Part 46. || Tamatlah Riwayatku

15 1 0
                                    


Mimpi yang sempat dialami oleh sang mama mengenai dirinya yang akan dipenjara, kemudian tiba-tiba meninggal dalam waktu sejam selanjutnya berhasil membuat bulu kuduk Jessica merinding. Senja kali ini terlihat sangat menyeramkan baginya, padahal di luaran sana orang-orang sibuk berlalu lalang melakukan aktivitas masing-masing, bercanda tawa sembari bergandengan tangan, tetapi dirinya hanya duduk-duduk saja seorang diri di balik jendela—di sebuah cafe—Love Story–yang pemiliknya ialah seseorang dari masa lalunya.

"Halo, Bos. Sore-sore begini kenapa mukanya ditekuk kayak gitu, sih? Ada apa?" 

Seorang laki-laki bertubuh gempal dengan kepala botak dan berpakaian preman itu tiba-tiba duduk, lalu mengambil minuman milik Jessica dan menyeruputnya hingga tak lagi tersisa sedikit pun.

"Ihhhh apaan sih, main ambil aja. Udah tau ini milik o … kamu? Ckkk," ujarnya sembari berdecak sebal.

"Minumannya enak, Bos," kata si gempal lagi.

"Iya enak, gratis? Bayar aja sono sendiri," balas Jessica kesal.

Entah laki-laki itu enggan disuruh bayar atau memang tidak memiliki uang selembar pun. Ia berdiri secepat mungkin saat Jessica hendak pergi. Laki-laki bertubuh gempal itu pun mencabut kata-katanya dan mohon maaf tidak akan lagi menggoda atasannya.

"Oke. Aku maafin!" Akhirnya Jessica memutuskan, "tapi awas aja kalau sampai kamu bikin aku kesal lagi. Nggak ada kata maaf, kamu sebagai balasannya noh penjara."

"Bo-bos, jangan gitu dong. Iya, maafkan saya, saya ngaku salah, Bos. Jangan penjarakan saya dong!" 

Permohonan-permohonan tersebut membuat seseorang menghubunginya. Si laki-laki bertubuh gempal pun Jessica minta untuk tetap diam saja dan tidak perlu lagi meracau selama dirinya menjawab panggilan telepon. 'Semoga aja yang nelepon bukan pihak kepolisian dan mimpi Mama nggak sampai kejadian,' batinnya.

Sedikit lega lantaran harapannya berbalas dengan kenyataan. Jessica menerima telepon seperti biasa saja, tidak pernah ia terpikirkan ke arah mencurigai ke arah si penelepon. Apakah benar berbicara seperti itu hanya sendirian atau karena ada seseorang yang memaksanya?

Jessica menyetujui untuk pulang cepat. Hari pun sebentar lagi akan gelap, di hadapannya ia masih ada si laki-laki bertubuh gempal.

"Kamu mending sekarang pergi jauh-jauh, oke. Sejauh mungkin lah kalau bisa, soalnya aku nggak mau kalau sampai polisi cari tahu kamu dan tanya-tanya soal kejadian waktu itu di Bandara. Paham, gak?" 

"Bos suruh saya pergi? Tapi, saya mesti pergi ke mana? Uang aja nggak punya," jawab si gempal lagi.

Dengan malasnya Jessica pun mengambil tas sembari memasukkan ponselnya kembali ke sana, Jessica mengeluarkan amplop coklat dengan isi cukup lumayan bisa membuat si gempal menjauh dari Jakarta. Ia hanya berharap tidak ada orang yang membuatnya semakin tertekan. Dan jikalau pihak Indra melaporkannya ke polisi, setidaknya saksi seperti; Si gempal pun tidak ada.

"Semoga uang segitu bisa cukup menutup mulutmu dan pergi jauh dari sini, oke?! Tadi pagi katanya mamaku mimpi soal aku yang bakalan ketangkep sama polisi, jadi ya semoga aja salah dan nggak ketangkep," katanya, "ya udah sana pergi! Ingat, pergi jauh-jauh jangan sampai muncul lagi di Jakarta!" 

"Oke, Bos. Saya pergi, cuma saya akan datang kembali apa bila uang yang Bos kasih buat saya habis," jawab si gempal gampang, kemudian meraih amplop coklat tersebut seraya menciumnya.

'Mata duitan lu dasar!' umpat Jessica seraya mendelik.

Usai berbincang-bincang dengan si gempal dan memastikan bahwa saksi serta seseorang yang membantunya melakukan rencana kemarin pergi selamanya dari Jakarta. Jessica lekas membayar minumannya, lalu meninggalkan cafe tersebut dan kembali ke rumah dengan kondisi hati yang tak bisa dikatakan baik-baik saja.

Sepanjang jalan ketika ia keluar dari cafe tersebut, hingga akan tiba di rumahnya dalam beberapa menit lagi. Ia terus saja kepikiran mengenai si gempal yang tidak akan pergi, justru akan tetap di sana bahkan menjadi alasan utama mengapa dirinya masuk penjara nantinya.

Ia berusaha menepis pikiran-pikiran buruk yang bersarang di kepalanya. Namun, semakin ia jauhkan pikiran tersebut malah semakin bersarang dan menjadikan kehidupan Jessica pasca rencana tabrakan di Bandara itu berhasil tak tenang. Selalu saja dihantui oleh rasa bersalah.

'Aaargh!! Ini otakku isinya kok bisa si gempal terus, sih? Apa jangan-jangan aku suka sama si laki-laki plontos itu? Tapi, nggak-nggak! Ogah aku suka, ini bukan karena aku suka cuma karena dia biang … aaargh, ihhh,' rutuk Jessica memukul keras stir mobilnya.

Sepuluh menit lagi mobil yang dikendarai oleh Jessica akan tiba di sebuah perumahan megah dan kondisi hati Jessica makin kacau tiada dua.

"Oke. Tenang Jessi, kamu jangan gugup kayak gitu oke. Kalau gugup, semuanya bisa saja terbongkar! Harus tenang," ucapnya berusaha menguatkan diri.

Alhasil, ketika kendaraan tersebut benar-benar telah sampai di sebuah gedung megah yang memiliki halaman cukup luas itu. Jessica memarkirkan mobilnya di sembarang tempat. Dari awal dirinya turun dari mobil, kala melihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 16.45 WIB di halaman rumahnya terdapat beberapa mobil mewah lainnya.

"Sore-sore begini tumben banget, ya, ada banyak mobil di depan rumah. Apa mungkin Mama sama Papa lagi ada tamu, ya? Apa mereka meeting di sini?" Ia bertanya-tanya.

Tak ingin lagi menambah beban di kepalanya. Ia pun meminta satpam penjaga rumahnya untuk merapikan mobilnya dan jangan di taruh sembarangan seperti itu. Ia melemparkan kunci pada satpam, sementara dirinya memasuki rumah.

Aura-aura tidak enak semakin kuat ia rasakan. Namun, Jessica tetap mencoba biasa saja dan tetap melenggang menuju ke dalam. Meski tak menampilkan seraut senyuman indah di sana, Jessica juga tak terlalu ketus. Ia menyapa pelayan yang menatapnya dengan tatapan aneh, kemudian pergi dan tak mengucap apa-apa.

"Ah udahlah. Ngapain juga si mesti dipikirin orang kayak gitu," ujarnya dengan memelankan suaranya, "Mama! Papa! Ma, aku pulang. Di depan mobil banyak, tapi masuk ke rumah nggak ada siapa-siapa. Ini orang pada ke mana, sih?" 

Berkali-kali ia mengulang kembali ucapan serupa, tetapi tak satu pun ada yang menjawab panggilannya tersebut. Suasana di dalam rumah tak seperti biasanya, hening dan benar-benar seperti rumah kosong lama tak berpenghuni. Ya seperti itulah kira-kira.

Setelah lelah terus memanggil mama papanya, tapi tak jua mendapatkan respons. Jessica melemparkan tas kecilnya di atas sofa sembarang begitu saja. Ia merebahkan tubuhnya, kemudian menutup matanya rapat-rapat. Untuk kali kedua Jessica membuang napasnya kasar dan berusaha menepis semua pikiran buruk dari kepalanya.

"Enak banget, ya, kamu rebahan kayak gini di rumah. Sementara, menantu saya tengah berjuang melawan rasa sakitnya yang bahkan sampai sekarang nggak tahu gimana kondisinya. Dasar perempuan pembunuh!" umpat seorang wanita yang bagi Jessica nada suaranya tak asing lagi.

Perlahan kedua bola matanya terbuka. Ia terperanjat saat menemukan beberapa orang telah berada di dekatnya.

"Apa ini mimpiku saja?" tanyanya.

Siapa orang yang sekarang ada di depan Jessica?

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang