Part 51. || Niat Baik Tertolak

30 2 0
                                    

Senja kali ini terlihat sangat berbeda. Di mata Keisya ketika ia keluar dari mobil bersama sang suami dan maminya untuk mengunjungi rumah mendiang Jessica, terasa begitu menyeramkan. Bulu kuduk Keisya tiba-tiba merinding. Entah mengapa dan apa yang terjadi sebenarnya dalam diri Keisya. Ia sendiri tidak tahu.

Meski begitu ia tetap berusaha untuk terlihat tenang dan tetap tersenyum di hadapan sang suami dan maminya.

"Semoga mereka bisa terima niat baik kita, ya," ucap Keisya membuka suara tatkala baru saja menginjakkan kaki di lantai rumah mendiang Jessica.

"Aaamin, Sayang. Semoga," tambah Indra sembari mengecup kening istrinya tak malu-malu.

"Ih kamu. Nggak lihat-lihat ini di mana," protes Keisya, kemudian menjauhkan wajah Indra darinya.

Indra nyengir. Sementara itu, raut wajah Geisya tampak berbeda 180° dari Keisya dan Indra. Dilihat dari rona wajahnya Geisya seakan terpaksa datang bersama Keisya ke sana. Wanita itu seperti sedang tengah memikirkan sesuatu yang entah apa.

"Apa Mami baik-baik aja?" 

"Hem? I-iya, Sayang, Mami baik-baik aja," kilah Geisya. 

Keisya tak banyak bertanya. Detik itu juga ia mengetuk pintu, sedangkan Indra memencet bel yang letaknya berada di samping Indra. 

"Heheheh. Kei kira nggak ada bel," ujar Keisya.

"Makanya lihat-lihat." 

"Nggak bisa lihat. Gimana dong? Habisnya mata Kei itu penuh dengan sosok pria tampan, memesona, manis, super cute deh pokoknya. Jadi, Kei nggak bisa lihat yang lain. Kei maunya lihat suami Kei aja. Gimana?" jawabnya ngasal.
Indra menyentil kening Keisya membuat perempuan yang tengah berbadan dua itu pun meringis kesakitan. Selang beberapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki yang mengarah ke arah pintu. Baik Keisya maupun Indra dan juga Geisya, mereka bertiga memundurkan langkahnya satu langkah.

Pintu pun terbuka dan terlihat seorang wanita seusia maminya tengah berdiri di hadapan mereka. Tatapannya begitu tajam seperti hendak menerkam binatang saja, raut wajahnya pun memerah seperti tengah menahan amarah.

"Untuk apa kalian datang ke sini, hah? Apa kalian datang ini sengaja mau menertawakan almarhumah anak saya gitu, iya?" 

Tuduhan macam apa itu? Bahkan Keisya sendiri tak pernah terpikir ke arah sana. Keisya datang ke rumah itu dengan mengajak mami dan suaminya mengucap turut berduka atas meninggalnya Jessica sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin-kemarin. Namun, yang terjadi malah lain daripada kenyataannya.

"Tante bisa-bisanya nuduh kayak gitu, Tan?" tanya Keisya tak mengerti.

"Bisa-bisanya gimana? Orang bener, kan, kalian pasti seneng anak saya meninggal?" Lagi-lagi wanita itu menuduh Keisya, "Kamu!" tunjuk wanita itu pada Indra.

"Selama belasan tahun anak saya terus memimpikan kamu jadi suaminya, kamu malah berpaling ke perempuan lain? Kurang apa anak saya, Indra. Kurang apa? Jessica jauh lebih cantik daripada perempuan udik kek dia!" hina mamanya Jessica.

Sebelum Indra ingin mengucapkan sesuatu, Geisya lebih dulu membalas ucapan wanita itu. 

"Dasar wanita nggak tahu diri kamu. Beraninya hina anak saya!" geram Geisya, " … sejak awal Indra memang udah nggak suka sama anak kamu, ya! Jangan bawa-bawa anak saya, dong. Anakmu aja yang matre dan nggak pernah mengerti dengan kondisi Indra. Anakmu yang hobinya gonta-ganti laki-laki. Siapa yang tahan coba?" 

"Heh. Kamu! Kata siapa anak saya kayak gitu, hah?" desak mamanya Jessica.
Pertengkaran semakin sengit saja. Niat baik Keisya kini berubah menjadi sebuah permusuhan antara maminya dengan wanita itu. Ia maupun Indra sulit sekali memisahkan keduanya sampai-sampai Indra meminta bantuan pada penjaga gerbang dan orang-orang di sekitar. Bersamaan dengan itu seorang pria paruh baya turun dari mobil. Menanggapi hal itu, Keisya terperangah.

"Bapak-bapak itu siapa, Sayang?" tanya Keisya setengah berbisik.

"Papanya Jessica, Sayang. Om Mirwan," jawab Indra.

"Mami! Mami, Tante sudah cukup!" teriak Keisya.

"Diam aja kamu! Nggak usah ikut campur urusan orang tua dan andai saja Indra nggak nikahin kamu, anakku Jessica mungkin sudah bahagia."

'Nggak. Keisya nggak boleh nangis cuma karena mamanya Jessica bilang kayak gitu,' batinnya. 

Ia tetap berusaha menahan diri agar bulir air bening tak tumpah saat itu. Sekuat mungkin ia terus menguatkan diri meski ujung-ujungnya mama dan papanya Jessica tak terima dengan apa yang sudah terjadi sekarang. Mereka tak pernah berhenti menghina bahkan merendahkan Keisya. Putri mereka meninggal ketika dalam kejaran polisi dan mereka menyalahkan Keisya atas kejadian ini. 

"Cukup, Om, Tante! Kalian berdua boleh saja memaki saya apa pun terserah kalian, tapi sekali lagi kalian menghina istri saya. Sampai kapan pun saya nggak akan terima. Ingat itu!" ancamnya. 

Ditariknya tangan Keisya oleh Indra. Semakin lama langkahnya semakin cepat, Keisya tak bisa menyeimbangkan kecepatan langkah kaki suaminya dengan kondisinya sekarang yang berbadan dua—sudah menuju empat bulan kehamilannya lebih tepatnya.

"Kamu sih dibilangin ngeyel. Kita tuh percuma datang ke sini, ketemu mereka mengucapkan turut berduka cita sama mereka, Kei! Mereka sejak awal kan udah tahu benci sama kamu, sama aku juga gara-gara aku terus menerus menolak anaknya. Kalau kejadian kek gini terus saat nggak ada aku gimana?" omel Indra. 

"Pokoknya mulai detik ini kita nggak usah ngerasa simpati lagi sama mereka, nggak terima aku. Istriku sendiri dihina-hina kayak gitu, memangnya mereka sekaya apa sih sampe berani ngomong kayak gitu? Nggak sadar apa anaknya matrenya nggak ketulungan," tambah Indra seakan pemuda itu belum puas mengomel.

Kedua kaki Keisya tak mampu lagi berjalan apa lagi harus menyamakan langkahnya dengan sang suami. Jelas Keisya akan kewalahan, ia pun melepaskan genggaman tangan suaminya dan tiba-tiba berjongkok di tengah jalan sembari memegangi kedua kakinya.

"Kamu kenapa, Kei?" 

Geisya yang lebih dulu menyadari kalau Keisya tiba-tiba berhenti dan tertinggal oleh Indra.

"Kei capek, Mi. Dia ngomel-ngomel terus ditambah dia jalannya cepet, Mi. Kei lagi bunting gini cepet capek," keluh Keisya sambil bibirnya tak monyong. 

"Nak Indra!" teriak Geisya.

Bagi Keisya untuk saat ini seseorang yang paling mengerti dan memahami sikap Keisya hanyalah maminya—Geisya. Terbukti sekarang ketika dirinya kelelahan, Geisya berteriak memanggil menantunya yang jaraknya sudah cukup jauh dari halaman rumah mendiang Jessica.

Keisya melihat Indra telah membalikkan badannya. Ia berpikir Indra akan menyusul dirinya dan menggendongnya hingga sampai ke mobil, kemudian turun dan memasuki rumah pun digendong sang suami—seperti di film-film yang seringkali ia tonton.

Akan tetapi, fakta membuktikan bahwa laki-laki itu malah memasuki mobil dan hanya meliriknya sekilas membuat amarah yang tertahan dalam dirinya kini meluap-luap. Ia berdiri sembari menghentak-hentakkan kakinya.

"Dasar suami nggak peka, nyebelin banget, sih, jadi orang. Udah tahu istrinya lagi hamil, peka dikit gitu kek. Gendong atau apa. Ini malah maen masuk mobil gitu aja, ihhhhh," gerutu Keisya.

"Sayang tenang dulu, oke. Jangan marah-marah nanti cepet tua loh, tuh liat ke sana siapa yang data—"

"Apanya yang siapa, sih, Mi? Tahu ah, pokoknya Keisya hari ini kesel ba … lah kok dia—"

Apa yang dilihat Keisya?

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang