Part 45. || Berharap Bukan Khayalan

16 2 0
                                    


"Pagi-pagi tumben banget rumah ini sepi, orang-orang pada ke mana, ya?" 

Keisya baru saja keluar dari kamar dengan masih mengenakan piyama serta hijab instant-nya. Namun, melihat keadaan di rumah sepi seolah-olah hanya ada dia sendiri dan Keisya benar-benar tidak menemukan di mana keberadaan keluarganya. Bahkan pelayan rumahnya pun justru tidak ada.

"Apa mereka di halaman belakang, ya?" pikirnya.

Langkah kaki Keisya perlahan mulai menuruni satu demi satu anak tangga dan hingga pada tangga terakhir. Ia tidak langsung ke halaman belakang, melainkan ke dapur. Di sana memang sudah tampak makanan tersaji di atas meja. Akan tetapi, tak ada petunjuk yang mengarah di mana keluarganya ada.

"Ih ini gimana, sih? Sumpah demi apa pun heran banget, Mami sama Papi nggak ada. Bi Ani juga sama. Pada ke mana, ya, kompakan bener."

Terbersit dalam benaknya untuk menghubungi mami dan papinya. Kala ia merogoh saku pakaiannya, ia menepuk jidat dan lupa bahwa ponselnya tertinggal di atas. 

Keisya mengembuskan napasnya kasar. Meski ia tidak ditemani oleh keluarganya yang lain, ia memiliki seseorang di dalam perutnya. Buah cinta dari pernikahannya bersama sang suami, Trimo Indra Gunawan. Dalam kesendiriannya Keisya terbayang akan wajah manisnya seorang Indra dan bagaimana laki-laki itu memperlakukannya bak seorang ratu dalam sekejap setelah prasangka terhadap Indra mengenai sifatnya yang jutek, dingin dan selalu 'buruk' di matanya, kini prasangka-prasangka itu pun sirna.

Rasa rindu pada laki-laki itu sungguh tak dapat ia tahan lagi. Sepanjang langkahnya mencari mami dan papinya juga pelayan, Keisya mengusap-ngusap perutnya yang sudah membesar sembari mendendangkan solawat serta istigfar dan doa-doa yang ia sekiranya hafal.

"Kamu tahu gak, Sayang? Oma, Opa sama Bibi Ani ke mana, sih? Mama bosen sendirian ini, Mama kalau lama-lama kayak gini keinget sama Papa Indra. Papa kamu, Sayang. Di mana, ya, mereka?" tanyanya pada janin di dalam perutnya.

Potret kebersamaan dirinya dengan sang suami yang terpajang di ruang tengah—posisinya mengarah ke halaman belakang, membuat Kei kembali mengenang masa-masa di mana dirinya menolak mentah-mentah pernikahan ini. Seringkali membuat Indra jengkel, tetapi nyatanya laki-laki itu selalu saja pandai membuat hatinya luluh, sehingga kebencian serta penolakan tentang pernikahan ini terganti oleh rasa rindu. Rasa ingin memeluk bahkan andai saja bisa, Kei enggan melepaskan suaminya. Walau untuk sedetik saja.

"Semoga Mama bisa kembali bertemu sama Papa kamu lagi, ya, Sayang. Mama kangen banget sama Papa kamu," ujarnya.

Ketukan pintu terdengar sangat jelas. Kali kedua ia tak jadi menuju halaman belakang. Malah Keisya yang berurai air mata mengingat kenangan bersama suaminya, ia menyeka bulir-bulir air bening yang jatuh membasahi pelupuk matanya. 

"Hai, Bestie," sapa seorang gadis cantik, Madina.

"Oh hai, Madina." Keisya memeluk sahabatnya, kemudian melepaskan kembali dan mengajak Madina masuk rumah. "Tumben pagi-pagi ke sini, bukannya hari ini ada kelas, ya?" 

"Iya sih ada. Tapi kan berangkatnya bisa bareng kamu, Kei. Kamu juga mau kuliah, kan?" 

Keisya tersenyum seraya mengangguk, "Tentu. Cuma sekarang Kei bingung, Madina. Mami sama Papi tumben banget nggak ada di rumah, Bi Ani juga yang biasa ngurus Kei juga nggak ada."

"Kok bisa?" 

Kei tak menjawab, hanya menggeleng saja. 

Adanya Madina di sisi Kei saat ini membuat hari-hari Kei sedikit lebih baik dari sebelumnya. Ia jadi tidak sering merenung sembari menitikkan air mata, pun sekarang Keisya raut wajahnya lebih terlihat fresh.

Waktu bergulir begitu cepat hingga tak terasa jika sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Saat itu juga Keisya bersama sahabatnya pergi bareng-bareng menuju kampus. Keduanya melewati setiap kegiatan bersama-sama tanpa sedetik pun terpisah. Kei tak lagi merasa malu akan janin yang sekarang ia kandung dan justru ia menikmati suasana kehamilannya sembari menimba ilmu menanti kepulangan sang suami.

"Pulang kuliah kamu mau langsung ke rumah atau main dulu ke rumahku, Kei?" tanyanya, "jarang-jarang loh kamu ke rumah aku, biasanya juga aku ke rumahmu?" sambung Madina.

"Pengen sih, cuma Kei akhir-akhir ini gampang capek, Din. Maunya sih kita jalan-jalan kayak dulu, pergi ke gramedia cari novel-novel romance-religi, nikmati suasana persahabatan kita. Ya kamu tahu sendiri, Kei udah hamil gede, nanti pun Madina pasti ngerasain kok," jawabnya santai.

Terik mentari siang ini terasa menyengat. Keisya tak tahan berada di tengah-tengah parkiran dengan kondisi cuaca seperti ini. Ketika ia hendak menepi, ia menemukan seseorang yang wajah dan postur tubuhnya sama persis dengan suaminya.

"Kak Indra," ucapnya sembari menatap seorang pemuda di dekat gerbang.

"Kak Indra? Maksudmu siapa, sih, Kei?" 

"Madina, Kei ke sana dulu, ya. Kei mau nemuin Kak Indra! Pasti itu Kak Indra!" teriaknya yang tiba-tiba melesat hilang begitu saja.

"Keisya tunggu!" 

Perempuan itu tak memedulikan sahabatnya yang berteriak terus menerus di belakangnya. Ia saking senangnya melihat seseorang persis suaminya di gerbang kampus, mempercepat langkahnya. Bahkan sebelum memutuskan pergi, Keisya tidak pernah berpikir bahwa itu suaminya atau justru orang lain.

"Nak. Papa kamu jemput Mama, Sayang. Lihat tuh ada di gerbang, kita samperin Papa kamu, yuk?" ujarnya sembari terus melangkah sambil mengelus perutnya.

Boleh berharap, tetapi janganlah terlalu berlebihan karena sesuatu berlebihan pun pada ujungnya akan berakhir tidak baik. Hati Keisya seakan dihancurkan dalam sekejap, kala pertemuan yang ia inginkan, hanya sebuah khayalan. Rasa rindu dalam benaknya kian membesar. 

"Kei! Kamu baik-baik aja, kan?" 

"Kak Indra hilang, Din. Kak Indra tiba-tiba nggak ada loh, padahal jelas-jelas tadi Kei lihat berdiri di sini, Din. Kamu percaya sama aku, kan?" Keisya menitikkan air mata, kala semua mata tertuju padanya.

Madina mengajak sahabatnya untuk pulang, tetapi keras kepalanya Keisya tak dapat diluluhkan hanya dengan sekali bujukan. Keisya tetap pada pendiriannya untuk mencari sang suami.

"Tapi, Kei. Ini udah mau sore, besok aja carinya, ya. Kamu sendiri yang bilang kalau Kak Indra dibawa Om Sam ke luar negeri, jadi yang tadi bukan Kak Indra, pasti kamu cuma kangen doang," cerocos Madina.

"Nggak. Aku yakin itu yang tadi Kak Indra, Madina! Kalau kamu nggak percaya sama aku, terserah. Aku mau cari Kak Indra, aku mau ketemu sama dia, Madina," ucapnya lirih.

Isak tangis Keisya pecah. Satu persatu orang-orang baik dari anak-anak di kampus maupun warga yang kebetulan lewat ke arah sana memperhatikan Keisya. Menonton perempuan itu yang tengah dilanda kerinduan, sehingga tidak menyadari mana kenyataan dan halusinasi.

"Aku tahu, Kei. Aku tahu kamu kangen banget sama Kak Indra, tapi nggak gini caranya. Kasihan dong sama anak yang ada dalam kandunganmu. Gimana kalau nanti kalau Kak Indra tahu anak ini—-"

"Kalau terjadi sesuatu sama anakku, mamanya mau kusuruh buat lagi yang banyak," ucap seseorang yang tiba-tiba datang dan suasana pun hening sesaat.

"Suara itu?" 

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang