Part 52. || Ternyata Aku Salah

19 2 0
                                    


Ditinggal kekasih? Keisya sama sekali tak pernah mengalaminya. Namun, pertama kali dalam sejarah hidupnya dirinya diabaikan oleh sang suami dalam keadaan hamil besar. Sepulang dari rumah Jessica bahkan mungkin masih dibilang mereka sekarang ini masih berada di halaman sekitar rumah mendiang Jessica. 

Senja sebentar lagi akan menghilang dan malam akan datang menyapa. Akan tetapi, Keisya tak ingin bergerak apa lagi satu mobil dengan Indra bila pemuda itu belum berbalik dan meminta maaf karena sudan meninggalkannya. 

"Masih mau ngambek?" 

Keisya belum sempat melihat siapa seseorang yang menggendongnya. Pasalnya ketika orang tersebut mulai menyentuh bahu dan kakinya refleks Keisya menutup mata, tetapi tidak untuk bibirnya yang terus saja meracau tiada henti. 

'Bau parfumnya Kei rasa ini seperti Kak Indra. Tapi masa iya, sih, Kak Indra?' tanyanya dalam hati.

 "Yakin mau tutup mata sampai mobil, oh sampai rumah? Hum, gimana kalau misalkan aku bawa kamu ke tempat serem, apa masih tetep ditutup matanya?" 

Sontak kedua bola mata Keisya terbuka dengan mulut menganga. Ia pikir ia benar akan dibawa ke tempat seram, tetapi nyatanya masih berada di halaman rumah mendiang Jessica, di dekat mobilnya. 

"Ih, Kak Indra. Nyebelin banget, sih," protes Keisya.

"Nyebelin tapi ngangenin, ya?" godanya. 

Kini Keisya tak lagi berada di luar. Ia, Indra dan maminya sudah berada di dalam mobil menuju jalan pulang. Akan tetapi, tiba-tiba saja Keisya merasakan sesuatu yang ditimbulkan dari dalam perutnya. Awalnya Keisya mencoba menahan rasa nyeri pada perutnya, ia berpikir bahwa itu hanyalah ulah dari malaikat kecilnya yang tak sabar ingin lekas keluar. 

Namun, sepuluh hingga tiga puluh menit selanjutnya perut Keisya semakin terasa nyeri. Entah karena apa. Usahanya bertahan dan mencoba terlihat biasa saja di depan suami dan maminya. Rupanya tak bisa lagi. Bulir-bulir air mata berhasil tumpah ruah membasahi pelupuk matanya. 

Sekuat tenaga lagi-lagi Keisya menahan sesuatu yang ia rasakan di perutnya. 'Kei! Kei nggak boleh manja. Kei nggak boleh bikin semua orang cemas! Huft, Kei mesti yakin kalau ini semua hanya sementara. Sakit di perut bukan apa-apa.' Ia melantunkan ayat Al-Quran yang dihafalnya di dalam hati. 

"Hiks. Makin lama makin tambah aja, deh, nyerinya," ucap Keisya sembari mengelus perut buncitnya, "aduh, Nak. Sayang dengerin Mama, ya! Kamu mesti baik-baik di dalam sana. Jangan bikin Mama khawatir, Sayang! Mama … Mama nggak bisa tahan lagi, Sayang. Perut Mama … sssttt, Ya Allah." 

Indra membuka suara ketika tengah dalam perjalanan menuju pulang, lantaran pemuda itu mendengar suara gurauan istrinya dan isak tangis yang tak biasa. "Kei. Kamu baik-baik aja?" 

Kei meraih pundak suaminya. Ia duduk di samping kemudi. Keringat perlahan membanjiri pelipis dan juga punggungnya. Genggaman itu, genggaman itu semakin erat dan isak tangis pun seketika pecah.

"Sayang! Hei, kamu kenapa?" Kali kedua Indra bertanya, tetapi tak mendapatkan jawaban. 

Keisya mengeratkan genggaman pada lengan suaminya. "Perut Kei, Kak. Perut Kei nyeri banget. Hiks, Kei nggak tahan." 

Kekhawatiran dan rasa cemas pun kini dirasakan oleh Indra dan Geisya. Geisya meminta Indra untuk menuju ke rumah sakit langsung. Detik itu juga. Berbagai ungkapan rasa bersalah ia dengar dari suaminya. Seketika tangis pun berubah menjadi tawa sejenak, tetapi Kei tak berhenti merintih, menahan nyeri di perutnya. 

Indra protes pada Kei untuknya jangan terlalu banyak bercanda. Namun, Indra tidak tahu bahwa cara itulah yang dapat membuatnya bisa mengurangi rasa nyeri di perutnya. 

"Nak Indra-Indra! Coba percepat lagi laju mobilnya, Mami khawatir kalau terjadi sesuatu pada kandungannya, Nak Indra," titah Geisya.

"Iya, Mi," jawab Indra, "Sayang. Kamu yang kuat, ya. Tahan sebentar, oke? Nggak akan lama kok, kita akan segera sampai di rumah sakit. Tenang, tahan!" 

'Ya Allah. Semoga aja nggak terjadi apa-apa sama anak Kei,' batinnya lirih.

***

Tiba di rumah sakit 'EMC Hospital' Keisya berhasil di bawa ke ruang Instalasi Gawat Darurat. Dokter sedang menangani kondisi Keisya. Sementara, Indra dan Geisya menunggu di ruang tunggu.

Hari mulai gelap bersamaan dengan itu azan magrib berkumandang. Indra berinisiatif untuk pergi menunaikan ibadah salat magrib di masjid terdekat sembari mendoakan untuk kesehatan sang istri dan calon anaknya nanti. Akan tetapi, ketika Indra berdiri sang mertua memanggilnya.

"Nak Indra boleh duduk dulu sepuluh menit? Mami mau bilang sesuatu apa boleh?" tanya Geisya sedikit ragu dan terlihat hati-hati.

'Mau bilang apa, ya, Mami? Aduh kok jadi parno kayak gini, sih?' pikirnya.

"Iya, Mi. Silakan …." Akhirnya meski sedikit bimbang, Indra pun membalas pertanyaan mertuanya.

"Mami mau tanya dan sebenarnya apa Nak Indra bahagia berada dalam hubungan pernikahan ini? Apa Nak Indra nggak mempermasalahkan mengenai sikap dan sifat Keisya yang terkadang lebay dan manja?" 

Indra terdiam, tak langsung menjawab pertanyaan mertuanya. Beberapa orang terlihat lalu lalang di sekitar dan suster pun keluar masuk ruangan di mana istrinya sedang diperiksa. Indra menunggu hingga mertuanya selesai berbicara.

"Sebenarnya Mami udah lama pengen nanya ini sama Nak Indra. Tapi waktu itu terhalang oleh kabar Nak Indra yang katanya kecelakaan, tapi sekarang Mami bertanya sama Nak Indra. Maaf sebelumnya kalau pertanyaan Mami membuat Nak Indra tersinggung," sambung wanita itu. 

"Tujuan Mami menikahkan Keisya ialah supaya anak itu bisa berubah, sifat manjanya hilang dan terkadang seringkali membuat Nak Indra merasa tak nyaman. Nak Indra—"

"Maaf, Mi. Bukan maksud Indra memotong ucapan Mami—sebagai mertua, tapi jujur saja Indra nggak sama sekali risi dengan sikap Keisya yang seperti itu. Malah Indra bersyukur punya istri seperti anak Mami dan mertua seperti Mami," jawab Indra dengan tatapan kosong, " … mungkin Mami juga belum tahu siapa Indra sebenarnya. Indra bukan anak dari Papa Sam@%@%@&#^@^."

Kisah lama itu ia ungkap kembali pada wanita yang kini telah memiliki gelar sebagai mertuanya. Terkadang kita melupakan bahwa di setiap kekurangan pasti ada kelebihan pun sebaliknya. Walau ingatan pertanyaan mertuanya menjadikan Indra harus mengulang kembali ingatan masa lalunya, jika ia bukanlah anak dari rekan bisnis mertuanya—Samuel. 

Namun, pria paruh baya bermata empat itu telah mengubah kehidupannya. Ia jadi memiliki dan tahu bagaimana rasa kasih sayang dari sosok ayah. Selain mengubah kehidupannya, pria yang kini usianya sudah setengah abad tak sama sekali membenci dirinya walau Indra diketahui bukanlah darah dagingnya bahkan ia mewarisi semua harta kekayaan Samuel.

"Astagfirullah. Mami baru tahu Nak Indra, maaf kalau tadi pertanyaan Mami—" 

"Nggak apa-apa. Aku paham sama apa yang Mami rasakan, tapi apa Kei tahu tujuan Mami meminta dia nikah muda? Seingatku kata Papa, kalian sempat ingin bangkrut. Apa itu bener?" 

"Hem." Geisya menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.

"Apa itu benar, Mi?" ulang Indra.

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang