- Part 03. Keputusan Akhir -

121 33 0
                                    

- Selamat Membaca -

          Haruskah Keisya memasrahkan dirinya begitu saja ketika kedua orang tuanya menginginkan dia untuk menikah padahal usianya baru sekitar 19 tahunan, tetapi malah harus berakhir seperti ini. Sejenak dia teringat akan ucapan si kakak tingkat super nyebelinnya itu. ‘Sampai ketemu di lain waktu, Jodoh,’ katanya. Keisya sampai bergidik ngeri membayangkan harus resmi menikah sama dia. 

“Key! Mami sama Papi berharap kalau kamu nurutin semua permintaan kami,” kata maminya dengan nada dibuat-buat seolah dia sedang dalam kondisi menyedihkan. “Selama ini kami tidak pernah minta apa pun, kan, sama kamu? Jadi, plis! Bantu Papi sama Mami, Sayang.” 

        Bola mata hitam dan meneduhkan itu melihat ke arah sang mami dan papinya. Keiysa bimbang, bingung harus berbuat seperti apa karena melihat sekeliling rumah tampak sudah rapi, bersih dan semua sudah terbungkus ke dalam dus juga koper banyak sekali. Entah apa ini benar atau tidak. Keiysa enggan untuk memikirkannya. 

Namun, kalau sampai terjadi bagaimana nasibnya ke depan? Bagaimana kalau sampai dua sahabatnya tahu kalau Keysa jatuh miskin dan tidak bisa lagi mentraktir mereka? Tidak! Tidak. Tidak mau. Keysa tidak mau kalau sampai mereka menjauhinya.

“Mau, ya?” 

Eits. Tunggu dulu, Mi, Pi,” kata Keysa sambil mengangkat kedua tangannya memberikan tanda penolakan. “Keuntungan yang didapat Key kalau semisal Key nurutin kemauan kalian apa dulu, nih? Harus ada timbal baliknya dong.” 

Mami dan papinya menggeleng melihat tingkah putrinya yang mengibaskan rambut panjangnya, apalagi kata-kata, ‘timbal balik,’ oh astaga. Masa sama orang tua sendiri begitu? 

Key, Key. 

Anak ini perlu diruqyah kayaknya.

       Mami dan papi Keysa saling memandang satu sama lain, lalu tidak lama setelah itu Papi menyenggol lengan istrinya memberi tanda untuk istrinya mengucapkan sesuatu, tetapi karena tidak peka berakhir mereka saling senggol dan Keysa mengerutkan keningnya melihat kelakuan mami dan papinya. 

“Jangan bilang kalau semua ini bohong, Mi, Pi? Pokoknya kalau sampai iya. Awas aja,” ucap Keysa.

“Key kecewa deh, ck … cantik-cantik begini masa iya dijodohin, sih? Kek nggak ada laki-laki lain yang lebih semriwing pake jalur jodoh segala, hiks.” Keysa bertingkah seolah-olah dia menangis sambil tangannya mengambil tissue, lalu mengeluarkan ingusnya sembarang.

Mami Keysa mencolek lengan suaminya dan berbisik. “Pi! Anak kamu tuh. Kok bisa begini, ya?” 

“Mami gimana, sih. Dia juga anak Mami tahu, kan, kita bikinnya bareng pake rasa cinta dan kasih sayang dicampur kehangatan juga kelembu—-” 

     “Diem. Berisik elah,” potong Mami Keysa sembari menyumpal mulut suaminya dengan cake yang ada di atas meja. 

“Mami! Papi! Helo? Kalian serius memilih berantem di saat anaknya sendiri lagi frustasi begini, hah?! Ck … ck … nggak berprikemami-papian ini kalian.” 

        Mami Keysa memukul lengan suaminya lelan, lalu dia beralih tempat duduk ke arah putrinya. Dia mengusap lembut puncak kepala putri tunggalnya, kesayangannya penuh cinta. Dalam hati sedikit ada rasa bersalah telah membuat putrinya seperti ini. Akan tetapi, tidak ada cara lain selain mengungkapkam kebenarannya.

Papi Keysa mengangkat sebelah alisnya, mencoba memanggil mami alias istrinya dengan kode seperti itu, tapi sayang tidak digubris. Menyedihkan.

         “Sayang! Nggak ada yang salah dengan kamu menikah, kan, Nak? Kamu juga usianya udah legal, udah boleh menikah meski terbilang memang masih terlalu muda,” kata Mami Keysa pelan-pelan, agar Keysa bisa mengerti. “Mami yakin kamu sama dia bakal hidup bahagia dan apa pun yang kamu mau pasti akan dipenuhi sama dia, hem?” 

“Tapi, mana bisa begitu, Mami? Masa iya, nikah tiba-tiba dengan orang asing sementara Key sendiri nggak cinta sama cowoknya.” 

        “Sayang! Kan, bisa menikah dulu jatuh cinta kemudian. Gampang loh, ya? Memangnya kamu mau kalau kita beneran jatuh miskin, terus gimana sama temen-temen kamu? Mereka pasti nggak mau sahabatan sama orang miskin, saran Mami, sih, kalau punya sahabat mestinya milih-milih dulu gitu. Jangan ada maunya aja dan saat kamu ada di atas.” 

“Tahu ah, Mi, pusing. Terserah kalian aja.” 

        Keysa bangkit dari tempat duduknya tak lupa dia mengibaskan rambut panjangnya, berjalan melenggang meninggalkan mami dan papinya di sana. Tidak peduli bagaimana ke depannya nanti. Yang penting daripada jatuh miskin, dijauhi oleh sahabat-sahabatnya mending cari jalan tengah yang mungkin akan membuat darahnya mendidih saat tahu siapa calonnya.

“Sayang! Keiysa Jasmine Putri Angkasa. Berarti keputusan akhir kamu setuju, kan, ya, Nak?” teriak Mami Keyla menggema di seluruh ruangan.

Sementara, Papi Keysa menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyuman lebar. Seakan dia sedang mendapatkan jackpot saja sampai raut wajahnya berbinar. 

“Hem.” 

        Mami dan Papi Keysa tersenyum senang bahkan pasangan suami istri itu bertepuk tangan tapi tak lama keduanya menyudahi aksinya.

“Kayaknya kita harus telpon Pak Samuel, deh, Mam. Buat diskusiin kapan kita bahas pernikahan mereka. Gimana?” 

“Ya udah. Papi telpon dong. Mami mau siapin dulu pokoknya.” 

—- Di lantai atas seorang gadis cantik berambut panjang yang sudah berganti pakaian dengan kaos oversize ditambah celana hotpans itu pun membaringkan tubuhnya di kasur empuk kesayangannya ini. Dia memandang atap kamarnya dengan pikiran ke mana-mana. Tragedi hari ini membuat Keysa sampai menggeleng dan bertanya-tanya.

Mengapa jalan hidupnya harus seperti ini? 

         Padahal dia menginginkan sesuatu yang mana kuliah dengan baik, lalu memulai bekerja dan menjadi wanita karier setelah itu barulah memikirkan pernikahan.

Huft, Ya Allah. Kenapa, ya, zaman secanggih ini masih ada acara jodoh-jodohan?” pikirnya. 

Ting … 

          Ponsel mahalnya berdenting menandakan ada panggilan dari seseorang. Dengan posisi yang masih berbaring menatap ke arah atap kamarnya, tangan kanannya meraba-raba ke arah posisi di mmna ponselnya berada. Setelah berhasil didaptkan barulah dia mengangkatnya tanpa melihat siapa si penelepon.

“Hallo?” 

        Di seberang sana seseorang menahan senyumnya tatkala mendengar suara dingin milik orang itu. Sepertinya dia tahu kalau seseorang yang menjadi targetnya sudah tahu tentang kejadian yang sebenarnya.

“Woi! Lo mau coba maen-maen sama gue—-” 

Selamat siang menjelang sore, Calon istri. Di sini jodohmu yang tampan lah yang menghubungimu. Bagaimana? Apa sudah tahu fakta yang jodohmu ini tadi katakan, hem?” potong seseorang di seberang sana.

      Keysa langsung bangun dan dia melirik ke arah jam, eh salah dia menjauhkan ponselnya dari telinganya tak lama dia baru menyadari ada nomor asing. Keysa langsung menebak kalau itu semua pelakunya Indra. Dari suaranya aja sudah bisa menebak.

“Dari mana lo tahu nomor gue, Kak Indra menyebalkan?” tanya Keysa sembari menekan setiap kalimat yang dia ucapkan. “Inget, ya! Keysa Jasmine Putri Angksa tidak memberikan nomor ponselnya ke orang lain.” 

     “Sayangnya. Orang yang lo anggep lain ini adalah calon suami elo, Sayangku.” 

- Bersambung -


After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang