~ Part 34. Penantian ~

22 3 0
                                    


Sebulan kemudian … 

Sebagai seseorang yang mengaku sebagai sahabat dari temannya tentu akan mendatangi dikala temannya—Madina dan Arken melangsungkan acara pernikahan bukannya menghilang tanpa ada kabar. Boleh saja tidak datang, tetapi bagaimana dengan alasannya? Apa yang menyebabkan seorang Keisya sampai memutuskan tidak menghadiri acara pentingnya Madina? Bahkan ketika Madina meminta Keisya menginap di rumahnya pun hal serupa terjadi. Tetap tidak terlihat batang hidungnya sekali pun.

"Madina!" panggil seorang pria paruh baya.

Gadis cantik dengan balutan kebaya putih lengkap memakai hiasan di kepalanya juga riasan make-up yang terlihat sederhana. Namun, tetap cantik pada Madina menoleh ke samping kiri. 

"Apa yang kamu pikirkan, Nak?" Kembali pria paruh baya itu pun bertanya, "semua orang bahkan telah menunggu ijab kabul segera dilaksanakan, Sayang. Mengapa kamu malah meminta ditunda sejenak. Kamu ragu akan pernikahan ini?" 

Sama sekali tidak ada jawaban. Pandangannya melihat ke arah para tamu undangan. Satu persatu ditatapnya. Yang dicari tetap saja tak menampakkan wajahnya. Setidaknya bentuk wajah atau bayangan pun tidak apa, supaya sedikit kegelisahan di hati Madina pulih. 'Apa dia mengira karena dia dulu tak mengundangku, makanya dia pun tidak datang sekarang? Di mana kamu sebenarnya, Kei? Aku … aku mengharapkanmu hadir di tengah-tengah acara pentingku ini," batinnya. 

Ia merasakan seseorang menyenggolnya, lalu tak lama setelah itu dia menoleh dan hanya sekilas. Setelahnya pandangan Madina tetap pada para tamu undangan tak jauh dari tempatnya sekarang berada.

"Jika seandainya kamu meragukan pernikahan ini, aku ikhlas. Namun, jangan membuatku seperti patung begini, Madina!" bisik orang itu, Arken. Calon suami Madina—yang merupakan salah satu sahabat dari suaminya seseorang yang kini ia nantikan.

Huft. Hampir saja Madina melupakan sesuatu tentang keduanya. Jika Arken—calon suaminya ini memang benar sahabat. Untuk urusan dia bawahannya Indra sudah Madina tahu jauh sebelum itu. Madina harusnya bertanya ke manakah atasannya dan istrinya. Mengapa sudah sejak lama ia sama sekali tidak berjumpa dengan Keisya maupun Indra ketika di kampus.

"Apa tidak sebaiknya acara ijab kabul ini dilangsungkan terlebih dulu, melihat kita membiarkan mereka bak patung duduk kayak gitu. Rasanya kurang baik, Madina. Mereka pun mungkin ingin berdiri, mengelilingi tempat ini atau segera menikmati makanan ini? Karena lapar?" 

Apa yang dipikirkan Arken ada benarnya. Ia terlalu memintingkan dirinya sendiri. Terlalu banyak menaruh rasa gelisah pada sahabatnya, sehingga seseorang di sekelilingnya sama sekali tidak ia perhatikan. 

"Janji setelah ini akan Kakak ceritain ke Madina, Kak?" Madina menghela napas panjang, "tapi rasanya Madina pengen cepet-cepet mengetahui di mana sebenarnya Kei sama Kak Indra," lanjut gadis itu.

"Janji, Din. Nggak akan mangkir," ujarnya. 

"Baik. Kalau begitu, Pak Penghulu!" panggil Madina setengah meninggikan suaranya. " … tolong segera lakukan ijab kabul kami. Sekarang juga tanpa banyak basa-basi!" pinta Madina memaksa.

Namun, Arken malah menggodanya. "Cieee … yang nggak sabar." 

"Berhenti untuk menggodaku, Kak. Aku cuma pengen cep—"

"Cepet sah. Iya, kan?" 

Madina berdecak sebal. Rasanya ia malas bercampur bosan dengan gombalan-gombalan juga tingkat kepedean Arken yang di luar batas itu. Walaupun sikapnya terkadang berbeda dari pemuda lain, Madina tetap menerima Arken sebagai seseorang yang akan menemaninya setiap kapan pun. 

"Baiklah. Akan saya mulai acara ijab kabulnya sekarang juga. Sebelumnya saya ingin bertanya apakah Ananda Arken dan Adinda Madina sudah siap?"

***

Satu sisi kala kesedihan bercampur rasa bahagia tengah menyelimuti pasangan muda yang hendak melangsungkan akad nikah hari ini tepat di saat setelah dua bulan sahabatnya pun resmi berganti status menjadi seorang 'istri.' Ada seseorang yang tampaknya tengah gusar. Di rumah, sendirian tanpa ditemani oleh siapa pun.

"Jika dia pergi, itu artinya aku tidak akan bisa membalaskan rasa sakit hati ini padanya. Tapi, kenapa harus pergi? Kenapa tidak menetap saja di sini? Aaarghh!" erangnya. 

Jessica Mishell. Kalian tentu tahu siapa gadis satu ini, pun bagaimana terobsesinya seorang Jessica saat menghadapi pemuda tampan berlesung pipi, manis. Selalu dalam benaknya ingin bisa kembali mendapatkannya. Menjalin hubungan seperti saat dahulu kala keduanya masih bersama. 

Namun, apa yang membuat Jessica semarah itu dan siapa seseorang yang telah menjadikan Jessica murka tanpa alasan? Bahkan semua barang disekitarnya pun dia lempar di sembarang tempat.

Samar-samar saat ia tengah merebahkan tubuhnya di atas sofa. Derap langkah seseorang seperti mengarah ke tempat di mana dirinya berada. Ia jadi berpikir bahwa yang datang merupakan seorang perempuan. Karena dapat dirasakan dari gerak langkah serta hentakan suara sepatu high heels. 

"Jessica, Sayang!" 

'Apa itu Mama?' batinnya. 

Jessica bangkit dari tempat duduknya. Ia mengangkat sedikit wajahnya melihat siapa yang datang. Setelah tahu. Jessica menghela napas, lalu merebahkan tubuhnya lagi di sofa.

"Jessi! Mama nggak habis pikir sama kamu, ya. Kenapa bisa kamu sampai sebegininya hanya karena seorang laki-laki yang bahkan sekarang pun orang itu telah hilang entah ke mana. Dan belum tentu orang itu pun memikirkanmu juga, Sayang!" omelnya.

'Mama? Dari mana dia tahu kalau aku marah karena laki-laki? Siapa yang kasih tahu coba, terus bukannya ini masih jam kantor. Kok sudah pulang?' 

Ia terus bertanya-tanya. Namun, hanya dalam hati dan memang rasanya percuma meski pertanyaan itu dilontarkan ia tidak akan mendapatkan jawaban apa-apa. Yang ada sang mama meminta Jessica menghilangkan pemikiran soal laki-laki.

Ya. Semenjak putusnya hubungan Jessica dengan Indra dulu. Sejak saat itu pula sang mama menghentikan Jessica dan memintanya agar tak memikirkan laki-laki lagi. 

"Udahlah, Ma. Jangan banyak bicara lagi! Aku mumet, capek." 

"Mumet? Capek? Capek dari mana kamu, Jes? Seharian ini bukannya nggak ke mana-mana?" Sang mama balik bertanya.

Semakin lama amarahnya semakin membesar. "Capek terus nyariin di mana keberadaannya Indra. Puas?!" bentak Jessica.

Dalam sekejap amarah Jessica langsung mereda sejenak tatkala setelah mamanya menampar anak gadis satu-satunya. Entah apa alasannya mengapa sampai tega main tangan. Akan tetapi, saat ini Jessica meninggalkan mamanya di ruang tamu—hancur berantakan.

"Jessica tunggu! Kamu nggak bisa kayak gini tetus, Jes. Lupakan laki-laki itu, dia sudah menikah, Jes. Jessica!" 

"Mama begini hanya ingin kamu jadi seseorang yang sukses. Sekolah yang bener, bukannya malah kayak gini." 

Teriakan itu masih dapat terdengar jelas bahkan sampai ke kamarnya. Jessica menutup telinganya rapat-rapat. Ia seperti tidak ingin ada seseorang menceramahinya selain kabar di mana keberadaannya Indra.

Madina menantikan kehadiran Keisya dan Indra di acara pernikahannya. Sementara, Jessica murka mendapati kabar Indra tidak di kediamannya.

Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh Jessica ketika datang ke rumah Indra. Justru yang dikunjungi tak ia temukan. Di mana mereka?

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang