"Masih mau nyalahin suami Kei lagi?"
Nada suara Keisya terdengar penuh penekanan ketika mengucapkan kalimat pertanyaan yang ditujukan untuk maminya. Keisya dan sang suami juga maminya tiba di rumah pukul 22.20 WIB. Perempuan itu digendong oleh Indra hingga tiba di sofa. Mereka bertiga duduk bersama-sama, tetapi selang beberapa lama kemudian Wilan datang dengan raut wajah pria bermata empat itu sulit diartikan.
Antara menahan amarah, panik semua bercampur menjadi satu. Namun, itu pun hanya perasaan Keisya saja. Benar atau tidaknya, Keisya hanya menerka-nerka.
"Kalian baru pulang? Seharian ini dari mana aja, sih, ditelepon juga susah. Bentar-bentar Papi lihat kenapa perut anak kita datar, ya, Mi? Bukannya dia lagi mengandung cucu kita? Sayang, apa yang terjadi, Nak?"
Empat pertanyaan terucap langsung dari bibir Willan—papinya yang baru saja pulang dari kantor. Sejenak Keisya terdiam sesaat, bayang-bayang akan buah hatinya Keisya terus saja menghantui hati dan pikirannya. Hal itu membuat bulir air mata kembali menetes membasahi pipinya.
Sebagai suami Indra dengan sigap berusaha menenangkan hati istrinya. Indra mengusap sisa-sisa bulir bening itu dan mendekap Keisya, perempuan itu pun membalas dekapan Indra.
"Kamu yang sabar, ya, Sayang. Maafin aku kalau selama ini aku nggak becus jagain kamu, aku bikin kamu kehilangan anak ki—"
Keisya melepaskan pelukannya, ia menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Indra. "Jangan pernah kamu bilang gitu, Sayang! Anak kita meninggal bukan gara-gara kamu, justru Kei sangat-sangat berterima kasih sama suami Kei yang tampan sedunia karena udah mau terima kondisi Kei, yang manja, banyak tingkah dan selalu buat kamu kerepotan. Maafin Kei, ya, Sayang," ucapnya lirih sembari menunjukkan senyum yang tampaknya dipaksakan.
"Apa? Jadi bayi yang kamu kandung mengalami keguguran, Kei? Tapi kenapa, apa alasannya?" sela Willan di tengah-tengah percakapan antara Keisya dan Indra.
Perih hati rasanya harus mengulang jawaban yang sama mengingat belum 1×24 jam Keisya mendapatkan musibah itu. Meski terbersit dalam hatinya untuk menguak siapa pelaku yang telah memasukkan racun ke dalam minumannya, sehingga ia berhasil meminumnya. Namun, hal itu hanya akan membuat kondisi Keisya teringat buah hatinya.
Keisya menoleh ke arah suaminya. Ia menjawab setiap pertanyaan yang terucap dari papinya.
"Jadi kurang lebih seperti itu, Pi. Ya udah ini udah malem, Keisya pengen ke atas, Pi. Kei capek, Kei pengen istirahat," katanya, " … oh iya besok kemungkinan Kei sama suami Kei pindah ke rumah kami sama Bi Ani juga. Kami akan tinggal lagi di sana, di sini Mami nyebelin, Pi. Masa iya Mami tega banget pake nuduh mantu sendiri, Kei bakal balik kalau Mami nggak nuduh Indra lagi."
Keisya mengulurkan tangannya pada Indra, tetapi sebelum keduanya memutuskan untuk kembali ke kamar. Mendengar suara maminya—-Geisya menjadikan Keisya menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke belakang.
"Mami bukannya nuduh kayak gitu sama Indra, Pi. Cuma fakta membuktikan kalau dia emang nggak becus jagain anak kita, dia juga tadi sempet narik-narik Keisya sampai dia kecapean, apa salah Mam—-"
"Sudah cukup, Mami! Berhenti Mami salahin Indra, salahin suami Keisya. Mami harusnya tahu dan paham apa yang udah Dokter Mega katakan tadi. Kenapa Mami masih kekeh aja nyalahin Indra, sih?" Suara Keisya makin meninggi tatkala suaminya mendapatkan tuduhan yang jelas-jelas dokter sudah menjelaskan penyebab mengapa janinnya keguguran, " Kei heran sama Mami, Kei baru inget juga kalau ide atau kek rencana perjodohan Kei waktu itu semua Mami yang bilang, kan?"
Keisya membuang napasnya kasar, "Di depan Papa Sam itu kek Mami bilang ke dia kalau perusahaan kalian mengalami bangkrut, butuh suntikan dana dan segala macam alasan yang Mami yang gimana supaya lawan Mami percaya. Hingga akhirnya kalian ketemu sama Papa Sam membantu memberikan dana supaya perusahaan kalian nggak bangkrut dan jatuh miskin, kan? Tapi seminggu setelah itu kalian bilang kalau sebenarnya kalian sudan lama menginginkan anaknya Papa Sam buat Keisya, kan? Mami kemarin-kemarin baik, sekarang?"
Ungkapan itu menjadikan seorang Geisya terlihat panik. Rona wajahnya memerah, pandangannya yang tak lagi menatap Keisya, serta jari jemarinya yang gemetar seperti itu menambah keyakinan Keisya jika apa yang ia katakan beberapa menit lalu benar adanya.
"Dari mana kamu tahu semua itu, Kei? Mami bahkan Papi mungkin nggak bilang sama kamu, iya, kan, Pi?" tanya Geisya pada Willan, "Papi?"
"Nggak usah mendesak Papi, Mi. Keisya udah tahu semuanya kok, Keisya sadar di usia Kei segini masih aja manja dan suka nyusahin kalian. Makanya kalian nikahin Kei dadakan, kan? Ya udah cuma itu doang, makasih, selamat malam!" pamit Keisya, kemudian dia menggandeng tangan suaminya.
Selangkah dua langkah Keisya terhenti. Ia seperti masih merasakan nyeri pada bagian terpenting dalam hidupnya. Ia melirik pada Indra, semenit setelahnya pemuda itu menggendongnya.
"Argh, Sayang. Kamu … turunin ah nggak mau," protes Keisya seraya memukul-mukul punggung Indra pelan. "Turunin ah, Kak Indra! Malu, Kei bisa jalan sendiri kok."
"Bilang 'Kak' sekali lagi aku cium di sini mau?"
Keisya memejamkan matanya. Akan tetapi, Indra tersenyum sembari menggeleng.
"Udah jangan protes lagi, ini udah malem waktunya istirahat. Semoga kelak kita dikarunia buah hati lagi sama Allah, ya, mungkin bisa jadi kembar. Mau gak punya anak kembar?"
"Caranya gimana?" Pertanyaan Keisya benar-benar mengundang gelak tawa.
"Emang dasar kamu ini, hem … polos banget sih jadi orang?"
"Hehehe."
Baru saja Indra menaiki anak tangga yang keenam, tiba-tiba dari bawah Geisya memintanya untuk berhenti. Namun, Indra tak melepaskan Keisya dari gendongannya. Indra turun menemui mertuanya, tetapi Keisya meminta sang suami untuk melanjutkan langkahnya usah mendekati maminya.
"Nggak baik menanggapi ucapan seseorang jauh-jauhan, Kei, apa lagi itu Mami kamu. Mami aku juga," ujarnya pada Keisya.
"Mami Kei udah nuduh kamu, Kak. Masih aja mau dibaikin, terbuat dari apa sih hatinya Trimo Indra Gunawan ini? Kok baik banget gitu?"
"Ckkk, Keisya-Keisya. Makin kamu ngoceh aku makin …."
"Makin apa?"
"Ssstttt diem. Nanti pas di kamar aja aku kasih tahu sama kamu, di sini banyak orang."
"Apa sih suamiku?" pinta Keisya sembari merajuk.
Keisya, Indra dan Geisya sekarang berhadap-hadapan. Jarak antara mereka hanya terpaut beberapa langkah saja. Keisya yang masih digendong Indra tak menoleh sama sekali. Ia membiarkan sang suami melakukan apa saja yang menurutnya ingin dilakukan.
"Kei! Mami nggak ada maksud buat bohongin kamu, Mami nggak ada maksud buat nggak suka sama sikapmu yang manja, Mami—"
"Lupain aja, Mi. Mami begitu cuma pengen Kei nggak pergi, kan, nggak marah lagi sama Mami?" tanyanya, "Coba lihat sekarang! Lihat sama Mami, bagaimana sosok menantu Mami ini? Kalau dia memang punya niatan jahat buat bunuh janin yang Kei kandung, mungkin pas pertama kali Keisya diketahui hamil, dia pasti akan lakuin sesuatu. Tapi sekarang buktinya apa?"
"Kei! Ma-Mami tahu Ma—"
~ Bersambung ~
KAMU SEDANG MEMBACA
After Wedding [ Revisi ]
RomansaPernikahan adalah hal yang menakutkan menurut Keisya. Dengan alasan itulah, ia selalu menolak untuk berpacaran. Namun, saat memasuki dunia perkuliahan, bisnis keluarganya mengalami kebangkrutan. Tidak ada pilihan, kedua orang tua Keisya berniat menj...