Part 57. || Datang Saat Butuh

22 1 0
                                    


"Kamu tidak berhak meminta Indra berpisah dari Keisya, Vina! Atas dasar apa kamu menyuruh anakku seperti itu?" 

Semua terkejut menyaksikan sosok Samuel—Papa angkat Indra—mertua Keisya di tengah-tengah percakapan panas antara Keisya dan ibu mertuanya. Adanya Samuel di sisi Keisya dan Indra membuat kedua perempuan itu terdiam meski untuk sesaat. Mengetahui Samuel membelanya jemari Keisya menggenggam tangan sang suami. 

"Kasih sayang seorang Papa Angkat benar-benar sangat mulia, Sayang," bisik Keisya pada Indra. 

"Iya. Aku nggak nyangka Papa akan datang dan membelamu," balas Indra. 

Samuel berjalan mendekati Keisya dan Indra. Suasana di ruang tamu perlahan sunyi, tidak terdengar sekali suara gemuruh atau saling berbisik lainnya. Benar-benar diam. Hanya saling pandang, sesekali menunduk bagi sebagian yang tak mengerti dengan masalah terjadi. 

Laki-laki paruh baya itu mengeratkan genggaman putra angkatnya dan menantunya. Tersenyum, lalu mengalihkan pandangan ke arah dua perempuan yang dari segi usia jelas berbeda.

"Seorang Ibu nggak akan mungkin tega menginginkan anaknya meninggal. Iya, kan?" tanya Samuel, "terbuat dari apa sebenarnya hatimu, Vin? Di mana letak kesalahan anak kamu–Indra sampai-sampai kamu menginginkan dia tiada, tapi Tuhan menyelamatkannya dan sekarang kamu mau dia pisah dengan menantuku?" 

Vina—Ibu kandung Indra ini mulai memberanikan diri mengangkat wajahnya. Perlahan mendekat dan mendadak sebuah tamparan diterima oleh Samuel. 

"Silakan tampar aku sepuasmu, Vin. Tapi tolong jangan minta Indra untuk pisah dari Keisya!" Nada suaranya begitu bergetar saat mengucap kalimat itu, "kalau kamu tidak mampu mengurusnya, kamu tidak perlu khawatir. Biar aku menjaganya dan akan kurawat seperti anak kandungku sendiri!" 

"Nggak semudah itu, Mas! Dia …," Vina menunjuk ke arah Indra, "anakku. Darah dagingku, apa hak kamu memintaku menjauh, hah? Kamu itu hanya Papa angkatnya, Mas. Jadi aku yang berhak menentukan kebahagiaan dia. Bukan kamu! Dan lagi perempuan itu sama sekali tidak pantas bersanding dengan Indra. Kamu mengerti maksudku, kan, Mas?"

Keisya melihat Samuel—mertunya mengusap pipi–bekas tamparan dari ibunya sang suami. Ia terdiam dan hanya mampu menyaksikan perdebatan antara mertuanya tersebut. 

"Apa yang Papa Sam katakan benar, Ma!" seru Indra secara tib-tiba. "Cukup aku diam selama ini, cukup aku cuma menyaksikan perdebatan kalian tanpa mampu melawan. Sekarang dan mulai detik ini, aku—Trimo Indra Gunawan akan menuruti semua kemauan dan perintah Papa Sam. Semoga Mama mengerti dan mohon jangan sekali pun meminta aku berpisah dari istriku!" 

Ditariknya tangan Keisya oleh Indra dan entah akan dibawa ke mana perempuan muda, berhijab yang masih mengenakan pakaian tidurnya—dengan hijab instan sebagai penutup kepalanya. Keisya tidak berkomentar, melainkan ia mengikuti ke mana langkah suaminya membawa dia pergi. 

Samar-samar Keisya mendengar suara umpatan-umpatan—besar kemungkinan dari ibu mertua dan juga Jessica—perempuan yang hingga kini bersikukuh menginginkan Indra. Ia tidak dapat mendengar dengan jelas lantaran ia dan sang suami perlahan sudah meninggalkan rumah maminya Keisya. 

'Ya Allah. Kuatkanlah hati suami hamba-Mu ini, tabahkanlah hatinya, Ya Allah. Hamba tidak tega melihat dia yang tampak seperti ingin meluapkan segala kekesalannya, tetapi hamba melihat dia mencoba menahannya,' batin Keisya lirih.

Ketika sampai di luar—di dekat mobil milik Indra—yang terparkir di garasi. Tangan Keisya dilepas dan ia menemukan suaminya mengusap wajah, kemudian membuang napasnya kasar. 

"Kamu pasti kepikiran soal Mama mertua sama Papa Sam, ya?" tanya Keisya. 

"Iya, Sayang. Satu sisi aku senang Papa membelaku, tapi sisi lain lihat Mama kayak gitu, aku malu." 

"Malu? Kenapa malu?" Keisya memberanikan diri bertanya lagi. 

Yang ditanya tidak menanggapi. 

"Kamu malu kenapa, Sayang?" 

Indra mengalihkan topik percakapannya dengan berpura-pura seakan-akan tidak terjadi sesuatu atau pun ia tidak mengatakan kalimat itu. "Nggak apa-apa. Lupain aja, Sayang! Mending sekarang kita pulang ke rumah kita, ya? Kita istirahat di sana, yuk?" ajak Indra.

Ia memang ingin segera pulang dari rumah itu, melupakan segala hal yang terjadi beberapa menit lalu. Namun, tidak semudah itu Keisya diajak dan ia tidak bergerak sama sekali tatkala dirinya ditarik oleh Indra. 

"Kei mau suami Kei jujur. Kei mau bicara hem … berbagai keluh kesahmu sama istrimu sendiri, Sayang. Apa nggak bisa? Dan yakin pasti sesuatu yang ada di benakmulah yang membuatmu sekarang jadi sedikit-sedikit emosi, sedikit-sedikit geram, tapi ujungnya bilang nggak apa-apa. Kan jadi kesannya nggak jelas banget," pintanya. 

Indra menarik napasnya pelan, kemudia mengembuskan napasnya kasar. Pemuda tinggi berlesung pipi itu menggenggam erat kedua tangan Keisya. Terik mentari di pagi menjelang siang tidak mengubah pendirian mereka untuk enyah dari tempat itu.

"Maafin aku, Sayang. Bukannya nggak mau cerita, cuma aku malu … nanti kamu ledekin aku karena ngeluh punya Mama seperti Mama Vina gimana?" ujarnya seraya menunduk. 

"Apa? Jadi malunya karena itu, Sayang? Ya ampun, suami Kei yang paling ganteng ini ternyata punya malu juga," ejek Keisya sembari menahan senyumnya, "seorang istri yang baik itu tidak akan mengejek atau mengata-ngatai istrinya loh. Lagian nggak ada untungnya Kei ledek suami sendiri." 

Indra mendekap istrinya. Keisya pun membalasnya. 

"Makasih, Sayang. Kamu memang istri terbaik, maaf banget kalau aku belum bisa kasih kebahagiaan buat kamu. Aku janji walaupun Mama memintaku pisah sama kamu, aku nggak akan sekali pun mau," ujarnya. 

"Kei percaya kok, lagian ini ujian buat pernikahan kita juga. Allah sedang menguji pernikahan kita. Seberapa kuatkah, seberapa mampukah kita mempertahankan pernikahan ini di kala badai datang bertubi-tubi? Iya, kan?" 

Indra mengangguk. "Iya, Sayang. Makasih, ya, kamu selalu mengerti." 

"Kan kamu juga yang ngajarin Kei untuk bersikap bijak dan berpikir dewasa." 

"Mama minta kamu sama dia pisah, Indra! Mama mau bawa kamu pergi dari kota ini untuk ketemu Papa kandungmu." 

Suara itu mengubah suasana menjadi semakin menegangkan. Keisya dan Indra menoleh ke belakang di mana wanita—mertuanya bagi Keisya tengah berdiri dengan tatapan mata tajamnya. Diikuti oleh teman-teman Keisya dan juga mami papinya serta Samuel.

"Nggak akan!" tolak Indra. 

"Hei! Anak macam apa kamu ini, hah? Kamu … susah payah aku lahirkan, tapi besarmu malah membangkang gini. Ini pasti ajaran dari Papa angkatmu." Wanita itu menuduh Samuel. 

Indra dan Vina saling berhadapan. "Berkaca pada cermin, Ma. Mengapa dan siapa orang yang telah membuat Indra seperti ini. Harusnya Mama sadar yang dilakuin Mama salah besar. Mama tiba-tiba datang, lalu menabrak anak sendiri. Kemudian datang lagi dan meminta aku pisah sama istriku? Ma! Keadaan seperti inilah yang bikin aku males punya Mama kayak Mama Vina." 

Sebelum tamparan dari mertuanya dilakukan, Keisya lebih dulu menghalangi Indra dan alhasil Keisya yang terkena.

"Aaargh!" erang Keisya menahan perih di pipinya. 

"Vina! Kamu keterlaluan, ikut aku sekarang!" ajak Samuel. 

"Ke mana, Mas? Mas Sam! Mas mau bawa aku ke mana?" 


Bersambung

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang