Part 39. || Ada yang Janggal

29 6 0
                                    


"Kak Indra!" 

"Kak Indra!" teriak Keisya sekali lagi.

"Eh-eh, ayo bantuin yuk!" 

"Iya, ayo." 

"Semoga warga bisa menangkap, ya, orang yang udah nabrak mereka. Yuk, kita bantu," ajak yang lainnya.

Seluruh tubuh Keisya terasa melemas tatkala mendapati suaminya menjadi korban tabrak lari dari seseorang yang tak bertanggung jawab. Bulir-bulir air mata berlinang membasahi pipinya, ia ingin mendekat ke arah suaminya tergeletak bersimbah darah. Sedangkan, jangankan untuk membantu suami sendiri, dirinya pun sama-sama terluka. Namun, tidak separah apa yang dialami suaminya.

Teringat jelas ketika ia dan sang suami sama-sama menoleh ke belakang. Keisya yang awalnya hendak menyingkirkan Indra, malah Indra mendorong hingga kepalanya membentur mobil milik orang lain. Ia pun terjatuh lantaran merasa kepalanya perih, nyeri semua bercampur menjadi satu.

"Kak Indra! Andaikan saja Kei yang tertabrak, andaikan saja Kakak nggak coba buat ngehalangin Kei. Mungkin sekarang Kak Indra selamat dan Kei yang ada di posisi Kakak," ucapnya lirih, sembari menyeka air matanya.

'Kak! Kakak sudah banyak berkorban buat Kei, Kakak jagain Kei di manapun, kapan pun bahkan selalu gantiin Kei saat Kei dihukum. Kak! Kei nggak mau kehilangan Kakak,' batinnya. 

Masih dalam keadaan sadar. Ia melihat beberapa pengunjung bandara dan sekitarnya menghampiri ke arah dirinya. Sebagian lagi menuju ke tempat di mana Indra berada. Tak jauh dari tempatnya sekarang. 

"Mbak! Apa Mbak nggak apa-apa? Mari saya bantu, Mbak." 

Seorang perempuan dengan tinggi hampir sama dengan suaminya menawarkan bantuan padanya. Diikuti oleh perempuan lain yang mengenakan pakaian kaos berlengan pendek dengan rok di atas lutut, perempuan tersebut mengulurkan tangannya. Alhasil, Keisya meraih tangan keduanya dan mengabaikan yang laki-laki. Karena bagi Keisya yang berhak menyentuh meski hanya sekedar tangan saja itu hanyalah suaminya.

"Tolong bantu suamiku, Kak. Tolong dia, Kak! Tolong!" pinta Keisya setengah memohon.

"Warga lain sedang berusaha membantunya. Mbak tenang saja. Mari kami antar Mbak ke rumah sakit," ujar perempuan berpakaian serba kurang bahan dengan rambut tergerai panjang, warnanya sedikit pirang.

"Kalian tolong bawa kami ke rumah sakit, pakai mobil saya aja. Boleh salah satu dari kalian mengantar? Saya se—" 

"Aduh. Si Mbaknya malah pingsan lagi." 

Sejam kemudian … 

Keisya terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap melihat ke langit-langit dan ia mencium bau sesuatu menusuk hingga ke hidungnya. Keisya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia menemukan seorang perempuan seperti tengah mencatat sesuatu dan seorang lagi tampak lebih tua dari sebelumnya. 

"Alhamdulilah. Qodarullah, akhirnya Mbak sudah sadar juga."

"I-ini di-di- rumah sakit?" tanya Keisya terbata-bata sembari mencoba bangun dan duduk, tetapi kedua perempuan di sampingnya melarang Keisya dan meminta ia kembali merebahkan tubuhnya. "Kak Indra! Dok, Dok kenapa saya bisa di sini? Suami saya di mana? Suami saya. Tolong saya mau ketemu sama suami saya, Dok!" 

"Iya. Mbak sekarang lagi di rumah sakit, Mbak jangan khawatir suami Mbak sedang ditangani sama Dokter lain. Sepertinya kalian korban tabrak lari, ya? Bersyukur Mbak bisa selamat dan kandungan Mbak pun sehat, cuma ada sedikit memar di bagian kaki sama keningnya." Perempuan bergelar dokter itu pun menjelaskan.

'Alhamdulilah, ya Allah. Engkau telah menyelamatkan anak hamba, tapi bagaimana dengan suami hamba? Hamba ingin melihatnya,' batin Keisya yang terus saja tak henti-hentinya menangis.

Meskipun mencoba bangkit dan berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Sayangnya, tubuh Keisya menolak. Isak tangis pun semakin pecah tatkala ia menemukan seseorang yang sangat ia kenali sedang berdiri di balik pintu menatapnya iba. Seseorang dengan rambut sedikit beruban, kulit keriput, tetapi di mata Keisya orang itu sangatlah tampan melebihi siapa pun.

"Nak Keisya! Bagaimana keadaanmu, Sayang?" 

"Pa-Papa Sam? Papa … Papa kapan ke sini? Oh iya, Pa. Bantu Kei buat bisa ketemu sama Kak Indra. Kei pengen ketemu sama dia, Pa!" rengek Keisya.

Keisya yang malang. Gadis bertubuh mungil, berkulit putih dengan cara bicaranya yang sedikit cadel itu pun tak ada satu pun yang membantunya untuk bertemu dengan sang suami. Seakan ia dan Indra dipisahkan dan tidak ada seorang pun yang rela melihat kebersamaan keduanya. Mengapa?

Keisya semakin histeris, memaksa ingin melihat kondisi suaminya. Namun, mertuanya mencoba menenangkan dan terlihat pria itu seperti ingin menyampaikan sesuatu.

"Papa! Papa kok tumben nangisnya kek lagi ngerasain perih, nyeri kek bukan tangisan biasa gitu. Papa kenapa, Pa?" 

"Nak! Sepertinya Papa sekarang harus membawa suamimu ke luar negeri untuk melakukan pengobatan, suami …." Kalimat mertua Keisya—Samuel terjeda sesaat. "Papa ingin secepatnya me-me-menyembukan Indra. Dokter yang di sini sama sekali tak ada yang menyanggupi."

Perasaan Keisya mulai tak menentu. Pikirannya benar-benar berkecamuk. Tubuh mungil itu seakan tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya akan benar-benar dipisahkan dari seseorang yang selama ini berada di sampingnya, menjaganya, menerima segala kekurangan Keisya tanpa sekali pun mengeluh.

Mengapa tak sekali pun Tuhan mengizinkannya untuk bertemu, meski untuk sesaat saja?

"Kenapa saat Keisya baru menyadari kalau dunia pernikahan itu tak seburuk yang Kei bayangkan. Justru dunia pernikahan, pacaran setelah menikah itu benar-benar sangat indah. Kei baru merasakan kasih sayang, ketulusan yang diberikan Kak Indra sama Kei. Tapi … kenapa sekarang malah kami akan dipisahkan? Apa Kei tidak boleh ikut, Pa? Kei mau dampingi suami Kei, Pa. Plis!" rintih Keisya seraya menyeka air matanya.

"Papa paham, Sayang." Samuel mengusap puncak kepala menantunya, "terkadang kita baru akan menganggap seseorang tulus menyayangi kita di saat seseorang itu sudah tiada. Itu ya … wajar saja, Sayang. Kamu … Papa minta jaga diri baik-baik selama kami nggak ada, selama Indra nggak ada. Kamu … kamu harus tetep kuat dan terus mendoakan Indra, ya, Nak."

Setiap kali ditanyai mengapa Keisya tidak bisa ikut menemani suaminya pengobatan juga diizinkan melihat kondisi suaminya selama sebelum keberangkatan. Samuel—-sebagai mertua sekaligus papanya Indra malah menutipinya.

"Kei ngerasa ada yang Papa sembunyikan. Papa kenapa nggak pernah jawab pertanyaan Kei?"

Pria paruh baya itu mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Dalam diam pria itu menyeka bulir-bulir air mata yang beberapa kali jatuh membasahi pipinya.

'Harusnya hari ini menjadi hari keberangkatan Kak Indra untuk tugasnya. Ya Allah, apa salah kalau Kei tadi memiliki firasat kayak gitu? Kei rasanya pengen mengulang kejadian tadi, Kei pengen Kei aja yang ada di posisi Kak Indra sekarang. Jangan dia!' batinnya.

"Nak! Ini sudah mau sore, Papa minta Bi Ani ke sini untuk temani kamu, ya. Biar Papa sedikit tenang ninggalin kamu. Papa sudah pesan tiketnya untuk keberangkatan Papa sama Indra. Jaga diri ba—-"

"Kei nggak akan kasih izin ke Papa sebelum Papa menjawab pertanyaan Kei. Kei ngerasa kepergian Kak Indra untuk ke luar negeri itu janggal banget," potong Keisya setengah berteriak dan berhasil menghentikan langkah kaki pria itu.

"Kei!" 

"Papa egois. Papa nggak mikirin Kei sama anak kami, Pa! Cucu Papa. Kalau sayang sama kami, jawab pertanyaan Kei tadi!" 

Apa mertuanya Kei akan menjawabnya?

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang