Part 42. || Kabar Buruk

21 5 0
                                    


"Papi tunggu, Pi!" pinta Geisya.

"Ada apa lagi, sih, Mi?" 

"Ponsel Mami berbunyi, Pi. Kayaknya ada telepon penting, bentar!" 

Degup jantung Geisya—mami Kei ini tiba-tiba berdebar cukup kencang. Kedua tangannya terasa gemetar tatkala mengambil ponsel dari dalam tasnya. Apa lagi kala kedua matanya mendapati sebuah nama yang terpampang jelas di layar ponsel menandakan ada sesuatu, sehingga seseorang yang sama sekali tak biasa menghubunginya, kali ini meneleponnya. Tiba-tiba.

'Tumben banget, ya?' pikirnya.

"Halo, Madina sayang. Ada apa, Nak? Tumben banget telepon Tante, kenapa?" 

"Halo, Tante. Assalamualaikum, maaf Madina mengganggu waktu Tante. Madina mau sampaikan kalau Kei sekarang lagi di rumah sakit, lagi ditangani sama Dokter," ujar Madina—seseorang yang menghubunginya beberapa menit lalu.

"Kamu serius, Din? Anak Tante masuk rumah sakit? Perasaan nih, ya, tadi sebelum pergi dia minta kami buat telusuri siapa pemilik mobil dari gambar yang dia kasih ke Tante," katanya.

Seakan tak percaya pada apa yang dikatakan oleh sahabat putrinya. Geisya mematikan sambungan telepon dan mengajak sang suami menyusul ke rumah sakit yang mana lokasinya telah ia dapatkan dari Madina. Mulanya sang suami menolak dan lebih mementingkan urusan pencarian si pemilik mobil itu. Namun, Geisya menyodorkan alamat rumah sakit berikut gambar putrinya bahwa memang benar Keisya di rumah sakit.

Detik itu juga tanpa banyak basa-basi. Tanpa memikirkan masalah kantor atau urusan lain yang justru 'mungkin' lebih penting dan akan berdampak pada kelangsungan nanti perusahaannya. Antara perusahaan dan anak, keduanya sama-sama memilih anak. Hingga Geisya dan sang suami langsung menuju lokasi.

"Aduh, Papi ini gimana, sih? Buruan dong bawa mobilnya napa, Mami tuh nggak sabar banget pengen tahu gimana kondisi anak kita, Pi. Apa lagi setelah mendengar dari Madina kalau Kei itu di dorong sama anak buahnya si Jessica, Mami nggak bisa terima," cerocos Geisya.

"Sabar, Mi. Nggak usah terburu-buru juga, positif thinking aja. Ya … siapa tahu apa yang dikatakan Madina salah atau mungkin bisa saja Madina bilang kayak gitu nggak lihat kejadiannya?" 

"Papi ini, ya. Susah banget dibilangin!" gerutu Geisya seraya mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Iya deh, iya. Papi ngaku salah, maaf." 

Geisya sama sekali tak menanggapi. Hati dan pikirannya penuh dengan bayang-bayang putrinya. Ia bertanya-tanya mengapa Keisya bisa sampai di tepi jalan komplek perumahannya? Untuk apa Keisya harus berbincang-bincang di jalan segala? 

Ah, rasanya sungguh sakit memikirkan sesuatu yang belum tentu kebenarannya bagaimana. 

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, Geisya benar-benar dibuat dongkol. Sudah suaminya tidak bisa diajak kompromi, ditambah ia harus mengalami kemacetan panjang yang bahkan entah sampai kapan bisa kembali jalan mengingat lampu merah tampaknya tidak ingin cepat-cepat berganti warna.

"Apa Mami lewat jalan pintas aja kali, ya, Pi? Biar Papi aja di sini yang nungguin sampe lampunya berubah dan mobil ini kembali jalan?" 

Gerakan tangan sang suami rupanya sangat cepat. Pria bermata empat tanpa kumis maupun jenggot itu menatap kedua irisnya dalam-dalam. "Dengerin, Papi, Mi! Kamu sabar dulu, tenangin pikiranmu. Oke? Papi tahu gimana perasaan Mami, tapi plis jangan terburu-buru. Tahu, kan? Kei pernah nasehatin kita kalau sesuatu itu jangan dilakukan secara tergesa-gesa. Nggak baik loh!" 

"Huft. Lama-lama Papi hampir sama kayak Keisya, ya? Suka banget kalau berdalil," keluh Geisya.

"Iya, kan, Kei bisa kayak gitu siapa coba yang ngajarin?" 

