Part 43. || Senjata Makan Tuan

22 5 0
                                    


Usai mendengarkan penjelasan dari Dokter Syarifah—Dokter yang menangani Keisya. Geisya dan sang suami juga sahabatnya pun turut serta memasuki ruangan tersebut setelah mendapat izin resmi dari beliau. Isak tangis pun seketika pecah tatkala mendapati buah hati tercinta yang selama ini bagi Geisya selalu riang, bermanja-manja dengannya kini menemukan putrinya terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit.

"Ya Allah, Keisya anak kesayangan Mami, Nak. Bagaimana keadaanmu, hem? Kenapa bisa sampai seperti ini?" 

Tak henti-hentinya pelukan serta kecupan hangat diberikan olehnya teruntuk putri kesayangannya. Begitu pun dengan sang suami—yang tak ingin kalah dari istrinya untuk menberikan perhatian-perhatian kecil.

"Mami sama Papi udah pulang?" 

"Sayang. Kamu nanya kayak gitu, sih?" Geisya mengusap pelan puncak kepalanya, "jelas kami pulang karena Madina sama suaminya kasih tahu ke Mami, kamu tuh masuk rumah sakit, Sayang. Gara-gara si Jessica itu, kan, iya?" tanyanya. 

"Bukan. Bukan Jessica, tapi anak buahnya kayaknya. Soalnya pas Kei tanya soal masalah di Bandara. Dia langsung kabur, orang itu yang bikin Kei jatuh." Begitu pelan Keisya menjelaskan sepenggal kejadian pagi tadi. "Oh iya. Tadi, kan, Kei sempet didorong. Bayi Kei gimana, Mi, Pi?" 

"Alhamdulilah. Qodarullah, bayimu selamat dan kamu juga alhamdulilah selamat, Kei," jawab Madina seraya mengulum senyum.

"Alhamdulilah." 

Sejenak suasana di dalam ruangan itu sunyi, semua tak saling berbicara hanya masing-masing fokus pada Keisya. Geisya dan suaminya menyuapi sang putri tercinta. Sedangkan, Madina menyiapkan beberapa obat yang harus dimakan oleh sahabatnya. "Mami inget sesuatu, Sayang. Tadi Madina bilang dia sama kamu ngobrol di tepi jalan, tapi bukannya kamu lagi nggak enak badan. Ngapain juga mesti keluar rumah, kalau kamu di dalam pasti aman, kan?" 

Perlahan Geisya dan sang suami pun mengetahui sedikit demi sedikit mengenai gambar tentang mobil dan kejadian di Bandara. Sebelumnya sulit untuk Geisya memperoleh alasan itu, tetapi seiring nasihat-nasihat kecil yang diberikan olehnya dan sang suami serta sahabatnya. Alhasil, terungkaplah sebagian dari apa yang disembunyikan putrinya.

"Kamu yakin nggak ada lagi yang ditutup-tutupi dan apa kamu udah tahu, Sayang. Kabar dari suami kamu setelah kecelakaan itu. Masa iya kamu nggak dikasih izin buat nemuin suamimu meskipun cuma sesaat?"

Madina pun mengiyakan. "Aku rasa hem … mertuamu menyembunyikan sesuatu deh dari kamu, tapi maaf kalau salah. Soalnya nih, ya, setahuku kalau emang suaminya parah atau apa lah itu namanya. Yang namanya istri pasti akan dikasih tahu gitu kondisi suaminya. Semoga aja Kak Indra nggak kenapa-kenapa." 

"Kei juga takut sebenarnya, tapi mau gimana lagi. Cuma bisa berdoa semoga Kak Indra emang beneran ke luar negeri buat berobat," sahut Keisya.

Pukul 18.30 WIB selepas salat magrib Dokter memberitahukan bahwa Keisya sudah bisa dibawa pulang. Namun, Dokter berharap kejadian ini tidak akan terulang lagi dan bila itu sampai terjadi besar kemungkinan akan mengancam keselamatan calon anak pasien. Geisya dan sang suami berjanji untuk menjaga putrinya.

'Aku nggak akan biarkan anakku sampai disakiti lagi oleh perempuan gatal itu! Dia harus merasakan akibat daripada yang telah dia lakukan. Beraninya main kasar sama anak dan menantuku. Awas kamu, Jessica!' batinnya menggumam.

Angin berembus menerpa keheningan. Geisya dan sang suami memapah Keisya hingga ke parkiran, kemudian memasuki mobil miliknya. Sementara itu, Madina dan Arken berpamitan pada keluarga kecil itu.

"Tante bener-bener ucapin makasih-makasih sebanyak-banyaknya buat kalian berdua. Tanpa kalian nggak tahu anak Tante nasibnya kayak gimana. Makasih sekali lagi, ya, Sayang." 

"Kei juga. Makasih banyak buat Madina sama Kak Arken, maaf udah bikin kalian kerepotan bantu Kei. Next time, kamu main lagi ke rumah, ya, Din." Keisya dan Madina saling berpelukan, "Jangan lupa kapan-kapan main lagi ke rumah, ya."

"Siap. Om, Tante kalau begitu kami pamit dulu." Madina menyalami mami-papinya sang sahabat.

Setiba di rumah Geisya meminta putrinya untuk beristirahat sepenuhnya. Tidak keluar rumah maupun ke luar kamar. Wanita satu ini mendadak berubah seratus delapan puluh derajat pada Keisya. Sempat mendapatkan penolakan dan pertanyaan dari suaminya tentang mengapa sampai harus mengekang segala. 

Kala dirinya menjelaskan pada sang suami. Barulah bisa mengerti tujuannya memberikan larangan-larangan itu pada putrinya.

Kini pasangan suami istri tengah berada di ruang tamu. Hanya berdua saja. Menonton televisi, tetapi masing-masing pandangan mereka berbeda-beda. Jika Geisya menyandarkan tubuhnya sembari mengangkat wajahnya ke atas, menatap langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk. Lain hal dengan suaminya.

Seorang CEO yang memiliki beberapa cabang perusahaan di beberapa kota juga negara sibuk mengutak-atik benda persegi dengan jari menari-nari terus di atas keyboard.

"Mami kepikiran untuk mengirim seseorang buat balas dendam atas perbuatan yang udah si Jessica lakuin terhadap anak dan menantu kita, Pi," ungkapnya, kemudian ia mengusap wajahnya. "Mami heran banget sama anak itu. Padahal udah ditolak mentah-mentah sama Indra, diusir sama Mas Sam. Masih aja ganggu pernikahan mereka."

Jari-jemari pria bermata empat yang masih mengenakan setelan kantor itu terhenti. "Hati-hati, Mi. Kamu mungkin pengen bales dendam soal perlakuannya, tapi anak kita Kei belum tentu loh mau maminya berbuat sejahat itu?"

Geisya menatap suaminya dengan tatapan tajam. "Hello, Papi. Jahat mana coba sama dia, hah?! Papi harus tahu dan inget dong dia hampir bikin anak kita keracunan, terus bunuh Pak Agung, sayangnya dia berhasil ngelak dan bukti pun nggak cukup buat itu orang bisa masuk penjara. Sekarang? Dia bahkan rela bersama orang suruhannya nyelakain Kei, tapi siapa yang kena? Indra."

Pertengkaran demi pertengkaran tersebut nyatanya membuat anak gadisnya keluar kamar. Sontak saja melihat Keisya berdiri di anak tangga terakhir. Mulut keduanya sama-sama membisu. Tak sepatah kata pun terucap bahkan saat Keisya meminta keduanya menjawab. Hanya tatapan kosong dan saling pandang saja, seakan mereka tidak tahu apa yang harus mereka katakan.

"Yakin kalian masih tetep diem aja dan gak mau jawab pertanyaannya Kei?" tanyanya, "oke kalau begitu Kei mogok makan sampai kalian mau bicara apa yang barusan kalian ributkan."

Keisya kembali ke kamarnya.

"Papi sih," protes Geisya enggan untuk disalahkan.

"Mami kok salahin Papi? Mami sendiri yang mulai. Lagian orang kasih nasehat juga, harusnya dengerin bukan malah nyalahin orang." Pria paruh baya itu pun menggaruk-garuk tengkuknya. "Lagian Mami mau lakuin apaan sampai ngebet pengen balas dendam? Nggak takut kena karma?"

Geisya membisikkan sesuatu pada suaminya. Lalu, setelahnya ia menyeruput teh yang milik suaminya tanpa meminta izin terlebih dahulu.

"Astagfirullah, Mi. Kamu … ckk ngapain main seruput minuman orang sih? Papi sengaja nggak minum, karena lupa bukan masukin gula malah garem."

"Apa? Uhuk-uhuk. Ja-jadi, Papi!!!" erang Geisya.

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang