~ Part 33. Tersindir ~

28 4 0
                                    


Malam ini Keisya dan Indra resmi menginap di rumah mami-papinya Keisya. Namun, meskipun keduanya sama-sama menginap di sana. Tetap saja keduanya saling diam malah saling sindir pula. Geisya dan William bertatapan, sembari menaruh curiga pada putri dan juga menantunya. 

"Kalian berdua ini tidak bosan apa bertengkar terus, saling sindir kayak gitu. Mami nggak tahu mau kasih komentar kayak apa. Bingung," tukas Geisya.

Jangankan Geisya bahkan William pun sama sekali tidak memahami permasalahan utama keduanya sampai seperti ini apa. Mereka berdua yang baru saja pulang dari luar telah mendapati putri dan menantunya berdebat di depan rumah. 

"Mami! Pernah, nggak? Mami itu cemburu sama mantan pacar Papi atau … mungkin misalkan Mami pergoki Papi lagi ngobrol berduaan di rumah sama mantannya, sedangkan Mami baru pulang. Tanggapan sebagai seorang perempuan gimana, sih?" 

Kini Geisya tak perlu lagi bertanya bagaimana masalah selengkapnya. Mendengar kalimat pertanyaan yang mana ia sudah dapat menebak bila putrinya menaruh rasa cemburu pada sang suami, sehingga menyebabkan saling sindir dan membahas seputar masa lalu papinya dulu seperti apa. 

Seorang pelayan datang membawakan empat gelas minuman dan juga beberapa aneka camilan. Geisya—-selaku tuan rumah pun tak lupa mengucapkan terima kasih begitupun dengan menantunya. 

"Mami pikir kamu sudah berubah, Kei. Rupanya manja kamu, cemburuan kamu yang terlalu berlebihan dan apa-apa selalu mengandalkan orang tua masih saja ada pada dirimu. Hem," Geisya, maminya Keisya menghela napas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya. 

Namanya juga sebuah rumah tangga. Kehidupan tak selamanya berjalan mulus. Terkadang bagi mereka yang baru memulai suatu hubungan seperti sepasang suami istri dan mereka mengalami masalah hal kecil. Yang tak biasa justru akan menganggap luar biasa. Contohnya Keisya sekarang.

"Mami kok gitu, sih?" Keisya tampaknya mulai tak nyaman saat maminya membahas seputar sifat dan sikap manjanya. "Mi! Emang sal—-"

"Mohon maaf memotong. Cuma apa yang Mami tadi katakan semua tidak benar, Mi. Keisya justru sudah banyak berubah sekarang. Semua tidak seperti dulu lagi, walau kadang-kadang dia masih suka manja padaku, ya nggak masalah. Namanya juga istri lagi hamil, pasti ingin sekali mendapat kasih sayang yang banyak." Indra membantah semua tudingan mertuanya dan demi sang istri ia rela melakukan apa saja.

"Andai saja apa yang kamu katakan benar, Nak Indra." Geisya pun membalas ucapan Indra, " … kalau tidak manja, kan, sudah pasti saat ada masalah sekecil apa pun bisa dong diselesaikan baik-baik di rumah. Iya, gak? Tapi ini maksudnya bukan mami larang kalian ke sini loh, ya."

Karena perkataan Geisya. Keisya meninggalkan ruang tamu, sedangkan William sembari memegang ponselnya pria itu menyantap camilan yang telah disediakan oleh pelayannya tadi. 

"Hem … mungkin Kei pergi tanpa pamit kayak tadi, dia rindu sama Mami-Papinya. Indra berusaha berpikir positif aja, sih," jawab sang menantu.

"Nak Indra! Hingga kini kamu selalu saja membela anak Mami yang super manja itu. Mami sama Papi minta maaf, ya, kalau waktu itu kamu dipaksa nikah sama Keisya dan semua dadakan banget. Pasti karena Keisya, mantan—"

William terbatuk-batuk kala Geisya membahas mantan, meski tujuannya bukan untuk diarahkan ke pria itu.

"Papi! Astaga. Kenapa bisa sampai batuk-batuk kayak gitu sih? Hati-hati dong makannya, jangan terburu-buru gitu." 

***

Memangnya salah seorang anak ingin bercerita kepada kedua orang tuanya mengenai apa yang dirasakannya sekarang? Salahkah bila Keisya mengunjungi rumah mami papinya, setelah sekian lama selalu gagal dan gagal lagi ketika berusaha pergi dari rumahnya di komplek sebelah? Ah, rasanya tidak adil jika datang ke rumah ini tiba-tiba Keisya hanya memperoleh sindiran-sindiran kecil dari maminya. Bahkan papinya sama sekali tak menanggapi.

Namun, ada hal yang lebih mengejutkan dan mengganggu pikirannya sekarang. Bukan tentang maminya pun papinya. Akan tetapi, ini perihal seseorang yang setiap kali selalu saja membuat Keisya sulit melupakannya dan kadang-kadang dia sendiri duduk seorang diri memikirkan orang tersebut.

"Walaupun Keisya selama ini membuatnya kesulitan. Dia selalu membela Kei, bikin Kei yang awalnya kesel sama dia. Karena kelembutannya, kesabaran dia ngadepin Kei. Amarah Kei jadinya kek ilang," gumamnya. 

Kei mengambil sebuah diary yang tersimpan di dalam lemari kecilnya di dekat nakas. Lebih tepatnya di samping lampu. Beberapa buku diary baru tersimpan rapi di sana dan itu Kei dapatkan saat masih remaja. Ia hobi menulis, merangkai sebuah puisi bahkan sempat Keisya memenangkan lomba puisi se-Jakarta pertama. Namun, itu dulu ketika ia berusia 14 tahun.

"Jadi kangen coret-coret buku ini lagi. Terakhir kapan, ya, kira-kira? Kok Kei mendadak lupa," katanya sembari membuka lembaran demi lembaran kertas bergambar kartun dengan didominasi warna dari kertas tersebut biru langit. Keisya sangat menyukai warna biru.

Itu sebabnya segala sesuatu yang dimiliki mulai dari kepala hingga kakinya banyak sekali warna biru.

Perlahan untuk menghilangkan rasa stress di pikirannya karena maminya juga rasa takjub sekaligus bersalah terhadap suaminya. Keisya memulai menulis sesuatu di lembaran pertama kertas tersebut.

Dear Diary … 

Hai kamu! Sudah lama, ya, Kei nggak coret-coret lagi kayak gini. Nggak bikin rangkaian puisi lagi. Tapi, kali ini Kei mau bilang sesuatu kalau hari ini Kei ngerasain antara kesel, seneng sama marah. Cuma marahnya tidak terlalu berlebihan, sih. Dan perlu kamu tahu sekarang hati Kei ini campur aduk. Menurutmu, apa Kei harus mengalah sama dia dan meminta maaf juga? Dia begitu baik tahu. Rasanya susaahhh banget buat bisa marah apa lagi sampai bikin dia itu … kek udah gitu stop berhenti mempertahankan Keisya. Karena nggak ada gunanya.

Segala bentuk kegelisahan dan lain-lain ia ungkapkan saat itu juga. Ungkapan tersebut bahkan melebihi dari lima halaman. Lama ia tidak merangkai kata, sekalinya menulis ia bisa menghabiskan berlembar-lembar halaman. Sungguh. Sesuatu yang sulit sekali dimengerti. Namun, bagi seorang penulis menulis lima halaman saja rasanya sudah menjadi hal biasa.

Lima halaman lebih Keisya mengungkapkan segala kekesalannya pun dengan rasa takjub pada sang suami karena pembelaannya. Keisya membuka lagi lembaran pertama dan membaca dengan seksama.

"Perasaan kalau dipikir-pikir dari kata-kata yang Kei tulis barusan, kek nunjukin kalau Kei emang masih bocil. Belum sama sekali berubah. Pantes aja Mami sama Papi ngatain terus, tapi omong-omong dulu sebelum menikah mereka …," Karena terbatuk-batuk Keisya pun menjeda kalimatnya. Dia mengambil gelas di dekat lampu. Kemudian meneguknya hingga tandas. "Ahh. Seger banget udah minum," lanjut Keisya kembali menggumam.

"Dasar bocil. Tulisannya kayak bocil, tingkahnya pun kayak bocil. Tapi nggak tahu kenapa bocil ini berhasil bikin aku jatuh cinta, ya?" 

Degup jantungnya seketika berhenti untuk sejenak. "Suara siapa itu?"

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang