Part 48. || Aku Bukan Menolakmu

49 1 0
                                    


"A-apa Mami nggak salah lihat ini, kan?" 

Geisya—maminya Keisya mengucek-ngucek matanya, tatkala melihat kedatangan putrinya bersama seseorang yang selama ini 'katanya' tengah berada di luar negeri untuk melakukan pengobatan. Dan sekarang tepat hari ini, malam ini wanita satu ini pun menyaksikan kedatangan menantu dan besannya berdiri berdampingan bersama putri tercinta.

"Assalamualaikum, Mami," sapa Indra, kemudian menyalami mertuanya. 

'Tanganku digenggam menantuku. Jadi, apakah ini nyata di depanku beneran menantuku dan bukan salah lihat?' bisiknya.

Geisya membalas uluran tangan dari menantunya. Sejenak ia ingin memastikan bahwa apa yang dilihatnya memang nyata tidak salah. Geisya meminta izin untuk mencubit lengan menantunya pada anak dan besannya. 

"Beneran tapi dia. Ja-jadi Nak Indra beneran sudah pulang dari luar negeri dan selamat dari kejadian tabrakan yang dilakukan sama si pembunuh Jessica itu?" 

Untuk kata selamat Indra menjawabnya, tetapi mengenai kata pembunuh tiba-tiba pemuda itu terdiam dan menoleh ke arah samping—istrinya. Sementara, ketika Wiliam datang pria itu berdeham, lalu menegur sang istri karena membiarkan anak, menantu serta besannya berada di luar sudah malam pun.

Menyadari perbuatannya salah dengan membiarkan Keisya, Indra dan besannya di luar. Geisya pun mengajak mereka memasuki rumah dan menyuruh Bi Ani membawakan koper milik menantunya.

"Tentu, Nyonya." 

"Terima kasih, Bi," ucap Indra.

"Sama-sama, Tuan Muda." 

Waktu bergulir cukup cepat, hingga pada pukul sembilan malam saking antusiasnya kedatangan sang menantu yang sudah selamat dari kematian pasca kejadian tabrakan sebulan lalu. Geisya dengan ditemani Bi Ani menyiapkan minuman juga makanan lainnya untuk menemani waktu bersantai menantunya.

Sepuluh menit kemudian … 

Semua keluarga duduk santai di ruang keluarga setelah masing-masing menyelesaikan aktivitas bersih-bersih badan dan pakaian yang mereka kenakan pun telah terganti.

"Nak Indra! Gimana ceritanya Nak Indra bisa pulang ke Indonesia, terus gimana aja pengobatan selama di sana. Oh iya, Mas. Kamu waktu itu kenapa nggak kasih lihat suaminya meskipun cuma sebentar doang?" 

Wiliam menengahi. "Mami! Daripada Mami tanya-tanya ke mereka soal pengobatan dan alasan Mas Sam, mending kita kasih izin dulu lah setidaknya ke mereka supaya bisa istirahat dulu. Lagian ini sudah malam. Jam sembilan loh," kata William menyarankan.

"Tapi Mami sama Bi Ani udah siapin camilan, udah bikin banyak pula. Kan sayang dong, Papi ini gimana, sih?" 

"Gimana apanya? Orang Papi udah kasih tau dari tadi, Mami aja yang nggak mau buat dengerin Mami. Hayo?" 

"Ah kalian berdua ini, ya, kayak anak kecil aja. Mami, Pi, kita ke kamar dulu, ya? Kasihan Kak Indra pasti capek," pamit Keisya.

"Ya udah, Sayang. Kalian berdua istirahat, maaf kalau mami sama papi bikin kalian pusing. Mas Sam juga mau menginap di sini atau gimana?" 

***

Selepas mengantarkan papa mertua yang dia sendiri memutuskan untuk pulang ke rumah saja, tidak menginap. Keisya dan sang suami kembali ke kamar tepat pukul 22.00 WIB, Keisya yang sudah menguap mendapatkan sebuah tawaran dari sang suami. Nahasnya, tawaran tersebut ketika diucapkan oleh Indra sembari berbisik, berhasil membuat bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Keisya menjauhkan tubuhnya dari sang suami, kala keduanya sudah berada di atas ranjang.

"Katanya rindu, masa minta jatah aja nggak mau kasih?" goda Indra, berpura-pura sinis.

Keisya menoleh ke samping, "Hem. Iya-iya, rindu. Tapi masa minta itu sekarang, Kak? Kei lagi bunting gini lo, terus bekas operasi Kakak belum sembuh. Kalau nanti terjadi sesuatu yang nggak diinginkan mau? Mending Kakak jelasin dulu ke Kek, gimana bisa pulang ke Indo, sementara Kei nggak sama sekali dikasih tahu." 

"Sekali aja. Sejam deh nggak apa, plis!" pintanya setengah merajuk.

"Kak Indra!" seru Keisya.

"Apa istriku yang manja?" 

"No!" 

"Yes," balas Indra tak mau kalah.

"No, Kak. Jangan sekarang!" 

"Yes, Sayangku. Istriku cantik, mau, ya?" 

"Kei ngambek nih," katanya sembari memalingkan pandangannya.

Keisya berbalik menghadap jendela tak lagi berhadapan ke arah suaminya, maupun posisi terlentang. Entah mengapa rona wajahnya tiba-tiba saja memanas, kedua tangannya bahkan hingga kaki pun serasa bergetar hebat. Degup jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Kala hendak menutup mata, ia merasakan sesuatu menyentuh bagian perutnya. Semakin lama sentuhan tersebut menjadi sebuah pelukan. Embusan napas kasar dapat Keisya rasakan. 'Ya Allah. Sekian lama aku menunggu adanya Kak Indra pulang dan sekarang dia meminta haknya dariku. Salahkah bila aku menolaknya?' pikirnya.

"Kak Indra. Kei mau bilang sesuatu boleh? Tapi lepasin dulu pelukannya?" 

Sama sekali tak ada jawaban. 'Ini Kak Indra nggak nyaut-nyaut, ya? Apa dia marah?' tanya pada diri sendiri.

"Kak Indra marah sama Kei, ya?" tanyanya, dia nggak bisa menghadap ke Indra lantaran dirinya berada dalam kungkungan suaminya, "Kak bukan maksudnya Kei nolak kemauan Kakak. Cuma … pertama perut Kei udah mulai membesar, Kei juga gampang sesak ini. Terus Kakak juga perutnya belum sembuh, jidatnya mesti kudu diperban." 

Keisya berceloteh seorang diri sambil mengusap-usap punggung tangannya. "Kakak itu kenapa, sih? Kei ini dari tadi ngomong panjang lebar, masa Kakak nggak dengerin atau kasih tanggapan apa gitu? Segitu pengennya, ya, Kakak sampai-sampai Kakak ngambek?"

Aroma tubuh Indra membuat Keisya betah lama-lama mendapat pelukan seperti itu. Namun, Keisya pun tak bisa mengizinkan Indra seenaknya melakukan apa yang disuka berlama-lama. Sesak di dada yang kian terasa akibat terlalu erat pelukan yang didapat, menyebabkan napas Keisya sedikit naik turun.

"Kak Indra! Keisya ngap banget ini, dede bayinya nendang-nendang. Boleh, gak, Kak Indra beri Keisya ruang sebentar aja buat tarik napas dan merentangkan kedua tangan Kei?" 

Lagi dan lagi tak ada jawaban dari belakang. 

'Ini sebenarnya Kak Indra nggak ngomong-ngomong dari tadi apa dia marah sama Kei atau dia gimana? Aduh, Nak. Kamu jangan tendang-tendang dong, Mama ini jadi serba salah.'

Lama tak mendapatkan respons. Alhasil, Keisya melepaskan paksa pelukan sang suami, pelan-pelan ia jauhkan tangan kanannya, lalu tangan kiri dan pada akhirnya ketika hampir terlepas dan Keisya berbalik menghadap sang suami, tangan kanan Indra berhasil kembali mengunkungnya.

Keisya pun belum sempat melihat rupa sang suami dalam kondisi tidur.

"Ya Allah, Sayang. Iya deh, boleh. Boleh kamu meluk Kei, tapi pelukannya jangan terlalu kencang, ya! Kasihan nanti dedek bayi dalam kandungannya kebangun terus nendang-nendang lagi."

Suasana malam ini begitu sunyi. Hanya terdengar suara bunyi jam berputar-putar dan embusan angin perlahan memainkan gorden. Keisya mengembuskan napasnya kasar dan membiarkan tangan suaminya berada di atas perut.

"Kak! Sejujurnya Kei juga nggak nolak permohonan Kakak tadi, Kei ri—"

"Serius, Yang? Beneran, jadi kamu nggak jadi nolak? Asik!!" 

Seketika kedua telinga Keisya mendadak berdengung kala mendapat teriakan dari suaminya. 

"Ka-Kak Indra. Bu-bukannya ta—" 

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang