~ Part 32. Suami Nggak Pernah Peka ~

28 5 0
                                    


Karena ulah Bi Ani. Jessica sampai melajukan kendaraannya dengan kecepatan sangat tinggi. Seakan tidak peduli dengan lalu lintas yang padat merayap. Hati dan pikirannya tertuju pada berita papanya. Jessica masih ingat. Benar-benar ingat dengan sangat jelas bahwa papanya sedang dirawat di salah satu rumah sakit terbaik di Jakarta. Besar harapan Jessica, tidak ada sesuatu hal terjadi pada papanya. 

Setiap rumah sakit yang ia ketahui telah ditelusuri dengan sangat baik. Ia bertanya-tanya pada perawat dan juga dokter yang dikenali mengenai papanya. Sayang, hampir setiap orang juga rumah sakit yang dituju jawabannya tetap sama. Tidak ada pasien dengan nama yang disebutkan olehnya tadi. 

Kini kendaraan Jessica melaju ke arah rumahnya selepas dari rumah sakit Citra Medika. Ia benar-benar dibuat geram akan bagaimana fakta sebenarnya. Ia mendapatkan kabar papanya di rumah sakit ketika masih di rumah Indra. Namun, yang terjadi lain daripada yang didapatkan.

"Mama! Papa! Ma!" teriak Jessica dari luar. 

Ia sudah sampai di rumah tepat jam tujuh malam, bersamaan dengan itu azan isya berkumandang. Jessica tampak terburu-buru sampai-sampai ia tiga kali bolak-balik dari mobilnya ke depan pintu. Hanya untuk mengambil tas, juga memeriksa apakah sudah dikunci dan tak ada yang tertinggal.

Ia mempercepat langkahnya dan begitu ia tiba di ruang tengah. Terdengar suara cekikian dari ruang sebelah. Lantaran rasa penasarannya terlalu besar, Jessica pun berbelok ke arah kiri menuju dapur. 

"Kalian di sini rupanya? Terus ta-tadi—-"

"Pulang-pulang kok wajahnya kayak gitu, sih, Sayang. Ada apa? Kenapa kek kaget lihat Papa sama Mama ketawa-ketawa di sini? Hem, sini-sini deh duduk dulu dan tenangin dulu pikiranmu, ya!" potong seorang laki-laki berambut ikal, dengan kumis tipis dan uban di kepalanya yang tumbuh makin banyak.

Selangkah demi selangkah akhirnya Jessica telah dekat di antara papa dan mamanya. Untuk memastikan apakah benar yang ia dekati saat ini papanya atau justru bukan. Atau hanya ia salah melihat saja? 

"Jes! Apa yang terjadi sebenarnya sama kamu, Nak? Papamu kenapa kamu raba-raba kayak gitu?" Kini giliran sang mama yang bertanya.

"Ta-tadi Jessica dapat kabar kalau katanya Papa itu kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Terus ya panik dong, tapi pas dicari di semua rumah sakit pada bilang nggak ada yang pasien atas nama Johan Hartato." 

"Siapa yang bikin berita bohong itu, Nak? Sampai-sampai kamu kayaknya kesel sama orang itu. Coba sini cerita sama Papa. Biar Papa ketemu sama orang itu, Papa kasih pelajaran. Berani-beraninya dia sudah bikin anak Papa jadi semarah ini," sahut pria tua itu.

"Udahlah, Pa. Nggak perlu dibahas lagi aja. Yang penting Papa sama Mana baik-baik aja, itu semua sudah cukup bagi Jessica. Urusan siapa orang yang udah bikin Jessica kayak gini. Biarlah jadi urusan Jessica pribadi aja, ya." 

'Ini semua karena pelayan tua bangka itu. Karena dia aku sampai harus menanggung malu kayak gini. Semua rumah sakit di Jakarta kukunjungi, tapi semua nihil. Awas aja! Jangan harap bisa lepas dari aku,' gerutu Jessica dalam hati. 

Karena masih merasakan kekesalan yang teramat sangat. Jessica jadi tidak selera untuk menyantap makan malam. Jessica memilih langsung ke kamar dan hanya meraih pir saja, kemudian berpamitan pada kedua orang tuanya. 

'Aku bener-bener nggak terima. Awas aja! Kalian bertiga nggak akan pernah bisa lepas dari aku, ya. Lihat aja nanti!' gumamnya dalam hati. 

***

Berkali-kali Keisya mengetuk pintu rumah mami dan papinya. Satu kali pun benar-benar tidak ada yang menjawab. Keisya duduk-duduk santai di beranda rumah sembari memegangi perutnya. Ia lupa sedari siang belum menyantap sesuap nasi pun. Keisya terlalu fokus pada ujian dan juga memikirkan soal Jessica dan suaminya. 

Malam semakin larut. Udara dingin menyelimuti suasana malam ini, angin berembus menerpa keheningan tak membuat seorang Keisya beranjak dari tempat duduknya. 

"Sayang!" 

Samar-samar ia mendengar sebuah suara yang sepertinya mengarah ke Keisya. Ia yang semula memejamkan mata menunggu sang mami dan papinya pulang pun terpaksa membuka matanya. Kelopak mata Keisya seketika terasa perih.

"Siapa sih?" tanyanya. Ia mengucek-ngucek matanya. Setelah dirasa baik-baik saja. Keisya berhasil melihat siapa yang datang. "Ngapain susul Kei ke sini, sih? Buat apa, hah? Sok baik padahal dalam hati pasti—-" 

"Sayang!" potong sang suami. 

"Nggak usah panggil Keisya sayang. Bisa gak, sih, Kak? Urus aja tuh mantan kekasih kakak yang kakak sendiri janji nggak akan macam-macam sama dia. Tapi nyatanya apa? Ah, malas sumpah Kei kalau kayak gini jadinya." 

Ketika Indra hendak meraih tangan sang istri. Keisya malah menepisnya dan meminta Indra segera pulang saja. 

"Sayang-sayang!" Indra masih tetap bersikukuh, tidak mau pergi dari tempat itu. Indra akan pulang, tetapi jika bersama sang istri. "Dengerin penjelasanku dulu, ya. Tadi itu cuma ngobrol biasa aja. Nggak ada yang kek aneh-aneh gitu loh. Malah kalau kamu nggak percaya, tanyain aja sama Bi Ani. Bi Ani juga yang ngusir Jessica dengan alasan papanya dia kecelakaan ampe struk." 

"Masa?" 

"Iya, Sayang. Kamu nggak percayaan, sih? Udahlah, ya! Kalau cemburu bilang, deh. Jangan kayak gini. Plis, tanpa kamu di rumah aku kesepian loh. Masa iya mau tega ninggalin suaminya di rumah. Nanti kalau kangen sama dedek bayinya gimana?" 

Ungkapan kalimat Indra seperti itu tanpa disadari menjadikan Keisya makin malas lagi dan ia duduk sembari menutup wajahnya dengan hijab. Ia tidak lagi peduli dengan kehadiran suaminya di sampingnya. Namun, beberapa menit kemudian ia menemukan mami papinya kala Keisya ingin beralih tempat duduk demi menjauh dari Indra.

'Mami sama Papi tumben banget pulang malam-malam seperti ini? Mereka romantis banget, sih. Dari mana, ya?' tanya Keisya dalam hatinya.

"Sayang! Pulang, yuk?" pinta Indra setengah memaksa.

"Kalau aku nggak mau gimana?" tanya Keisya balik. 

Sudah tahu sang mami dan papinya ternyata baru pulang dan sebentar lagi akan berjalan ke arahnya. Keisya memilih untuk meninggalkan Indra dan berlari kecil menghampiri kedua orang tuanya. 

"Sayang! Kok kamu ada di sini, sih?" tanya maminya. 

Keisya yang masih manja. Meskipun sudah ada kata 'janji' tidak akan lagi manja apalagi sampai bertindak bak anak kecil. Melihat kedua orang tuanya ada. Keisya malah seakan sengaja bergelayut manja pada keduanya. 

"Eh. Itu ada Nak Indra. Sayang! Kalian lagi marahan, ya, Mami lihat raut wajah suamimu kayak beda?" 

Keisya mengangguk. "Kei boleh nginap di rumah, kan, Mi? Semalam aja, plis! Kei mohon sama kalian," rengeknya. 

"Boleh aja kalau kamu mau menginap di sini. Tapi, jelasin dulu sama kami ada masalah apa. Sehingga kamu memutuskan pengen tidur di sini? Kenapa hayo?" 

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang