Part 41. || Si Penabrak Suamiku

25 7 0
                                    


"Kamu? Buat apa lagi datang ke sini, sih?" 

"Gampang. Cukup kamu katakan di mana Indra dan aku akan menyusul dia," jawabnya.

Canda tawa yang menghiasi suasana pagi antara Keisya dan sang sahabat—Madina yang masih berada di tepi jalan komplek perumahannya berubah menegangkan tatkala sebuah mobil berhenti tepat di hadapan mereka dan begitu tahu si pemilik mobil tersebut ialah mantan kekasih suaminya.

'Hingga sekarang bahkan dia masih aja menginginkan suami orang. Tapi bentar-bentar kok sepertinya aku kayak pernah lihat mobil dan plat itu. Di mana, ya?' 

Lamunan Keisya seketika buyar kala pelayannya membisikkan sesuatu padanya. Hari masih pagi, kondisi tubuh Keisya sedikit kurang baik. Namun, sepertinya akan lebih baik bila mana ia mencecar mantan kekasih suaminya dengan beberapa pertanyaan yang ingin ia utarakan. Tentu Keisya menginginkan Jessica mengakui sesuatu.

"Eh sebentar. Kayaknya Kei inget sama mobil dan plat nomor itu kayak yang pas waktu di Bandara." Keisya mulai memancing emosi Jessica, "Jadi gini, waktu itu mau antar suami aku buat ke Bandara. Aku, kan, nggak mau ya suamiku pergi tanpa aku. Terus aku punya firasat kalau sesuatu bakal terjadi. Dan … pas kami jalan mau masuk pesan tiket, ada sebuah mobil yang persis banget kayak ntu di samping aku sekarang nabrak suami aku. Kayaknya maksud si pembunuh itu mau bunuh Kei, tapi salah sasaran."

"Hah, gimana, Kei? Bunuh, mobil? Maksudnya aku nggak paham." Madina menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.

Insting seorang istri terkadang ada benarnya, kadang pula salah. Akan tetapi, untuk perkara ini meski sadar di Indonesia memiliki berbagai macam bentuk, merek, warna dan juga memungkinkan mobil yang di dalam ponselnya tidak hanya satu, melainkan banyak di luaran sana yang punya.

Coba perhatikan pada plat mobilnya! Warna maupun merek bisa saja banyak. Namun, bagaimana dengan plat mobilnya yang hampir sama dengan gambar yang ada di ponselnya?

"Seorang perempuan yang baik, mereka tidak akan mengejar-ngejar pria lain bila mana perempuan itu sudah mendapatkan penolakan. Namun, mereka akan terus datang ketika perempuan itu merasa bersalah dan 'mungkin' cari si prianya untuk minta—-"

"Tutup mulut sampahmu, Kei!" umpat Jessica memotong ucapan gadis itu.

Ketika barang bukti sudah cukup ia dapatkan. Sedangkan, Madina dan Bi Ani menyaksikan mereka berdua yang tengah ribut, Keisya lagi kedatangan seseorang yang membuatnya semakin tak menyangka.

"Bos! Bos gimana, sih? Sudah saya bilang kalau mobil ini jangan dipake lagi, kalau ada orang yang tahu mobil ini pernah nabrak mantannya Bos gimana? Kita bisa-bisa jadi buronan loh, Bos," ucap si laki-laki berperawakan tinggi dengan kepala botaknya.

Bos? Nabrak mantan? Benarkah pelaku tabrakan yang ketika di Bandara itu merupakan ulahnya?

"Non kayaknya bener, deh. Feeling Bibi udah gak salah lagi, mereka pelakunya. Coba ingat-ingat lagi, rekaman cctv pas di depan halaman bandara pun pasti masih ada, kan?" 

"Ada, Bi. Cuma kalau untuk itu, Kei lupa nggak sempet minta. Kan, waktu itu Kei sama Kak Indra langsung dibawa ke rumah sakit," balas Keisya sembari berbisik.

Keisya dan Bi Ani masih saling berbisik satu sama lain. Sementara itu, Kei mendengar suara laki-laki berkepala botak, badan gembul merintih kesakitan.

"Bos, sakit!" protes laki-laki itu.

"Nggak diam juga lihat aja! Lo nggak akan dapat bayaran sepeserpun dari gue, ngerti," bisik Jessica, tetapi karena kelebihan Keisya memiliki indra pendengaran yang cukup peka, sehingga bisa mendengar percakapan Jessica meski pelan.

"Kayaknya Kei sudah cukup bukti untuk bisa laporkan kalian berdua ke polisi, gimana? Apa mau sekarang aja atau nunggu kalian jadi mayat?"

Hanya sebuah ancaman belaka. Akan tetapi, dari ancaman tersebut berujung pertengkaran yang hebat, sehingga menyebabkan Keisya tersungkur akibat dorongan yang dilakukan Jessica. Perempuan itu memerintahkan untuk menyelesaikan Keisya dan entah apa yang akan diperbuat si laki-laki plontos pada Keisya yang malang.

"Aarghh, Bi. Bi perut Kei sakit, Bi," rintih Keisya terus menerus begitu.

"Ya ampun, Kei. Keisya … Keisya kamu nggak apa-apa, kan? Kei?" 

"Woi! Kalau berani jangan sakiti cewek!" teriak seseorang memecah keheningan.

Rasa nyeri di bagian perut Keisya semakin tak dapat tertahankan. Angin berembus pelan. Mentari kian terik dan Keisya terus merintih tak kuasa menahan kesakitannya itu.

"Nggak jangan!" 

Madina berdiri di depan sahabatnya saat si laki-laki berkepala plontos hendak menendang Keisya yang meski sudah lemas dan tak berdaya itu. Perempuan berdarah Aceh itu merentangkan tangannya.

Dalam sekejap mereka bertiga menutup matanya. Hanya telinganya yang mendengar suara-suara seperti pukulan dan saling baku hantam. Entahlah. Yang jelas sekarang Keisya sama sekali tak memedulikan akan siapa dengan siapa bertengkar. Ia berharap mendapatkan pertolongan.

"Pergi, gak?! Pergi, woi!" usir seseorang.

"Lo salah bang***t! Lo salah udah ngusir gue, karena apa? Karena gue dan bos gue udah bikin suami dia mati! Hahahaha!" 

Si plontos nyatanya berhasil melarikan diri. "Madina! Sayang, ini aku. Suamimu?" Pemuda itu pun beralih ke tempat di mana Keisya tergeletak. "Kei! Keisya, bangun, Kei. Kei, ini saya Arken. Kei mohon bangun!" teriak seseorang yang menyebut dirinya sebagai Arken.

"Kak! Kak Arken, to-tolong Kakak tangkap orang tadi sama pe-perempuan yang namanya Jessica Mishell. Karena … karena … karena Kei yakin kedua orang itu udah bikin suami Kei masuk rumah sakit dan seka—-"

"Kei, Kei! Kei kamu sekarang jangan dulu mikrin soal mereka dulu. Biar saya sama Madina bawa kamu ke rumah sakit, ya. Kamu nggak usah mikir yang lain!" potong Arken.

Pemuda itu memerintahkan sang istri—Madina dan Bi Ani membawa Keisya ke mobil.

Sepanjang jalan pun Keisya terus meminta hal serupa pada Arken. Setiap kalimat yang terucap dari mulutnya tersebut, terselip kata-kata yang hampir saja menjadikan Arken menghentikan mobilnya secara mendadak.

"Kak Arken! Kayaknya … kayaknya percuma kalau seandainya Kei dibawa ke rumah sakit pun. Kei-Kei nggak sanggup lagi bertahan tanpa Kak Indra di sisi Kei, Kak! Jadi, jadi kayaknya Kei mending susul saja Kak Indra ke surga." 

"Astagfirullah, Kei. Kamu apa-apaan, sih? Nggak boleh dong, memangnya kamu udah nggak sayang sama anak kamu yang kamu kandung sama mami papi kamu?" protes Madina.

Arken menatap Bi Ani dari kaca spion di depan. "Bi Ani! Jujur saya tidak paham banget apa yang terjadi, sebulan kami nggak ketemu. Pas sekarang tahu-tahu kayak gini, apa yang sebenarnya terjadi, sih?" 

Tak ada jawaban sama sekali. Suasana malah terlihat semakin menegangkan ketika Keisya terus mengerang, menahan nyeri di bagian perutnya.

"Kak Arken! Kak, sebaiknya kamu cepetan deh bawa mobilnya. Kei kayaknya udah—'

Keadaan makin memburuk, kala Bi Ani mencoba membangunkan Nonanya. Lantas, apakah Keisya akan baik-baik saja dan juga kandungannya? "Non! Non Kei astaga, Non bangun! Non." 


After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang