"Sayang!" panggil Geisya, "kamu bangun, Nak. Semalaman kamu tuh ngigau terus sampai-sampai badanmu panas. Mami sama Papi cemas loh," sambung wanita itu.
"Iya, Nak. Kamu tuh kayak kepikiran terus sama Nak Indra. Apa Papi telepon aja Indra atau mertua kamu. Gimana?"
Bola mata Keisya baru terbuka lebar ketika ia mengerjap-ngerjap, memastikan bahwa keadaan dirinya baik-baik saja dan dia berada di tempat kedua orang tuanya. 'Sepertinya Kei cuma mimpi aja, Kei masih tetep belum bisa dapat kabar Kak Indra dari Papa Sam. Ya Allah, semoga Kak Indra baik-baik saja,' batinnya. Ia berusaha bangun, tetapi mami papinya melarang.
"Sayang, tahu gak? Madina temen kamu itu udah menikah loh sama Arken, kemarin malam mereka berdua ke sini nanyain kamu. Cuma … Mami bilang aja ke mereka kalau kamu belum bisa diganggu, Sayang. Jadi …."
"Iya. Kei lupa sama janji Kei, Mi. Aduh, gimana, ya?" jawab Keisya pelan.
"Udah. Nggak perlu khawatir, Sayang! Mereka ngerti sama keadaanmu kok, tapi ya gitu penasaran sama kenapa dan bagaimana bisa kamu ampe nggak ada kabar selama sebulan dan ujungnya kamu minta kami ketemuan di cafe."
Kali ini Keisya benar-benar memaksakan dirinya untuk duduk sembari bersandar dengan bantal menghalangi punggungnya. Mentari baru saja terbit, Keisya menoleh ke arah jendela menatap indahnya suasana pagi ini dari balik jendela. Embusan angin membuat gorden kamar Keisya mengayun mengikuti irama angin.
Tatapan kosong dengan bulir-bulir air mata membasahi pipinya. Keisya mengambil ponselnya dan meminta kedua orang tuanya untuk membantu serta berjanji untuk tidak bertanya lebih banyak sebelum rencananya selesai.
"Memangnya kamu perlu bantuan kami apa, Sayang?" Geisya mengusap puncak kepala putrinya, "Insya Allah kami akan selalu bantu. Iya, kan, Pi?" lanjut Geisya, kemudian diikuti anggukan dari suaminya.
"Janji?"
"Janji, Sayang," jawab kedua orang tua Keisya bersamaan.
Ponsel yang sedari tadi ia genggam, lalu diberikan pada mami papinya. Di dalam sudah terdapat sebuah gambar yang mana maksud dari ucapan Keisya sudah tertera di dalam sana. Namun, sebagai orang tua tentu mereka tidak memahami mengapa putrinya hanya memberikan gambar mobil SUV dengan plat-nya saja. Apa yang sebenarnya terjadi?
Semakin ia mencoba menghilangkan rasa trauma sekaligus rindu pada sosok suaminya yang entah saat ini sedang apa. Keisya berusaha menahan kerinduan itu.
"Sayang. Mami nggak pa—"
"Kei cuma pengen kalian berdua bantu Kei untuk cari siapa pemilik mobil tersebut, karena … tiba saatnya nanti pun tanpa Kei kasih tahu sekarang. Kalian bakal tahu sendiri kok." Keisya memotong ucapan maminya, kemudian ia genggam kedua tangan orang tuanya. "Temukan pemilik mobil itu, Pi, Mi. Kei pengen keadilan buat Kak Indra."
"Keadilan?"
Papinya menyenggol lengan sang istri.
"Ya sudah, Sayang. Kami berdua pamit dulu, kamu nggak apa nggak masuk kuliah juga. Di rumah aja, ya! Kalau ada apa-apa Bi Ani ada di sini dampingi kamu," pamit Geisya.
"Oke."
Usai memastikan kepergian mami dan papinya. Keisya merasakan sesuatu yang mengganggu hati dan pikirannya. Kini tinggallah ia dengan pelayannya yang selalu setia menemani Kei.
"Bi! Kayaknya daripada diem di rumah kayak gini, Kei pengen jalan-jalan deh. Sekitaran komplek sini, Kei kayak gini keinget Kak Indra terus."
"Non yakin?" tanya Bi Ani.
Keisya hanya mengangguk.
Dengan didampingi pelayannya Keisya pun memutuskan jalan-jalan keluar di sekitaran komplek perumahannya. Matahari makin siang mulai meninggi. Keisya menikmati udara pagi ini bersama pelayan. Ia mengelus-ngelus perutnya. Tak pernah ia sangka pernah sekali ia merasakan tendangan dari dalam perutnya.
Kondisi bayi dalam kandungannya yang makin hari mulai bertingkah aneh seperti menendang-nendang perut ibunya. Ia jadi teringat akan sosok Indra.
"Keisya!"
Samar-samar Keisya mendengar suara seseorang berteriak memanggilnya. Keisya dan Bi Ani menghentikan langkah kakinya tepat di dekat gerbang rumah milik teman maminya dengan di sampingnya terdapat pohon mangga.
"Sepertinya ada yang memanggil, Non. Kayaknya itu deh!" tunjuk Bi Ani ke arah depan.
"Siapa, ya, Bi?"
Keisya mengajak Bi Ani untuk melanjutkan langkahnya. Perempuan itu ingin sekali melihat dengan jelas siapa yang memanggilnya.
"Kei. Ini aku!"
Kembali teriakan itu terdengar. Antara Keisya dan seseorang yang memanggilnya terus menerus jaraknya tinggal beberapa langkah lagi. Begitu tahu seseorang yang menyebut namanya terlihat jelas. Keisya pun bergegas lari dan memeluknya.
"Madina," sapa Keisya.
"Keisya!" Madina balas memeluk sahabatnya, sedangkan Bi Ani tersenyum melihat kedua sahabat itu.
Lama saling berpelukan dan melepas rindu setelah sebulan penuh Keisya tak meninggalkan jejak sama sekali. Keisya melepaskan pelukannya. Ia meminta maaf lantaran telah ingkar janji. Ia memohon maaf pada sahabatnya. Bukan ia tak mau, tetapi memang Tuhan telah memberikan ujian kepadanya dan sang suami, sehingga berakhir seperti ini.
"Ihhhh, Kei. Nggak usah pake minta maaf juga napa, kamu nggak salah. Aku paham kok, kamu pasti saking nggak mau pisah sama Kak Indra yang lagi keluar kota. Jadinya nggak mau lepas dari dia. Eh tapi …." Madina mengetuk-ngetuk pipinya sendiri, seperti tengah memikirkan sesuatu yang benar-benar ia ingin ucap, tetapi lantaran tidak tahu apa. Ia masih terus berpikir.
"Kak Indra di mana, Kei? Biasanya, ya, kalau misalkan kerja kayak gitu ke luar kota paling lama dua minggu, tapi nggak tahu juga, sih, ya. Gimana? Kak Indra baik-baik saja, kan?"
'Madina mengira kalau menghilang sebulan ikut Kak Indra ke Surabaya. Padahal kenyataannya lain daripada yang dia bayangkan,' bisiknya seraya menatap kedua iris sahabatnya.
"Kei. Kok ngelamun?"
"Itu, Non. Tuan Muda masih di Surabaya, Non Kei pulang karena nggak betah lama-lama tinggal di luar kota," jawab Bi Ani berbohong.
Di antara keluarga Keisya yang lainnya hanya Bi Ani lah yang tahu bagaimana kondisi majikannya. Baik mami maupun papinya. Mereka berdua tidak diberitahu oleh Keisya. Bi Ani. Hanya ketika mertuanya saja menitipkan Keisya padanya, makanya hingga sekarang Bi Ani mengetahui segalanya.
Ada sedikit lega sekaligus merasa bersalah dari dalam benak Keisya. Pasalnya ia belum pernah berbohong pada sahabatnya. Entah masalah kecil maupun besar, Madina selalu tahu. Cuma ia telah melakukan kebohongan besar dari sahabatnya. Dan itu sudah dua kali.
"Kamu ini, ya. Dari dulu nggak pernah berubah, selalu aja manja. Udah punya suami dan anak … hahaha dasar," ucap Madina seraya tertawa sambil mencubit pipi temben Keisya.
'Din! Maafin Kei, ya. Dua kali Kei bohong sama kamu, tapi … Kei nggak bilang takut semuanya jadi kacau. Bahkan Kei pula belum tahu gimana keadaannya Kak Indra.'
Keisya memeluk sahabatnya lagi, tetapi kali ini ia membisikkan sesuatu.
"Apa, Kei? Maksudnya gimana, aku nggak paham sumpah."
Apa yang Kei katakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
After Wedding [ Revisi ]
RomancePernikahan adalah hal yang menakutkan menurut Keisya. Dengan alasan itulah, ia selalu menolak untuk berpacaran. Namun, saat memasuki dunia perkuliahan, bisnis keluarganya mengalami kebangkrutan. Tidak ada pilihan, kedua orang tua Keisya berniat menj...