Salahkah bila seorang istri memiliki perasaan aneh tatkala sang suaminya hendak pergi ke luar kota? Ketakutan serta kecemasan yang sejak semalam timbul menguasai benaknya hingga sekarang kala tiba waktunya Keisya tak bisa membohongi dirinya kalau ia tidak ingin Indra pergi ke mana pun meski hanya lima menit atau lima jam sekali pun.
Sejak semalam saat masih berada di rumah maminya dan saat dalam perjalanan menuju Bandara. Keisya tak pernah melepaskan tangan Indra.
"Kamu ini kenapa, sih? Kayak kamu nggak mau pisah dari aku, apa kamu beneran cinta sama aku, Kei?"
"Huhuhu. Kak Indra, bisa gak sih kalau Papa Sam aja yang keluar kotanya. Kakak di sini aja, Kakak jagain Kei sama anak kita. Plis, jangan pergi!" Ia malah merengek, membuat Indra mencubit pipinya yang kini chaby—pasca mengandung.
"Harusnya kamu seneng dong, nggak ada aku yang bikin kamu nggak nyaman? Kenapa malah kayak sedih gitu, ada apa? Aku, kan, pergi cuma seminggu aja. Habis itu pasti pulang!"
Keisya merekatkan genggaman tangannya. "Kei akui kalau Kei sekarang nggak bisa hidup tanpa Kakak. Kei sangat sayang sama Kakak, Kak. Terlepas dari Kakak mau bilang apa sama Kei. Ya intinya Kei pengen … jangan pergi!" bujuknya.
Indra tersenyum kala mendapatkan pengakuan dari istrinya. Ia mendekatkan wajahnya, kemudian satu kecupan manja didapat Keisya. "Habis kerjaannya selesai. Aku pasti pulang kok, ya. Kamu kalau misalkan takut di rumah ajak Bi Ani aja ke rumah Mami kamu. Nginep sementara di sana. Oke?"
Sulit rasanya bagi Keisya untuk melepaskan Indra. Bahkan saat kendaraan yang ditumpangi mereka berdua sudah sampai di parkiran—-tempat tujuan Indra. Keisya memeluk Indra sangat erat. Seperti setelah ini ia akan kehilangan suaminya untuk selamanya. "Ingat kata Kei, ya, Kak! Di manapun Kakak, lagi apa pun Kak Indra. Kei mencintai Kak Indra karena Allah. Kei akan menanti kepulangan Kakak. Tapi, jika boleh meminta … Kei nggak mau Kakak pergi," rintih perempuan itu.
"Sayang. Lihat sini, lihat aku sebentar!" titahnya.
Keisya yang saat itu menitikkan air mata terpaksa harus mengangkat wajahnya dan menatap kedua iris hitam milik suaminya. Yang paling membuat Keisya betah ialah kala Indra tersenyum, lesung pipinya menambahkan kesan tersendiri di hatinya. Jujur ia sangat betah jika suaminya terus seperti itu.
"Aku pergi cuma seminggu dan nanti pasti balik lagi kok, ya. Kamu nggak usah khawatir, hem … emangnya kamu mikirin apa, sih, sampai bikin kayak gini?"
"Kei bener-bener kepikiran kalau hari ini dalam benak Kei sebenarnya Kakak nggak … bukan pergi karena pekerjaan. Tapi perasaan Kei mengatakan akan ada suatu musibah yang mana musibah itu harusnya terjadi sama Kei, tapi Kakak yang nolong Kei sampai—"
"Sayang, hei! Sssstt … udah, ya. Insya allah nggak akan ada apa-apa. Kalaupun aku pergi bukan karena pekerjaan, ya tentu perginya mungkin bulan madu lagi, sama kamu," canda Indra.
'Kenapa Kakak nggak paham sama ketakutan yang Kei rasain sekarang, sih? Kei jujur takut dan nggak bisa kayak gini,' batinnya.
Masih di dalam mobil. Cukup lama. Indra memeluk Keisya, lalu mengecup kedua pipinya dan juga keningnya. Setelah dirasa semua tenang dan Kei sudah tak lagi menitikkan air mata. Indra pun keluar.
'Bismillah! Semoga nggak akan ada sesuatu yang terjadi sama suamiku,' batinnya.
Karena tak ingin hanya sampai di sini saja. Keisya pun turut turun dari mobil, membantu sang suami untuk menurunkan koper dari bagasi dan mengantarkannya hingga benar-benar ke dalam. Saat memegang pintu, degup jantung Keisya mendadak tak beraturan. Bahkan tangannya sangat-sangat gemetar.
'Ya Allah. Hilangkanlah pikiran buruk yang ada dalam kepala hamba, jagalah suami hamba saat dalam perjalanannya. Selamatkan ia sampai tujuan,' bisiknya, lalu mengaminkan.
Keisya mengembuskan napasnya perlahan. Ia pun membuka pintu mobil sembari melantunkan ayat suci Al-Quran yang dihafalnya. Ia menoleh ke samping kanan maupun kiri. Keadaan memang baik-baik saja seperti biasa. Begitupun dengan suaminya yang tampak masih mengeluarkan koper dan hendak menutup bagasi. Sepertinya, tetapi entahlah. Ia sendiri hanya melihatnya dari jarak sedikit jauh.
"Sayang!" panggil Keisya. Bergetar hatinya ketika ia memanggil suaminya dengan sebutan itu.
Baru satu langkah. Keisya melirik ke arah mobil yang terparkir di belakang suaminya. Mobil itu seperti ada penghuninya dan akan maju.
'Perasaan parkiran ini luas banget, tapi kenapa mobil itu masih di sana dan tidak melajukan kendaraannya? Hem … mungkin aja lagi nunggu orang lain kali, ya,' gumam Keisya dalam hati berusaha berpikir positif.
"Kopernya sudah bisa di keluarin, Sayang?" tanya Keisya. Sekali lagi ia memanggil suaminya dengan panggilan sayang dan Indra tentu menyukainya.
"Udah, Sayang! Ini aku mau tutup bagasinya. Oh iya … nanti pulangnya jangan ngebut-ngebut, ya. Pokoknya harus hati-hati, oke? Nggak boleh pake ngebut. Paham, gak?" nasihat suaminya.
"Iya. Iya, suamiku yang paling ganteng. Kei paham kok, cuma secepat inikah Kakak harus pergi? Kei masih pengen sama Kakak, pengen Kakak manjain lagi. Kei kadang iri saat Kakak lebih perhatian sama anak kita. Kei ampe dijutekin," protes Keisya di belakang mobilnya.
Indra kembali mendekap sang istri. Kemudian mengajak Keisya ke dalam mengantar suaminya dan memastikan naik pesawat tanpa ada sesuatu yang menghalanginya.
"Hahahaha. Masa cemburu sama anak sendiri, sih, kamu. Dasar manja!" Indra mengusap-usap pucuk kepala istrinya.
"Kan Kei juga pengen dong diperhatiin, dimanja sama Kakak. Masa nggak boleh?"
"Idihh! Biasanya kamu nolak, malah minta pulang ke rumah mamimu? Iya, gak?"
Keisya mengucap janji bahwa mulai sekarang. Ia takkan lagi meminta dipulangkan ke rumah orang tuanya.
"Jaga dirimu baik-baik, ya?"
'Kok mobil itu kayak mau jalan, tapi … semakin ke sini ya Allah perasaan Kei makin nggak tenang aja. Semoga ini bukan hal buruk,' batinnya.
Lagi-lagi Indra mengecupnya. Tangan kirinya mendekap tubuh istrinya, sedangkan tangan kanannya menyeret koper atau barang bawaannya untuk digunakan selama berada di tempat kerjanya.
"Kakak juga. Oh iya, janji jangan lupa setiap menit Kakak harus video call sama Kei, oke?"
"Siap, Bu Bos."
Mereka akhirnya tertawa. Namun, tawa mereka hanya sesaat seiring Keisya yang tiba-tiba mendengar suara teriakan yang entah dari mana datangnya. Keisya dan Indra menoleh ke sekitar semua tatapannya mengarah ke mereka. Keisya dan juga Indra.
"Mbak! Mas! Awas … itu di belakang. Mbak, Mas!"
Kembali suara itu terdengar seakan memperingatkan kepada Keisya juga Indra bahwa sesuatu akan terjadi pada keduanya dan sekarang hampir mendekat. Lantaran penasaran, Keisya pun menghentikan langkahnya di susul oleh Indra. Keisya yang menoleh ke arah belakang seakan tak percaya tiba-tiba ….
"Kak Indra awas!"
"Awas, Kei!"
KAMU SEDANG MEMBACA
After Wedding [ Revisi ]
Lãng mạnPernikahan adalah hal yang menakutkan menurut Keisya. Dengan alasan itulah, ia selalu menolak untuk berpacaran. Namun, saat memasuki dunia perkuliahan, bisnis keluarganya mengalami kebangkrutan. Tidak ada pilihan, kedua orang tua Keisya berniat menj...