"Perempuan macam apa, sih, yang tega merebut pacar perempuan lain? Apa lo nggak mikir kalau Indra masih mencintai gue?"
Keisya tak habis pikir pada ucapan Jessica. Kata-kata panggilannya bahkan menjadi 'lo-gue' dan ketika ia menoleh ke sekeliling, baru disadari keberadaannya bersama perempuan itu menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian mereka. 'Ya Allah. Hamba tidak ingin mereka berpikiran macam-macam mengenai hamba. Bagaimana caranya agar dapat mengusir dia, ya?' pikirnya.
"Selama ini gue cukup diam, ya, sama lo, perempuan sok alim dan manjanya gak ketulungan! Cuma … karena denger kalau Indra pergi ninggalin gue ke luar kota. Kayaknya gue bisa luapin amarah gue sama lo!" ketus Jessica lagi.
Jessica mengambil jus milik meja lain dan hendak menumpahkannya pada Keisya. Sayangnya, mamanya Keisya berhasil menghalangi putrinya sampai-sampai jus yang banyak sekali ditaruh es itu pun mengenai mamanya Keisya—Geisya. Wanita itu murka. Bukan murka lagi bahkan tanpa peduli melihat orang lain atau tatapan mereka aneh pada mamanya. Keisya menyaksikan mamanya menyeret paksa Jessica keluar.
"Aduh. Kenapa jadinya kayak gini, ya?" gumamnya.
Mama dan papanya sudah pergi lebih dahulu meninggalkan dirinya yang hanya melamun di dalam cafe. Karena merasa dirinya tak tenang. Alhasil, ia pun turut keluar mengikuti mama dan papanya. Tanpa perlu membayar tagihan karena sedari tadi baik ia maupun mama papanya belum memesan makanan.
Langkah kaki Keisya terhenti. Tatkala mama papanya mendorong Jessica seperti perempuan itu sesuatu yang menjijikkan saja.
"Mami sama Papi nggak boleh sampai kelewatan kayak gitu harusnya. Kei kudu bisa berhentiin mereka sebelum banyak orang yang melihatnya!" ucapnya memutuskan. "Mami!" teriak Keisya dari depan pintu cafe tersebut bersamaan dengan itu mereka menoleh. "Mami awas … Jessica mau pukul!"
Gegas gadis itu berlari secepat mungkin menggagalkan rencananya. Dan Tuhan telah melindungi mereka dengan mengirimkan seseorang yang rupanya orang tersebut merupakan mamanya perempuan itu.
"Mama nggak nyangka sama kamu, Jes! Pikiranmu ditaruh di mana, sih, sebenarnya sampai-sampai tega mau nyakitin orang?"
"Ma-ma?" Jessica melepaskan tongkat kayu yang ia temukan untuk digunakan dia memukul mamanya Keisya.
Keisya meminta izin kepada mereka untuk berpamitan. Keisya bukan malas meladeni celotehan perempuan itu yang ujungnya akan membawa namanya ke dalam pertengkaran antara anak dan ibu. Namun, kondisi perut Keisya yang makin hari makin membesar membuat sesekali Keisya muntah-muntah dan pandangannya tiba-tiba sedikit kabur.
"Sekarang boleh aja lu kabur, Woi! Tapi awas aja lain kali, kamu bakal saya bikin mati!" teriak Jessica dengan nada mengancam.
Keisya hendak berbalik, tetapi sang mama melarangnya. "Jangan terlalu dipikirkan omongan perempuan nggak laku itu, Sayang. Kita pulang aja, yuk? Lagian ini sudah mau sore. Kamu juga pasti kecapean."
"Makasih banyak sama Mami sama Papi juga, ya? Kalian selalu sedia rela lakuin apa aja demi Kei."
Mereka pun saling berpelukan. Di parkiran kala hendak memasuki mobil, bayangan di pikiran Keisya seketika tertuju pada suaminya. Indra. Lagi dan lagi di tengah terik mentari menjelang senja datang. Bulir-bulir air bening di wajahnya sudah siap membasahi pipinya yang makin chaby.
"Keisya, Sayang! Ayo?" ajak Geisya setengah berteriak.
"Iya, Mi!"
Di sepanjang jalan menuju pulang. Ia benar-benar merindukan sosok Indra di dekatnya. Indra yang selalu seperti ini dan Indra yang selalu seperti itu. Jika boleh mengeluarkan kata 'menyesal' maka ia akan menjadi orang pertama yang tentu pasti melakukan itu. Karena selama keberadaan Indra di dekatnya, Keisya selalu membuat pemuda itu tak nyaman.
"Kei! Di manapun kita dan seperti apa pun kondisi kita, perlu kamu tahu. Kalau aku … sungguh sangat menyayangimu dan mencintaimu. Selamanya," ungkap Indra kala itu.
"Ih. Kakak mah! Kek mau pergi jauh banget dan bakal ninggalin Kei lama. Jangan kaya gitu dong ngomongnya, napa!" protes Keisya.
"Kadang sifat manjamu ini yang selalu sulit buatku menjauh!"
'Kak! Kei tahu Kei memang manusia nggak pernah pandai bersyukur. Sudah punya suami tampan, pengusaha dan baik sepertimu masih aja selalu nyusahin Kakak. Kak! Apa Tuhan sedang menghukum Kei, ya? Sampai-sampai Kakak sama Kei dipisahkan kayak gini?' batinnya.
Tangisan Keisya tanpa disadari semakin kencang dan mami juga papinya refleks menghentikan mobil.
"Anak Mami! Hei, Sayang. Kamu kenapa, Nak?"
"Kei! Bilang sama kami, siapa yang bikin kamu nangis, hem? Apa gara-gara perempuan itu kamu jadi kepikiran dan nangis?" tambah papinya.
Keisya tak menjawab. Ia hanya diam dan mendengar kalau maminya meminta izin pada papinya untuk duduk di belakang.
"Ya udah, Mi. Boleh."
Wanita itu pun keluar dari mobil dan kembali masuk duduk di samping putrinya. Keisya memeluk maminya erat. Sedang, papinya kembali melajukan kendaraan menyusuri jalanan yang makin ramai sore ini.
"Kalau bisa misalkan ada sesuatu yang kamu pikiranmu, coba ceritakan sama Mami. Jangan sampai dibiarin yang ujungnya kamu jadi nangis begini. Mami paham, kalau kamu lagi kangen sama Nak Indra," ucapnya memberi petuah, "tapi kamu nggak boleh egois, Sayang. Nak Indra pergi pun bukan semata-mata karena tanpa alasan. Demi pekerjaan, oke?"
Sepertinya ada yang melupakan jika Keisya sedikit telah menceritakan soal Indra pada mereka. Apa lupa yang dialami mereka karena faktor U? Tapi rasanya tidak mungkin. Seingat Keisya mami papinya belum setua itu, sehingga mudah sekali untuk melupakan sesuatu.
"Iya, Nak. Apa yang Mami ucapin ada benarnya. Kami berdua siap sedia temani kamu kalau kamu merasa kesepian, Sayang. Selama suamimu nggak ada, gimana kalau kamu tidur di rumah? Pasti kangen masakan di rumah, kan? Sekalian si Mami jagain kamu!" sambung papinya.
'Makasih atas kasih sayang kalian, Mi, Pi. Cuma Kei bukan itu saja yang dirasakan, Kei mikirin sikap Kei yang banyak manjanya. Nggak pernah berubah sampai Tuhan mengambil Kak Indra dan mengirimnya ke luar negeri. Ah, semua emang Kei yang salah!'
Tak terasa lamunan Keisya yang sedari tadi dan juga nasihat-nasihat mami papinya diucapkan sepanjang jalan. Kini mereka sampai di perumahan dan bersiap melaju ke arah rumah gedong tingkat dua sebelah kanan.
"Keisya, Sayang! Kamu masih nggak mau bicara, ya?"
"Nak!" panggil papinya.
"Jujur Kei sekarang mengkhawatirkan kondisi Kak Indra yang entah apakah bisa ia selamat saat menjalani operasi di bagian kepalanya akibat benturan yang terjadi waktu itu? Mami, Pi! Keisya pengen banget temuin mereka, Mi? Keisya pengen susul Kak Indra!" erang gadis itu membuat mami papinya terkejut bukan main.
"Kenapa jadi luar negeri, Sayang? Bukannya Indra itu ke Surabaya untuk meeting sama client di sana?"
"Sebenarnya sebelum keberangkatan, Kak Indra sempat …."
KAMU SEDANG MEMBACA
After Wedding [ Revisi ]
RomancePernikahan adalah hal yang menakutkan menurut Keisya. Dengan alasan itulah, ia selalu menolak untuk berpacaran. Namun, saat memasuki dunia perkuliahan, bisnis keluarganya mengalami kebangkrutan. Tidak ada pilihan, kedua orang tua Keisya berniat menj...