~ Selamat Membaca ~
"Kamu udah besar makin cantik aja, ya, Kei," puji Zhico, "aku masih inget pas dulu kamu masih kecil. Kamu anaknya super manja, dari sekian laki-laki di dunia ini sepertinya cuma aku yang memiliki kesempatan dekat denganmu. Tapi itu pun hanya beberapa tahun, sih, ya? Sebelum kalian memutuskan untuk pergi ke Jakarta?"
Indra berdeham, tetapi sayangnya Keisya sepertinya tidak menyadari akan kode yang diberikan sang suami untuknya.
"Rupanya kamu masih ingat, Cho? Tapi meskipun Kei udah gede kayak begini, tetep aja suka manja, kayaknya sulit buat Kei nggak nyusahin orang. Btw, kamu masih tinggal di Cigondewah, kan?"
Pertanyaan tersebut diiyakan oleh lawan bicaranya. Keisya yang semula hendak menjauh dan melupakan seseorang di masa lalunya, tetapi ketika keduanya sudah dipertemukan dan berbincang berdua sampai-sampai melupakan keberadaan sang suami di sampingnya. Raut wajah Keisya dipenuhi oleh senyum yang merekah serta sesekali perempuan itu tertawa terbahak-bahak tatkala Zhico menggodanya.
Bagi Keisya perjalanan kali ini terasa sangat menyenangkan. Meski pada awalnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Hanya makan di sebuah rumah makan sederhana sembari menikmati waktu malam bersama teman kecilnya dulu.
Kali kedua Indra memberikan kode pada Keisya, perempuan itu tampaknya larut dalam canda serta tawanya. Percakapan hangat itu menjadikan Indra berubah 180°.
"Kamu di sini masih lama nggak, Kei? Hem … bisa dong lain kali kita jalan berdua, sembari mengenang masa kecil kita gitu. Kapan lagi, kan, ngobr—-"
"Dia sudah punya suami, maaf kalau mau ngajak jalan tolong bicarakan dulu dengan saya. Bisa?" potong Indra.
"Sayang! Kok kamu gitu?" tanya Keisya.
Tidak peduli dengan apa dan bagaimana Keisya. Detik itu juga Indra menarik tangan istrinya, tetapi sebelum memutuskan pergi dia menaruh sejumlah uang di atas meja untuk menbayar makanan penutup yang sempat dimakan oleh sang istri. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB, Indra tidak melepaskan genggamannya sama sekali sebelum keduanya tiba di dalam rumah.
Selain menarik Keisya dari dalam rumah makan tersebut hingga ke parkiran, Indra memaksa sang istri untuk gegas memasuki mobil. Bahkan sepanjang jalan menuju tempat penginapan Indra tidak berbicara sedikit pun.
"Kei heran sama Kak Indra. Seharian ini Kak Indra diem mulu, kenapa sih? Ada masalah? Apa lagi pas tadi ketemu sama Zhico, Kak Indra kayaknya nggak suka sama dia?
Satu pertanyaan berhasil keluar dari mulutnya, tetapi tidak mendapatkan jawaban sama sekali.
"Kak Indra!" panggil Keisya.
Untuk pertama kali setelah beberapa minggu ke belakang ini Keisya kembali memanggil suami sendiri dengan sebutan 'Kak' seperti saat pertama kali bertemu dan di awal mula pernikahan mereka. Rona wajah Indra sedikit dingin malam ini.
"Kak Indra! Kenapa sih gitu banget sama Kei? Kei dari tadi nyerocos terus nggak didengerin, ya? Kak Indra!" Nada suara Keisya mulai meninggi.
Entah untuk ke berapa kalinya lagi Indra tetap melakukan hal serupa pada Keisya. Bahkan hingga tiba di tempat penginapan pun bibir Indra seakan dilapisi lem perekat permanen, sehingga untuk berbicara satu kata pun nyatanya tak mampu.
Indra mempersilakan Keisya tidur di atas ranjang, sedangkan dirinya hanya di sofa tanpa selimut maupun guling atau sekedar satu bantal pun tidak.
"Kei nggak akan pernah bisa tidur kalau Kak Indra nggak mau bicara," protes Keisya sembari bibirnya mengerucut.
"Jangan buang-buang tenagamu, cepat tidur! Esok kita pulang ke Jakarta!" titahnya, kemudian Indra menghadap ke arah kanan dan membelakangi Keisya.
"A-apa? Kenapa secepat itu kembali ke Jakarta, sih, Kak? Bukannya kita akan lebih lama di Bandung, lagian Keisya belum menjajaki daerah yang lainnya. Kak Indra mah nyebelin banget jadi orang!" Keisya benar-benar tidak terima.
Di sisi lain ketika Keisya masih menggerutu hingga larut malam. Indra pun sebisa mungkin memejamkan matanya. Sayang, usahanya tersebut harus sia-sia lantaran suara Keisya yang cukup keras membuatnya sulit beristirahat.
Indra mengembuskan napasnya kasar. Dia berbalik menghadap ke arah istrinya, berusaha bangun dan berdiri di samping tempat tidur.
"Memangnya baik seorang istri berbicara terlalu akrab dengan laki-laki lain? Bukankah dulu kamu dikenal anti laki-laki bahkan untuk didekati pun sulit?" tanya Indra sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana tidurnya, "katakan sekarang! Apa kamu memiliki hubungan di masa lalu dengannya, sehingga—"
"Apa Kak Indra marah gara-gara Kei mendiamkan Kak Indra tadi?" Perempuan itu malah memotong kalimatnya, "Kak, jawab dong!"
"Dan panggilanmu bukan lagi suamiku atau sayang, kau memanggilku kembali dengan sebutan Kakak. Apa itu ada hubungannya dengan laki-laki itu?"
Terlihat Keisya menyingkirkan selimut tebalnya. Perempuan berstatus istri seorang Trimo Indra Gunawan kini sudah berdiri menghadap suaminya.
"Kei tahu apa yang sedang Kak Indra rasain sekarang, tapi apa gara-gara Zhico jadi ngambek kayak gini? Ayolah, dia cuma teman baik aja. Tadi Zhico cuma bercanda doang, tegur sapa. Nggak ada yang lain."
"Nggak ada yang lain?" Indra bertanya, lalu diikuti anggukan oleh Keisya, "lalu apa maksud dia yang tadi ngajak kamu jalan berdua. Seakan-akan dia nggak menghargaiku sebagai suamimu. Paham gak, sih, kamu?"
Sekuat tenaga Indra menahan sesuatu di dalam hatinya. Pada kenyataannya seorang Indra tidak mampu menahannya, amarah yang sejak beberapa jam lalu coba dipendam dan tersimpan rapat dalam hatinya sekarang dia luapkan pada istrinya.
"Kenapa diem?"
"Nggak ada. Cuma … Kei lagi mikir kalau suami Kei yang paling ganteng sedunia ini lagi ngerasain sesuatu yang dulu sempat Kei rasain waktu dia bersama mantan kekasihnya."
Indra menarik napansya dalam-dalam, "Lalu?"
"Iya-iya. Suami Kei ini pasti lagi cemburu, ya, sampai semarah ini? Biasanya nggak pernah tuh kayak gini, yang ada Kei suka marah-marah nggak jelas sama Kak Indra. Bener, kan, Kak Indra marah gini gara-gara cemburu?" Keisya menebak-nebak.
"Kalau salah bagaimana? Mau kamu terima hukumannya?"
Hukuman? Hukuman apa yang akan diberikan olehnya?
"Nggak mungkinlah. Tebakan Kei nggak akan mungkin salah dan tentunya pasti sangat benar!" Keisya sok percaya diri.
Alhasil, di menit ke dua puluh tiba-tiba Indra mendorong sang istri hingga Keisya terbaring di atas ranjang. Perlahan langkah kaki Indra mendekat dengan tatapan mata tajamnya, sementara raut wajah Keisya memerah, tetapi bola matanya memejam dan tangan di lipat di depan dada.
Semakin Indra maju mendekati sang istri, bola mata Keisya menutup rapat-rapat.
'Dasar bocah!' umpatnya dalam hati.
"Plis, Kak Indra. Jangan sakitin, Kei! Kalau Kak Indra mau marah gara-gara Kei terlalu akrab tadi sama Zhico, marah aja. Tapi jangan sampai bikin Kei mati mendadak di si … kenapa rasanya kening Kei hangat, ya?"
Tiba-tiba Kei berteriak dan Indra semakin menjadi.
~ Bersambung ~
KAMU SEDANG MEMBACA
After Wedding [ Revisi ]
RomancePernikahan adalah hal yang menakutkan menurut Keisya. Dengan alasan itulah, ia selalu menolak untuk berpacaran. Namun, saat memasuki dunia perkuliahan, bisnis keluarganya mengalami kebangkrutan. Tidak ada pilihan, kedua orang tua Keisya berniat menj...