Dika berusaha menenangkannya. "Ana ada di ruangan sebelah ras"
"Gimana keadaan Ana ka?" Tanya Raska dengan suara begitu lembut kepada sahabat yang tengah berada di sampingnya kini, walau pandangannya masih blur akibat benturan tadi.
"Ana gak apa dia baik baik aja ras"
"Gimana sama Raga dan Agatha?!" Tanya Raska kembali sambil memegangi tangan Dika dengan erat.
"Kenapa Lo malah mikirin orang lain, Lo pikir Lo sendiri udah hampir mati gini" Dika menatap luka Raska, kepala dan kakinya di perban sekarang.
"Mau bahagiain semua orang tapi Lo gak mikir kebahagiaan Lo sendiri" ucap Dika secara terus terang.
Raska menggeleng, "Kebahagiaan gue ada di kalian Dika"
"Apa yang bisa kami lakuin?, Gak ada yang buat Lo bahagia sama sekali Raska"
"Andai Lo tau apa gue rasa sekarang sama Lo, gue jadi orang paling bego di antara kita bertiga" ucap Dika ambigu saat ini. Hal itu membuat wajah Raska bertanya tanya.
Raska tak berhenti memandang wajah sahabtnya ini, "Apa yang udah Lo sembunyiin dari gue Dika, gue gak suka di bohongin"
"Ini masalah besar, tapi hanya buat gue bukan Lo ataupun Raga" Dika tersenyum dan membantu Raska kembali terbaring di atas brankar.
"Bahkan almarhum Avelno gak tahu tentang semua ini" ucap Dika menatap Raska.
Raska memejamkan matanya sebentar lalu membukanya kembali.
"Lo juga gak seharusnya salahin Mesya tadi ka, kasihan dia dan belum tentu dia salah, itu gak mungkin" ucap Raska pada Dika yang sekarang memutar bola matanya malas.
"Saat Lo kesakitan gini, Lo malah mentingin orang lain, gila Lo ya?" Kalimat terakhir dari bibir Dika membuat Raska terdiam.
"Ana bikin gue jadi gila"
Dika berdecih pelan dan tertawa miring, "Gue gak setuju Lo sama Ana"
"Kenapa?" Tanya Raska dengan begitu heran sekarang, dia tak tahu kenapa sahabatnya ini sangat plin plan dengan ucapannya.
"Ada orang yang tulus cinta sama Lo lebih dari Ana dan bodohnya Lo gak tahu ras"
Mendengar itu membuat Raska memandangi wajah Dika dengan serius. "Siapa?"
Dika hanya terdiam dan mengedarkan pandangannya ke arah pintu ruangan sahabatnya ini. Ia tak menjawab pertanyaan dari bibir Raska, ia memilih diam.
"Gue cinta sama Ana, tanpa alasan yang jelas tapi gue suka. Dia baik kayak mama dulu, tapi gue harap nantinya dia gak jahat kayak mama sekarang" ucapan lembut dari Raska membuat Dika tersenyum dan mengangguk pelan.
"Maaf ya kalo gue kasar sama siapapun, penyakit sikap ganda ini kadang plin plan banget"
Raska tersenyum, "Gue yakin Dika sembuh, Gue bakal temenin Lo Dika"
Dika menatap sendu Raska, "Tapi Lo juga harus janji Lo harus sembuh dari sakit Lo"
"Sakit gue cuma sakit biasa Dika, jangan khawatirin semuanya"
Tiba tiba bunyi pesan dari ponsel Dika berbunyi, menampilkan nama Papa" di sana. Namun dia memilih memasukkan ponselnya ke saku jaketnya.
"Siapa?"
Pertanyaan Raska membuat Dika mengangkat bahunya pelan berpura pura tak mengetahuinya. "Bokap Lo?"
Benar saja Raska dapat menebaknya dengan benar, "Tengok dulu ka, siapa tahu penting"
"Gue gak pernah penting bagi dia kalo Lo lupa"
Semenjak kematian ibunya, Dika selalu di salahkan oleh seluruh keluarganya termasuk ayahnya sendiri. Mereka selalu menyalahkan kematian Ibunya atas nama Dika, ini akibat perlakuan Dika karena dulu ia suka menyakiti ibunya dengan kasar hingga ibunya meninggal. Kepribadian ganda ini muncul akibat Dika yang selalu di pojokan dan akhirnya mengenai mentalnya dengan hebat.
"Gue salah, gue bunuh mama" kalimat lirih yang Dika lontarkan membuat Raska menegakkan tubuhnya dan memeluk Dika dengan pelan.
"Lo nggak salah, kenapa Lo selalu mikir gitu, jangan pernah ngerasa gitu ka"
Dika menatap sinis kedua mata Raska.
"Terus siapa!!?" Nada Dika melengking keras membuat Raska menatap sendu sahabatnya yang mempunyai mental begitu down ini.
Raska mengelus pundak Dika dengan pelan, "Jangan merasa Dika yang selalu salah sampe kapanpun"
"Apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan Dika, jika ada yang harus di tambah, tambah. Dan jika ada yang harus di kurangi, kurangi. Jangan berfikir kamu begitu salah di posisi sekarang ini Dika. " Ucap Raska menyemangatinya dengan lembut, Lelaki itu menatap tenang sahabatnya yang sedang mengusap wajahnya kasar sekarang.
"Bahkan masa lalu bukan titik fokus Dika sekarang" kalimat itu membuat Dika memeluk tubuh sahabatnya ini dengan pelan.
Dika menangis di sana, "Gue gak tahu harus gimana terimakasih sama Lo ras, makasih selalu ada kalimat indah yang Lo ucap pas gue down kayak gini"
Raska tersenyum.
"Gue calon psikolog asal Lo lupa" kekehan pelan dari Raska terdengar di sana.
"Gue pasiennya" kini gantian Dika yang tertawa kencang, lelaki berkaca mata yang biasanya jarang sekali tersenyum itu kini tertawa lepas.
"Lo harus sembuh Dika, katanya Lo mau tunjukin sama papa Lo kalo Lo bisa jadi anak terbaik" Raska mengacungkan jempolnya setelah Dika menarik tubuhnya dari pelukannya tadi.
Dika mengusap sisa sisa air mata yang ada di pipinya, "Biar kita bertiga bisa reunian setelah kuliah heheh"
Namun Raska menatap sendu sahabatnya yang berada di sampingnya ini, jujur saja dia tak yakin akan mencapai reuni yang Dika sebut tadi.
"Gue mau ketemu Raga, dia gak apa kan?" Tanya Raska dengan suara yang begitu lirih.
Sedangkan di ruangan sana Agatha yang masih terpasang infus menatap Raga yang masih terpejam di atas brankar. Sedangkan tangan lelaki yang biasanya pandai sekali melawak itu terkepal jelas sekarang.
"Kamu kuat Raga, maafin Aga repotin Raga terus" ucap Agatha lirih.
"Aku begitu cinta sama kamu Raga, hingga lupa jika kamu tak sama sekali ada rasa yang sama ke aku" gadis itu memegangi tangan Raga yang kini lemas di sana. Ia meletakkan kepalanya ke dekat tubuh lelaki yang ia cintai tersebut.
"Sakit ya?" Tanya Agatha walau tak ada jawaban dari Raga. Tak lama Dika datang dengan Raska yang berada di kursi roda, hal tersebut membuat Agatha dengan cepat menghapus air matanya yang masih mengalir deras di sana.
"Hypophrenia pasti ganggu Raga banget, dia cuma nyoba buat happy di depan kita semuanya"
Tak di sangka ternyata Raga juga seorang lelaki yang punya penyakit gangguan mental semacam seseorang yang sering kali menangis dan merasa sedih secara tiba tiba. Tak ada orang yang menyangka jika lelaki yang sering tertawa ini juga sering sekali menangis bahkan setiap hari, saat dia sendirian.
Bahkan ketiga bersahabat ini punya sakit yang berbeda dan begitu menyiksa mereka semua.
Dika dan Raska mendekati Raga yang masih terpejam di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
RASKA
Teen FictionSederhana saja, ini cerita tentang bagaimana cara Raska Auky Adibara mencintai Ana Saraswati, gadis yang serba kurang dalam apapun termasuk kebahagiaan. KARENA SUATU KESALAHAN, MAAF CERITA KURANG BERURUTAN, SILAHKAN BACA DENGAN LIST URUTAN YANG BENA...