Perdebatan tersebut berakhir ketika suara-suara klakson di mobil belakang terus berbunyi tiada henti. 'Mengganggu telinga saja,' umpat Geisya dalam hati. Namun, meski begitu Geisya mengulum senyum, ia tampak bahagia tatkala lampu merah telah berganti warna. Amarah dalam dirinya yang sedari tadi di tahan pun perlahan sirna. 

Suara klakson dari belakang tak jua berhenti. Padahal di depan pun mobil berjalan kayak kura-kura—sangat lamban. Telinga Geisya terasa sakit akan hal itu, tetapi lagi dan lagi sang suami berusaha menenangkannya. Hingga tak ia sadari jika kendaraan yang ditumpangi bersama sang suami telah berada di halaman rumah sakit. 'EMC SENTUL HOSPITAL.' Nama rumah sakit yang Madina sempat kirimkan kepadanya beberapa jam lalu.

"Ayo, Pi, buruan!" ajak Geisya. Wanita satu ini benar-benar tak sabar.

"Iya, sebentar," jawabnya, kemudian mengunci mobil terlebih dulu.

"Itu ada perawat yang lewat, Pi. Kita coba tanya sama dia, yuk, barangkali dia tahu." 

"Mending langsung ke dalam aja, Mi. Ke resep—" 

Sang istri lebih dulu menghampiri perawat yang akan memasuki ruangan tersebut. Geisya menghentikan langkahnya dan sedikit bertanya soal putrinya dengan menunjukkan potret Geisya.

Geisya bertanya, "Apa Suster tahu?" 

"Kalau ini saya tahu, Bu. Beberapa jam lalu sekitar pukul sepuluh lebih memang ada sepasang suami istri masih muda bawa perempuan ke sini. Orangnya persis seperti yang Ibu tunjukkan fotonya," jawab perawat itu sembari memperlihatkan senyumnya.

"Benarkah, Sus?" Sekali lagi Geisya meyakinkan, "Pi! Beneran ternyata. Kalau begitu apa Suster bisa antar kami ke ruangannya?" 

"Boleh, Bu, Pak. Mari," balasnya lagi.

Geisya berpikir bahwa ruangan putrinya berada di lantai bawah. Namun ternyata, sang perawat mengajak mereka berdua memasuki lift dan perawat itu menekan tombol 3. Apakah mungkin ruang perawatan Kei terletak di lantai 3?

Baik Geisya maupun suaminya keduanya sama-sama bungkam. Hanya lantunan doa dalam hati Geisya tentang putrinya, tentang kondisinya dan semua hal berkaitan dengan putri manjanya.

"Sudah hampir mau sampai, Bu, Pak. Ruangannya sudah terlihat dari sini, kamar mawar no. 213 di situ ada sepasang suami istri yang sedang menunggui pasien,' papar perawat itu.

"Makasih banyak, Sus." 

"Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi," pamitnya.

"Oke." 

Geisya dan sang suami mempercepat langkahnya untuk tiba di depan ruangan mawar yang disebutkan perawat tadi. Perasaan Geisya sekarang makin tak menentu. Ia hampir melupakan jika dari pagi hingga senja akan hilang ditelan malam pun belum mengisi perutnya.

"Madina sayang. Makasih udah antar anak Tante sampe rumah sakit, ya, Nak! Tapi kamu udah tahu gimana kondisi  Keisya? Dia gimana?"

Madina membalas pelukan mami sahabatnya, lalu menjawab satu persatu pertanyaan yang dilontarkan Geisya kepadanya. "Sama-sama, Tante. Sampai sekarang kami masih belum mengetahui gimana kondisi Kei, cuma sekarang dokter sedang melakukan tindakan untuk menyelamatkan Kei sama janinnya yang Kei kandung sekarang. Kita berdoanya aja, ya, Tan." 

"Apa? Bagaimana bisa kayak gitu, Din?" Bulir-bulir air mata perlahan jatuh membasahi pipinya, " … gimana ceritanya bisa sampai didorong dan setahu Tante, ya, Kei sebelum kami pergi ada di kamar bangun tidur."

Bi Ani mendekati bos besar—mami majikannya seraya menunduk, "A-anu, Nyonya, Tuan. Ma-maafkan saya kalau—-"

"Om, Tante! Dokternya udah keluar," sela Arken. 

Mereka menoleh pada seseorang yang baru saja keluar dari ruangan mawar—tempat di mana Keisya di rawat. "Dok. Bagaimana keadaan anak saya? Dia baik-baik aja, kan?" 

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang