~ Part 21. Janji ~

83 15 0
                                    


~ Happy Reading ~

Walaupun untuk kedua kalinya mendapatkan sebuah pemandangan yang tak layak. Namun, hati Indah kini sudah mantap dengan tidak memiliki rasa cemburu maupun pikiran-pikiran negatif lainnya tentang sang suami seperti saat bersama Jessica tempo hari. Berat memang melihatnya. Akan tetapi, ia berusaha menghilangkan rasa cemburu tersebut meski sedikit ragu dan sulit. 

Senyuman serta canda tawa yang terjadi antara sang suami di ujung dekat tembok sana membuat Keisya seketika membayangkan kala dirinya telah benar-benar resmi menerima pernikahan ini, tidak ada lagi kata manja dan menyusahkan Indra juga penolakan-penolakan yang terkadang menjadikan Indra harus membujuknya untuk kembali ke rumah.

"Masya Allah cantiknya bidadari ini," ucap seorang pria dengan postur tubuh sedikit tinggi berpenampilan tak kalah keren dari suaminya, " … boleh kenalan gak, nih? Namanya siapa terus kamu mau ke sini ketemu siapa? Aku, ya?" lanjut orang tersebut sok percaya diri. 

Keisya menunduk. Gadis itu benar-benar menjaga pandangannya dari pria yang bukan mahramnya. Jika dilihat sekilas kulitnya putih, bersih dan tampak seperti selalu perawatan. Tetapi, ada yang lebih putih daripada kulit pria tersebut. Ya, "Meskipun Kak Indra item, tapi Keisya bersyukur punya dia. Hatinya yang bersih, hatinya yang selalu lembut, selalu bisa buat Kei luluh." 

"Woi! Itu bini gua," ucap sang suami. Indra—-memegang pundak bagian kiri pria itu, sedang Keisya masih dengan posisi yang sama. Akan tetapi, mendengar suaminya mendekat barulah ia mengangkat wajahnya dan bersembunyi di belakang punggung Indra. "Mau apa nih ma bini gua? Ouh mau macam-macam, ya?" tebak Indra.

"Elah, Bos. Nggak kek gitu juga kali, serem bener. Kagak, kagak mau ngapa-ngapain cuma takjub aja ada bidada—-" 

"Sekali lagi lu muji bini gua awas aja. Gua pecat lu, Arken!" potong Indra sembari memeloti pria di depannya.

"Ya elah. Salah lagi gua. Astaga! Bos-bos, di luar jam kantor jangan serem-serem lah, kita kan sohib." 
"Muke lu sohib!" 

Keisya ditarik oleh Indra memasuki kantornya. Meninggalkan pria yang bernama Arken dan seorang wanita cantik di sampingnya yang tadi berbincang-bincang dengannya. Keisya menurut, mengikuti ke mana langkah Indra membawanya pergi. Ia tidak berbicara sepatah kata pun dan hanya menatap suaminya dari ujung kepala hingga ujung kaki. 

Meski Keisya menatapnya dari atas hingga bawah, Indra tidak menyadarinya. Malah yang ada pemuda tampan nan tinggi yang selalu diberi julukan oleh Keisya 'si jangkung' pandangannya mengarah ke depan tanpa seulas senyuman dan mata memerah seakan ia tengah menahan amarah.

Keisya masih tak berbicara. Ia mencolek-colek tangan suaminya. Semakin lama gadis itu tak jua mendapatkan respons. Keisya tak menyerah, ia terus melakukan hal serupa. 

"Apaan sih kamu? Nggak ada kerjaan banget colek-colek segala," ketus Indra. 

"Senyum dikit napa, Kak. Susah payah Kei ke sini, Kakak malah judes kayak gitu." Raut wajah Keisya tetiba murung dan ia melanjutkan kalimatnya, "Nih, ya, Kak. Menurut artikel yang Kei baca. Nggak boleh loh seorang suami judes sama istrinya. Apalagi istrinya lagi hamil muda. Katanya dosa gitu. Mau dosa? Nanti masuk neraka gimana?" 

Indra hanya menggeleng, lalu kemudian pemuda itu sempat hendak mejitak kening Keisya. Namun, Keisya lebih dulu menghindar.

"Dasar bocah," umpatnya. 

"Bocah-bocah gini juga Kak Indra sayang sama Keisya, kan? Iya, kan?" 

Kalimat tersebut berulang kali diucapkan oleh gadis itu dan untuk kesekian kalinya Indra tidak menoleh ataupun membalasnya. Usaha Keisya tak disangka akhirnya ditanggapi juga. Sayangnya, tidak sesuai harapan sebenarnya. "Percuma sayang sama orang yang mana orang itu malah coba-coba ingin menghentikan hubungannya. Menolak bahkan berusaha coba buat—"
Kata-kata Indra barusan Keisya menghentikannya dengan menutup mulut sanh suami. "Hentikan kalimat itu, Keisya mohon, Kak. Maafin Keisya kalau selama ini cuma bisa nyusahin Kakak." Jadinya mereka berdua malah berbincang-bincang di depan ruangan Indra dan tetiba saja suasana sedikit berubah. "Keisya bukan maksud menolak kok, cuma waktu itu syok aja dan ya … bayangin aja lah. Baru lulus SMA terus di hari pertama masuk kuliah terus mami sama papi jodohin gitu aja. Mana Kei, kan, nggak kenal juga Kak Indra."

"Mana waktu itu Kak Indra sinis banget lagi, Keisya kan agak takut juga," papar gadis itu panjang lebar.

"Terus sekarang tujuan kamu ke sini cuma itu doang? Minta maaf doang, gitu?" tanya Indra sinis. 

Indra kini memasuki ruangannya. Sementara itu, Keisya termenung seorang diri sembari memegangi paper bag yang dibawanya. Ketika semua mata tertuju padanya, Keisya tak enak dan ia bergegas memasuki ruangan suaminya. Ia menghidangkan makanan yang telah dibawa, tetapi sedikit ia ragu lantaran barang bawaannya sudah dingin. Ia bertanya-tanya sendiri, apakah Indra akan memakan makanan yang dibawanya meski dingin? Apakah Indra tidak akan membuangnya? 

"Kenapa malah di diemin kayak gitu? Itu buat aku, kan?" 

"Tapi, Kak. Makanannya keburu dingin, tadi Kei kelamaan debat sih. Gimana, dong?" 

Indra gak menjawab. Indra hanya menatap sekilas sang istri kemudian mengambil kotak makan yang dibawa istrinya. Menyantapnya hingga tak lagi tersisa satu nasi pun di kotak tersebut. Tak lama setelahnya sekretaris Indra mengetuk pintu, menemukan atasannya sedang menyantap makan siang. Ia kembali menutup pintu lagi. 

"Kak! Itu ada tadi perempuan kayaknya mau masuk ke sini, deh." 

Indra menyimpan kotak tersebut, tetapi ia mengambilnya kembali untuk dimasukkan ke dalam paper bag. Kedua tangan Keisya digenggam olehnya. Degup jantung Keisya seakan berhenti berdetak tatkala keduanya saling beradu pandang. 'Kak Indra dilihat dari deket memang manis, ya.' 

"Lupakan soal perempuan yang tadi mau masuk, Kei. Orang masih jam istirahat kok, bentar lagi. Oh ya, kamu ke sini mau selain mau minta maaf mau apa lagi? Perlu sesuatu atau perut kamu kesakitan?" 

'Ya Allah, Kak Indra. Padahal semalam Kei udah jutekin Kak Indra, buat Kak Indra gak nyaman dan sekarang bawa makanan pun, makanannya malah dingin. Maafin Kei yang udah buat Kakak gak nyaman, ya, Kak. Kakak … suami sekaligus laki-laki terbaik yang Allah kirimkan untuk Kei. Mami sama Papi nggak salah jodohin Kei sama Kak Indra. Kak Indra emang bener-bener baik,' bisiknya.

"Hei! Kok ngelamun?" 

"Nggak apa-apa, Kak. Kei cuma mau bilang makasih banyak sama Kakak, makasih atas semuanya. Kei janji nggak bakal lagi manja mulai sekarang, Kei juga akan jaga anak kita dengan baik. Demi Kakak. Oh iya, Kei lupa. Madina ada di depan gerbang. Kei boleh pamit dulu?" 

Keisya bingung mengapa suaminya seperti itu. 

"Jadi sekarang kamu udah bisa terima pernikahan ini, kan?" tanyanya.

"Indra, Sayang!"  teriak seseorang mengganggu suasana baik mereka saja.

"Kok dia ada di sini, sih?"


~ Bersambung ~

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang