Part 62. || Sebuah Kabar Memilukan

30 1 0
                                    

~ Selamat Membaca ~

"Baru kuancam saja kamu sudah ketar-ketir loh, Mas. Sampai-sampai semua orang kenalanmu kamu telepon untuk memastikanku bahwa tidak sampai ke pengadilan," ucap seorang wanita yang sedari tadi dikhawatirkan oleh seorang Samuel Gunawan, "padahal dia bukan anakmu. Dia anak kandungku loh, Mas." 

"Berhenti menyebutnya bukan anak kandungku, Vina! Akulah yang mengurusnya sedari bayi berumur dua minggu hingga dia sekarang 25 tahun. Paham?" 

Wanita itu hanya tersenyum sinis. 

Hari itu merupakan hari terakhir bagi seorang Samuel melihat sikap angkuh dari sang mantan istrinya dahulu. Dengan begitu beraninya sampai-sampai di akhir pertemuannya Samuel harus menyaksikan seorang Vina mengembuskan napasnya untuk yang terakhir kali di sebuah jalan di dekat kantor Samuel. 

Kejadian mengerikan itu disaksikan oleh Jean—sebagai sekretarisnya dan seorang karyawan lainnya. Hingga kini masih terbayang dalam ingatan Samuel detik-detik di mana sebuah mobil berhasil merenggut nyawanya. 

Harus apakah laki-laki bermata empat ini sekarang?

"Bagaimana kalau aku tetap lakuin itu, Mas? Hah, aku yakin kamu nggak akan pernah bisa tidur dengan tenang karena anak yang kamu bangga-banggakan itu akan beralih ke pelukanku?" 

Samuel mengepalkan kedua tangannya. Rona wajahnya terlihat memerah, dia benar-benar menahan amarahnya saat itu dan ketika sikap Vina berhasil membuat amarahnya semakin membludak, tiba-tiba saja langkah kaki Samuel terhenti dan spontan melihat ke arah belakang. 

Sebuah mobil sedan berwarna silver melaju sangat kencang dari arah belakang ketika Vina sedang berjalan menyebrang dengan santainya tanpa melihat ke arah samping kanan maupun samping kiri. 

"Astaga, Vina. Vina awas, Vina!" teriak Samuel. 

"Bu Vina awas, Bu! Bu itu mob—-" 

"Aaaarghhh!" teriak Vina, kemudian tubuhnya ini berhasil terlempar cukup jauh.

'Bagaimana caraku memberitahu Indra kalau mama kandungnya sekarang sudah tiada?' tanya Samuel dalam hati. 

Meskipun baru dua hari, tetapi bagi Samuel kejadian waktu itu seakan baru saja terjadi beberapa menit lalu. Bayang-bayang wajah Vina masih terngiang-ngiang hingga sekarang.

Saat Samuel memutuskan beranjak dari tempat duduknya, usai menyimpan koran di atas meja. Laki-laki bermata empat itu berjalan ke arah dapur sambil membawa gelas yang sebelumnya telah terisi air putih, tetapi berhasil dia habiskan perlahan-lahan.

Di dapur bukannya Samuel sedikit tenang lantaran dia telah menghabiskan dua gelas air putih. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia teringat kembali sosok Vina terutama kala berada di rumah sakit. Perawat sempat menemukan sebuah kertas yang mana di dalam kertas tersebut hanya bertuliskan beberapa kata saja.

"Ya Tuhan bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menghubungi anakku Indra dan menantuku sekarang?" 

Samar-samar dia mendengar suara derap langkah kaki seseorang dari arah ruang tamu. Samuel menyimpan gelas tersebut, kemudian meninggalkan dapur kembali menuju ruang tamu.

"Jean? Kamu di hari libur begini, apa yang mau kamu katakan dengan saya?" 

Wanita bernama Jean yang tidak lain merupakan sekretarisnya kini sudah berada di ruang tengah, duduk berhadapan dengan Samuel. Laki-laki itu tidak pernah dikunjungi oleh karyawan di kantornya ke rumah di hari libur, jika tidak ada sesuatu hal penting yang harus dibicarakan dengannya. Namun, terlihat dari raut wajah Jean tampaknya kali ini berbeda.

"Mohon maaf mengganggu waktu Anda, Tuan Sam," jawab wanita itu sembari menunduk, tetapi setelahnya dia mengangkat wajahnya menatap lawan bicaranya, "kedatangan saya ke sini bukan tanpa alasan, melainkan saya mau menyampaikan sesuatu dan ini berkaitan dengan almarhumah Vina—mantan istri Anda dan putra angkat Anda." 

Kening Samuel mengerut, "Ada apa dengan mereka, Jean? Apakah kamu mendapatkan kabar dari putraku?" 

"Nggak ada, Tuan Sam. Hanya saja tiba-tiba saya kepikiran dengan anak Anda, apa tidak sebaiknya Anda beritahu beliau, bagaimanapun antara Tuan Muda Indra dengan Bu Vina tidak pernah akur. Bu Vina orang yang mengandung Tuan Muda, terdapat darah seorang Vina mengalir di tubuh Tuan Muda. Seperti itu," jawab Jean.

"Sudah dua hari semenjak Bu Vina dinyatakan benar-benar meninggal dan telah dikubur, Anda masih menyembunyikan berita ini. Bagaimana kalau nanti Tuan Muda sedih atau dia murka terhadap Anda?" 

Samuel tidak langsung membalas saran yang diberikan Jean–sang sekretaris. Laki-laki bermata empat satu ini mengalihkan pandangannya ke arah lain, entah tengah menatap apa. Namun, sepertinya pikiran Samuel kali ini benar-benar semrawut.

Terlebih ketika dia menemukan ponselnya berdering dan sudah beberapa kali berbunyi, laki-laki itu tidak memedulikannya bahkan asyik larut dalam lamunannya. Namun, karena Jean dia baru menyadari jika ada seseorang yang menghubunginya.

"Indra. Anakku telepon, Jean," ucap Samuel pada Jean sambil menunjukkan kayar ponselnya yang tertera di sana nama Indra.

"Anda angkat saja, Tuan," jawab Jean pelan.

"Baiklah. Kamu tunggu di sini, saya ke sana dulu sebentar." 

Jean mengangguk. 

Samuel berdiri di balik jendela di dekat pintu yang menghubungkan ke halaman belakang. Entah mengapa laki-laki itu bisa saja menerima telepon sejauh itu. Dari ruang tamu, lalu berdiri di pintu. 

"Halo, Nak. Maafkan Papa, ya, teleponmu baru sempat Papa angkat. Tadi Papa lagi kedatangan tamu dan mode ponsel Papa kebetulan disenyapin, jadi nggak kedengeran," kilahnya.

'Hari libur begini Papa kedatangan tamu, siapa, Pa?' tanya Indra dari balik telepon.

"Bukan siapa-siapa. Hanya biasa bicarain bisnis," sekali lagi laki-laki itu berbohong.

Dari ujung telepon Samuel dapat mendengar dengan jelas bahwa putranya tidak mempermasalahkan mau itu rekan kerjanya atau siapa pun. Indra mengalihkan topik percakapan mereka ke hal lain. 

'Apa benar, Pa? Berita yang Indra dengar ini, tapi rasanya nggak mungkin juga.' 

"Nggak mungkin bagaimana maksudmu, Nak? Papa yang denger kamu malah nggak paham tujuan ucapanmu barusan ke mana?" Samuel bertanya balik, bola matanya sekilas memperhatikan Jean yang sibuk dengan ponselnya juga, "coba bilang dengan jelas, biar Papa paham, Nak?" 

'Hari ini juga aku dan Keisya akan pulang ke Jakarta, Pa. Aku mau datang ke pemakaman Mama Vina, Keiysa pun akan ikut.' 

Sejenak Samuel terdiam seorang diri berusaha mencerna setiap ucapan dari putranya. Kata pemakaman yang terakhir kali dilontarkan membuat Samuel bertanya-tanya sendiri. Mungkinkah Indra mengetahui kejadian itu, tetapi dari mana dan siapa yang memberitahunya?

"Nak! Maksud kamu pemakaman Mam Vina gimana, Nak? Papa—"

'Bukannya Mama Vina udah meninggal dua hari lalu, Pa? Dan kami baru tahu kabar meninggalnya dia tadi subuh,' potong Indra, 'itu benar, kan?' 

"Dari mana tahu kabar ini, Nak? Apa ada seseorang yang memberitahumu, lalu jika kalian pulang bagaimana dengan bulan madunya?" 

Samuel masih menanti jawaban dari putranya. Di sisi lain pun dia masih kebingungan mengenai Indra. Apakah mertuanya yang memberitahu? 

'Setelah tiba di Jakarta. Aku akan bilang dari mana kami tahu kabar ini, yang jelas aku kecewa sama Papa.' 

Telepon pun tiba-tiba terputus. 

"Kecewa?" 

~ Bersambung ~

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang