Part 47. || I Love You, Istri Manjaku

34 1 0
                                    

"Bentar-bentar. Kayaknya mata sama kepala Kei mulai agak-agak nggak bener deh ini, Kei pasti lagi ngehalu ini," ucapnya sembari menepuk-nepuk pipinya sendiri, kemudian mencubit tangannya. 

"Madina!" panggil Keisya.

"Apa?" 

"Minta tolong dong, cubit Kei. Pasti Kei ngehalu ini, efek nggak bisa nahan rindu ke Kak Indra. Jadinya agak-agak nggak waras, haduh, Din ayo!" pintanya.

Senja kali ini menjadi momen yang belum pernah Kei rasakan sebelumnya. Entah sejak kecil atau pun sudah dewasa seperti sekarang ini. Namun, tidak ada yang lebih indah dari apa yang tengah ia rasakan sekarang ini. 

Seorang pemuda sama persis seperti Indra–suaminya dengan seorang pria paruh baya berdiri di hadapan Keisya yang mana perempuan itu mulanya terjatuh lantaran ia tak bisa menemukan suaminya. Keisya menitikkan air mata sambil menyebut-nyebut nama suaminya, selang beberapa menit setelahnya seorang pemuda datang bersama bapak-bapak menyapanya, meyakinkan Keisya bahwa mereka memang keluarganya.

Akan tetapi, disebabkan beberapa hal yang mana Keisya enggan untuk langsung memercayainya pada orang yang mengaku mertua dan suaminya. Keisya meminta sang sahabat untuk mencubit pipinya.

"Tapi Kei request nyubitnya jangan keras-keras, ya! Nanti kalau ampe pipi Kei sakit, awas aja Kei bilangin ke Kak Indra. Pasti pas dia datang bakal marahin kamu," pintanya setengah merajuk bak anak kecil.

Keisya pikir Madina tidak akan sungguhan mencubitnya, tetapi ternyata ia salah menduga bahkan pemuda yang di depan Keisya pun ikut mencubitnya.

"Awww. Ihhh, sakit tau."

"Ya suruh siapa minta dicubit, Keisya Shakira Jasmine! Kalau yang ini memang sungguhan suami dan mertuamu, mana ada bohong. Kak Arken yang jemput mereka dari Bandara," tutur Madina menjelaskan.

"Wah-wah Madina lucu banget sih kamu, hah? Ih lagian—"

"Apa ada Madinamu itu becanda, Sayang?" potong Indra cepat, "Lagian coba perhatikan sama kamu? Di jidat aku masih ada perban, nih di bagian perut sama lututku juga ada bekas jahitan. Mau aku buka di sini supaya kamu percaya?" 

Seakan tak percaya pada apa yang diucapkan, dilihat dan disaksikan olehnya. Keisya terdiam membisu, seribu bahasa. Ia terus menahan sesuatu yang kian memanas, menyesak dan serasa semakin kuat ingin meledak di sudut pelopak mata. Sekian bulan ia menanti kembalinya sang suami, saat ini di depan Keisya sudah tampak seseorang yang ia nantikan selama ini.

Seseorang yang mulanya ia sendiri menolak keberadaannya. Namun, sebab kehilangan dan pengorbanannya tak pernah berhenti dilakukan Indra. Alhasil, kerasnya hati seorang Keisya dapat luluh seiring berjalannya waktu dan juga adanya buah hati yang telah hadir melengkapi pernikahan mereka.

"Kak Indra. Kei rindu," ucapnya lirih.

Akhirnya tangis yang sejak beberapa menit lalu ia tahan pun pecah. Sebagian dari warga yang menyaksikan kejadian ini pun turut bertepuk tangan. Entahlah. Keisya tak tahu untuk apa.

"Aku juga, Kei. Rindu banget sama istri manjaku, rindu sama buah hatiku tersayang. Peluk dong sini," sahut Indra sembari merentangkan kedua tangannya.

"Kak!" 

"Apa?" 

"Jangan tinggalin Kei lagi, ya! Walaupun cuma sedetik, Kak Indra harus selalu ada di dekat Kei pokoknya. Kei nggak bisa tahan kalau sampai pisah dari Kak Indra." 

"Dunia serasa milik berdua, yang lain apa, Sayang?" tanya Madina pada sang suami.

Arken membalas sembari mendekap sang istri tak mau kalah. "Ngontrak. Iya, gitu kayaknya, ya?" 

"Heem." 

Kebahagiaan hari ini benar-benar terasa mimpi, meski pada ujungnya apa yang dirasakan Kei memang nyata adanya. Bukan mimpi atau pun khayalan semata atau bahkan halusinasi seperti sebelumnya. Usai memeluk sang suami, dengan tetap menggandeng tangan Indra, Kei pun menyalami mertuanya.

"Jadi sekarang Kei-nya Papa Sam ini udah mulai bucin, ya, sama Indra? Hem … dulu-dulu Papa ingat kamu masih nolak-nolak gitu, bahkan nggak mau manggil Papa Sam dengan sebutan Papa, sekarang udah berani aja. Sini, Nak," kata Samuel—pria paruh baya—mertuanya Keisya.

"Maafin Keisya, Pa. Keisya salah, tapi sekarang Kei sadar kalau sesungguhnya entah mau nikah muda atau pun nanti jika sudah waktunya. Tetep ujung-ujungnya bakalan nikah dan Kei bersyukur dulu kalian menjodohkan Kei sama Kak Indra. Meskipun tujuan sebenarnya Kei belum tahu," jawab Keisya, kemudian melepaskan pelukan dari mertuanya.

Beberapa jam kemudian … 

Tepat pukul 18.00 WIB selepas menunaikan ibadah salat magrib di masjid, Keisya dan sang suami—Indra juga mertuanya kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah. Sungguh Keisya masih tidak percaya kalau-kalau suaminya akan kembali secepat ini.

Di tengah perjalanan Keisya yang maksud hati hendak menyandarkan tubuhnya pada pangkuan suaminya. Tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu yang mana kala sentuhan itu dirasakan Indra, tiba-tiba pemuda itu pun merintih kesakitan.

"Awwww," rintihnya.

"Eh-eh, Sayang. Kenapa? Yang mana yang sakit?" 

Kekhawatiran Keisya dibalas sebuah candaan oleh Indra. Bibir Keisya yang semula terkatup rapat, kini mendadak monyong. Sedangkan, Indra tertawa terbahak-bahak menyaksikan ekspresi sang istri.

"Kak Indra mah! Nyebelin banget, sih, baru aja—"

"Baru apa hayo?" Lagi-lagi dia memotongnya. "I Love You Istri Manjaku tersayang! Aku sangat-sangat merindukanmu, Keisya Shakira Jasmine!" teriak Indra memecah keheningan.

"Kalian berdua ini, ya. Nggak tahu tempat atau kelewat bucin, sih? Ini ada Papa loh, nggak usah teriak-teriak. Telinga Papa sakit denger teriakan kalian," protes Samuel.

"Maklumin aja lah, Pa. Kan namanya juga rindu istri tercinta, mumpung istrinya Indra sedikit waras gitu. Jadi, Papa bebaskan Indra berbuat sesuka hati, ya?" 

Samuel menggeleng sambil menepuk jidatnya. 

Langit malam dilihat dari dalam mobil tampak indah. Jalanan Ibu Kota yang sampai malam pun tetap ramai, Keisya menikmati momen ini dan ia tidak ingin terlewati walau hanya sejenak. Sampai di rumah Keisya terus menempel pada Indra. Tangannya pun tak ingin lepas, walau sang papa mertua menyindir beberapa kali. Keisya tetap mengeratkan genggamannya.

Bukan hanya Keisya rupanya yang terkejut melihat kedatangan Indra dan juga Samuel. Bi Ani—sang pelayan setia itu merasakan hal serupa.

"Tu-Tuan Mu-Muda," ucapnya terbata-bata dengan menunjuk lawan bicaranya.

"Ini seriusan, Non, Tuan Muda Indra sama Pak Bos Samuel? Bibi nggak lagi mimpi, kan, soalnya tadi Bibi sempet ketiduran, Non habis pulang dari kantor polisi." 

Hal yang tak pernah Keisya duga sebelumnya. Padahal ingatan Keisya mengenai ke mana kedua orang tua dan pelayannya yang mendadak pergi pagi tadi sirna seiring dengan kehadiran sang suami. Bi Ani sendiri mengatakan yang sebenarnya.

"Kantor polisi? Ngapain, Bi?" tanya Indra.

"Jadi Bibi sama Mami Papi tadi pagi itu nggak ada di rumah ke Kantor Polisi? Jawab, Bi!" 

"A-anu, Tuan, Non. Ta-tadi i-itu ta—"

"Katakan yang jujur, Bi. Jangan gelagapan coba, Bibi tenangin dulu baru deh bilang ngapain ke kantor polisi?"

"Ta-tadi … aduh gimana cara ngomongnya, ya?" 

"Ngomong apaan, Bi?" Geisya muncul kala Bi Ani tengah kebingungan harus menjawab apa.

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang