~ Part 20. Malu Tapi Mau ~

97 19 0
                                    

Tinggal seorang diri di rumah rasanya sungguh membosankan ditambah dalam kondisi hamil muda seperti ini. Melihat Indra—-sang suami tengah bersiap-siap pergi ke kantor, terbersit dalam benaknya untuk meminta suami tercinta mengajaknya. Namun, mengingat percaķapan semalam yang membuat sikap Indra sedikit berbeda pagi ini, Keisya tampak ragu memanggil Indra. Ia hanya duduk di tepi ranjang sembari mengelus perutnya, lalu pandangan matanya mengarah pada punggung suaminya. 

'Kei pengen minta maaf soal semalam, tapi gimana caranya, ya? Malu rasanya,' gumamnya. 

Seakan tahu apa yang tengah dipikirkan sang istri, Indra menoleh sesaat dan ia mengambil sesuatu dari dalam lemari. Pakaian bersih nan indah diberikan Indra kepada Keisya, tetapi anehnya pemuda itu memberi barang tanpa melihat ke arah Keisya. Istrinya sendiri. 

Apakah Indra masih marah terhadapnya, lalu untuk apa dia memberikan gaun indah lengkap dengan hijabnya sekarang? Sementara untuk hari ini tidak ada jadwal kuliah sama sekali. Ia hanya mengambil waktu kuliah empat kali dalam seminggu. Lantas, apa tujuan Indra memberikan itu?

"Untuk apa Kak Indra beri gaun bagus ini, baru, ya?" 

Antara ingin dan tidak mengambil pakaian indah itu, Keisya menungu Indra membalas pertanyaannya. "Pakai saja! Katanya malas di rumah sendiri. Mau lihat kantorku, gak?" Hanya itu saja jawabannya, lalu apa ajakannya tersebut itu berarti dia sudah resmi memaafkan ucapannya semalam? 

Ah, tidak baik sepertinya terlalu banyak berpikir untuk ibu hamil muda. Keisya mesti apa sekarang?

"A-anu." 

"Mau atau nggak, nih? Udah siang loh, barangkali kamu mau lihat kantorku atau mau lihat cafe shop aku gitu. Daripada bosen di rumah dan katanya, ya, sendirian di rumah apalagi lagi hamil terus bengong. Bisa-bisa kepentok setan loh," goda Indra. Suaminya sendiri malah mencoba menakut-nakuti Keisya. Alhasil, guling pun dilempar ke arah Indra. Gaun indah yang telah di licin terjatuh. 

"Astagfirullah. Kamu ini, ya! Udah baik suamimu ajak keluar, ambilin baju malah dilempari guling. Dosa tahu," ketus Indra yang pada akhirnya si tampan bermuka manis itu pun menoleh sembari sesekali mengaduh kesakitan.

"Ya … maaf. Abisnya Kak Indra nyebelin, katanya ngambilin baju. Ngajakin, kenapa malah nakut-nakutin?" 

Pemuda itu menghela napas panjang, kemudian mengambil gaun yang telah diambil dari lemari dan kembali menyetrika supaya tampak rapi. Benar-benar suami multitalent. Selain jago masak, jago menghidangkan makanan, jago mengurus perusahaan juga cafe shop. Rupanya jago menyetrika juga. 

Sekembali Indra menyetrika pakaian yang akan dikenakan Keisya hari ini. Ia masih belum mengungkapkan permintaan maaf soal semalam. Terdiam tanpa kata bak patung, tidak mengambil pakaian itu dan membuat Indra menunggu terlalu lama.

"Ya udah. Kalau gak mau ikut terserah deh, intinya aku sudah ajak kamu, ya. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku tinggal!" 

Pakaian itu ditaruh Indra di atas ranjang. Lebih tepatnya di samping Keisya berdiri. Indra telah pergi dan dalam sekejap tak terlihat lagi oleh pandangannya. Keisya menggerutu, menggaruk-garuk tengkuknya. 

Ia berjalan ke kiri dan kanan, kemudian ia mengintip kepergian suaminya dari balik jendela. Hati kecil Keisya tidak ingin suaminya pergi, tetapi lantaran mulutnya yang terasa gagu, kelu tidak mau berbicara. Indra pergi begitu saja dan kini hanya tinggal penyesalan semata. 

Keisya tak tinggal diam. Ketiadaan sang suami ke kantor jelas membuat suasana rumahnya makin sepi. Keisya mengambil ponsel, dipikir hendak menghubungi Indra untuk lekas kembali menjemput dirinya. Namun, yang terjadi bukan itu. Justru malah sebaliknya. Keisya bukan menghubungi Indra melainkan sahabatnya Madina.

"Sebentar lagi aku sampai rumah kamu, kok, Kei. Ditunggu, ya!" ujar Madina sebelum mengakhiri panggilan suaranya.

Sembari menanti kedatangan sang sahabat ke rumah, Keisya mengambil handuk dan ia membersihkan dirinya. Berganti pakaian, lalu merias diri dengan tampilan sederhana. Beberapa menit setelahnya samar-samar ia mendengar suara bel berbunyi beberapa kali. Keisya tak langsung turun ke bawah. Ia melihat dari balik jendela ke bawah. 

"Madina cepet juga ternyata nyampenya," ujar Keisya. 

Keisya menyambut kedatangan sahabatnya dengan raut wajah bahagia. Senyum indah terlukis di wajahnya. Pelukan itu terjadi beberapa kali. 

"Keisya repotin Madina, ya? Harus nyuruh Madina ke rumah segala buat temenin Kei," katanya. Rona wajah Keisya berubah murung.

Madina memegang kedua pundaknya, kemudian meminta sang sahabat menatapnya. "Nggak ada kata merepotkan, Kei. Aku ke sini pun emang atas dasar kemauanku aja. Kebetulan sekarang kita nggak ada jadwal kuliah, makanya aku ya main gitu ke sini." 

"Tapi omong-omong kamu ada apa, tadi kedengerannya di telepon kek lagi gelisah gitu. Apa kamu bertengkar sama Kak Indra atau ada hal lain yang bikin kamu gelisah? Apa soal Jes—-"

"Nggak, Madina. Hm, kita ngobrolnya di dalam aja, yuk? Nggak enak ngobrol di depan pintu kayak gini," ajak Keisya, lalu menggandeng tangan sahabatnya.

Kegelisahan yang dirasakan Keisya perlahan memudar seiring ia bercerita dan mendapatkan solusi dari sahabatnya. Madina. Setelah ia merasa dirinya tenang, ia berniat ingin melakukan sambungan video call dengan sang suami untuk meminta maaf atas kejadian semalam dan tadi pagi. Yang seharusnya Keisya tidak mendiamkan suaminya. 

"Daripada lewat sambungan video call. Apa nggak sebaiknya kamu datangin aja ke kantornya, Kei? Nggak apa-apa biar aku temenin kamu, tapi aku nunggu kamu di gerbang aja, ya. Kamu masuk aja ke dalam temui suamimu. Bagaimana?" 

Ada baiknya memang seperti itu seharusnya. Ya, meminta maaf lewat sambungan telepon rasanya kurang pantas dan pada akhirnya Keisya pun menyetujui saran dari sahabatnya. Selain itu Keisya memantapkan hatinya untuk menerima pernikahan ini, menjaga janin yang ada dalam kandungannya juga tidak akan mengabaikan suaminya. 

Sebelum jam makan siang. Keisya dan Madina berangkat menuju kantor di mana Indra bekerja. Keisya membawa sesuatu kejutan untuk ia bisa berikan pada suaminya. 

"Semoga Kak Indra suka sama masakanku, ya, Madina. Tapi, ragu," keluh gadis itu.

"Nggak usah ragu, Keisya. Ini sebentar lagi kita akan sampai di kantornya suamimu, tuh lihat." Madina menunjuk ke arah depan dengan tangan kirinya. "Sudah. Mending sekarang kamu turun aja, ya. Katanya mau minta maaf dan janji buat nggak bersikap kekanak-kanakan lagi. Hayo?" 

Keisya mengangguk. Ia mengambil paper bag di jok bagian belakang, lalu berpamitan pada sahabatnya. 

Ia berjalan menyusuri halaman kantor. Sekilas ia melihat seorang bapak tua yang tengah berdiri di depan gerbang lengkap dengan pakaian kerjanya. Ia menyapa bapak tua tersebut dan meminta izin ke dalam. 

Kata maaf tak jua terucap olehnya yang saat ini berdiri mematung di bawah terik matahari. Lagi dan lagi sebuah pemandangan tak sedap tersuguh di depannya.

"Kak Indra," ucapnya lirih. 


~ Bersambung ~

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang