Walau telah melewati berbagai macam tragedi atau pun ujian dalam sehari tadi, hal itu tidak membuat Keisya dan Indra terpisahkan. Meski pada kenyataannya maminya mendadak berubah sinis pada sang suami pasca dirinya mengalami keguguran. Malam ini tepatnya di malam minggu saat jam sudah bergulir dan berada di angka satu malam. Keisya dan Indra masih terjaga.
"Setelah kejadian ini apa kamu nggak benci atau menyalahkanku, Sayang?"
Kalimat itu tiba-tiba membuat degup jantung Keisya seakan berhenti sesaat. Malam yang romantis dengan di hiasi oleh pernak-pernik seadanya dan rencana awal Keisya meminta Bi Ani menghias sedikit kamarnya untuk melepaskan segala penat di kepalanya, melupakan segala kejadian di siang hari. Namun, nyatanya Indra mengungkitnya lagi hingga pada akhirnya Keisya terpaksa menjawab.
Kenangan sekaligus kebahagiaan pertama kali mendapatkan kabar bahwa dirinya tengah berbadan dua merupakan suatu anugerah dari yang maha kuasa untuknya dan sang suami. Sayangnya lagi dan lagi hanya tinggal kenangan. Entah kapan lagi Tuhan akan memberikan kepercayaan kepadanya untuk menjaga titipan dari-Nya.
"Kayaknya nggak ada gunanya Kei benci sama suami sendiri, bukankah kamu juga udah tahu bagaimana Kei?" Keisya bertanya balik, "Kei rasanya nggak pantas kayak gitu. Hem … kita serahkan saja semuanya sama yang di atas, insya allah kalau rezeki kan nggak akan ke mana. Pasti Allah sedang mempersiapkan bayi kembar seperti apa yang kamu harapkan," lanjut Keisya sembari mengulas senyum manisnya.
"Terus soal kamu yang tahu tujuan mami kamu nikahin kamu dari siapa?"
Angin berembus menerpa keheningan. Keisya menggosok-gosokkan tangannya, kemudian mengusapkannya dari pundak sampai pergelangan. Entah dari mana tiba-tiba embusan angin hadir begitu saja padahal semua jendela tertutup rapat.
Keisya menyapu pandangan. Ia mencari-cari dari mana angin datangnya. Ia benar-benar menggigil, meski selimut tebal telah menutupi tubuhnya.
"Kamu kedinginan? Perasan anget deh, AC nggak dinyalakan sama sekali. Pintu sama jendela nutup. Kenapa sih?"
'Ah elah punya suami nggak peka juga. Uh ckkk,' gerutu Keisya dalam hati.
"Nggak tahu, Suamiku. Kayaknya jendela masih ada yang kebuka deh, buktinya ini Kei kedinginan," Keisya mengelak.
Ia membuang napasnya kasar, kemudian menurunkan kedua tangannya, lalu merebahkan tubuhnya membelakangi sang suami tatkala menemukan Indra yang mana pemuda tinggi, manis dengan lesung pipinya berdiri mencari dari mana datangnya angin menyebabkan sang istri kedinginan.
Sesekali Keisya mengintip dari balik selimut. Indra menyusuri setiap jendela memastikan semua baik-baik saja, begitupun dengan pintu yang telah terkunci rapat.
'Suamiku, ya ampun. Padahal bukan itu yang Kei maksud loh, peka dikit dong, Sayang. Astagfirullah, Ya Allah. Ada, ya, suami kayak gini? Tapi … meskipun dia kagak pernah peka, Kei sayang sama dia. Kei rasanya beruntung punya suami seperti Indra. Nak! Kamu yang tenang di sana, ya. Doakan Mama, Sayang, semoga bisa segera dikaruniai anak lagi, ya. Mama juga di sini akan jaga Papa selalu, Mama pasti bakal tetep senyum, walau rasanya sakit banget kehilangan kamu.'
"Jendela sama pintu semua udah tertutup rapat, Sayang. Nggak ada tuh angin, yang ada gerah tahu, AC-nya nggak dinyalain. Iya, gak?"
Suara Indra berhasil membuyarkan lamunannya. Ia membuka selimut dan kembali duduk sembari bersandar.
"Maksudnya itu bukan ada angin beneran, Sayang. Kei itu maksudnya … hem … itu a-anu, pengen di i-itu. Ihh, au ah masa kamu nggak peka sih?" protes Keisya, kemudian menarik selimutnya, "Ya udahlah. Udah malem juga mending tidur aja!"
Keesokan harinya …
Sinar mentari menyilaukan membuat Keisya terpaksa membuka mata sembari mengucek-ngucek. Ia menguap berkali-kali. Setelahnya ia meraba-raba ke samping, tetapi nahasnya tidak menemukan apa yang dicari.
'Kenapa nggak ada, ya? Apa jangan-jangan dia udah … nggak-nggak. Masa iya dia pergi ninggalin Keisya duluan? Kayaknya nggak mungkin,' batinnya gusar.
"Aaarghhh, Kak Indra!" teriaknya memecah keheningan.
Teriakannya berhasil membuat seluruh penghuni rumah panik dan sama-sama menemui Keisya di dalam kamar. Mulai dari kedua orang tua hingga pelayannya. Mereka mendatangi putrinya.
"Ya ampun, Sayang. Kamu kenapa pagi-pagi begini teriak-teriak segala? Bikin kaget aja," komentar sang papa.
"Anak Mami, Sayang!" Geisya duduk di tepi ranjang sambil mengusap puncak kepalanya, "cerita sama Mami, yuk? Apa yang bikin kamu jadi seperti ini? Bangun-bangun teriak, kami kaget loh," lanjut wanita itu.
Namun, Keisya malah menjauh dari maminya. Seakan tak ingin didekati Geisya. Ia mengalihkan pandangan menatap Bi Ani—pelayan rumahnya—di rumah pribadi Indra.
"Bi. Suami Kei ke mana, ya? Apa dia udah pulang duluan atau dia berangkat kerja?" tanyanya.
"Sayang! Kamu jutek banget sama Mami sendiri, pertanyaan Papi pun kamu abaikan. Kami salah apa sama kamu, Nak?" Geisya memberanikan diri membuka suara.
"Nggak. Siapa yang jutek, Kei cuma kesel aja sama Mami, Papi juga. Ngapain kalian pake nyalahin suami Kei segala. Jelas-jelas Kei keguguran bukan karena dia," jawabnya sinis.
Keisya menunduk. Ia sama sekali tak menoleh kepada mami atau papinya. Akan tetapi, beberapa lama kemudian samar-samar mendengar suara derap langkah dari luar.
'Siapa yang datang, ya?' batinnya. Semakin ia menanti ia makin penasaran. Rasanya langkah kaki orang tersebut terasa lambat, sehingga membuatnya harus menunggu sampai terlihat batang hidungnya.
Ada apa dengan hari ini?
Mengapa raut wajah orang-orang terlihat berbeda dan bahkan semua teman-teman dekat Keisya mengunjunginya ke rumah, sekarang mereka berkumpul dan berada di dalam ruangan super besar. 'Apa Kei mimpi lagi? Kayak waktu pertama kali serumah sama suami, sebelumnya, kan, sempat kek mimpiin kejadian pertama kali Mami sama Papi suruh nikah. Tapi nyatanya mereka suruh Kei nikah, kejadiannya sudah seminggu lalu. Kei ada di kamar suami,' batinnya.
Tidak hanya teman-teman satu angkatannya ketika di kampus, atau pun dulu saat remaja. Suaminya Madina—sahabatnya pun turut serta hadur di tengah-tengah mereka.
"Selamat pagi, Keisya Shakira Jasmine," sapa Madina, memanggil nama Keisya lengkap.
"Halo, Keisya Shakira. Keep smile," sambung Arken.
"Morning, Bestie-ku ter-cute," sapa anak-anak yang lain bersama-sama.
Satu per satu mereka menyapanya. Keisya tak tahu mengapa mereka pun sama-sama ada di sana. Apa yang menyebabkan mereka sampai datang sepagi ini membawa sesuatu di tangannya. Ia menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Ia menyingkirkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan turun dari atas ranjang kala menemukan suaminya.
"Sayang!" Keisya memeluk Indra, "Jahat banget nggak bangunin Kei, kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa, memangnya kenapa?" balas Indra.
"Ah kamu gitu mulu. Dari semalam nyebelin ih," protes Keisya.
"Ciee … ciee … yang udah nikah mah bebas, ya ngapain aja?" goda Angel–Kakak tingkatnya.
"Ini apaan sih kok pada ada mereka segala, Kak?" tanya Keisya pada Indra.
"Kasih tahu nggak, ya? Kayaknya nggak deh, soalnya kamu juga semalam nggak jawab tuh pertanyaanku."
"Kak! Kasih tahu, apa?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
After Wedding [ Revisi ]
RomancePernikahan adalah hal yang menakutkan menurut Keisya. Dengan alasan itulah, ia selalu menolak untuk berpacaran. Namun, saat memasuki dunia perkuliahan, bisnis keluarganya mengalami kebangkrutan. Tidak ada pilihan, kedua orang tua Keisya berniat menj...