Part 36. || Salah Tempat

21 4 0
                                    


Seorang perempuan berhijab tengah mengusap-ngusap perutnya di salah satu sebuah cafe terfavorit di Jakarta. Bukan cafe Love Story milik salah satu pengusaha muda bernama Trimo Indra Gunawan. Akan tetapi, cafe lain yang letaknya di dekat sebuah perkantoran. Perempuan itu tampak seperti tengah menunggu seseorang, sesekali pandangannya mengarah pada jam di tangannya. Lalu, ia menelusuri setiap pengunjung dengan harapan bisa menemukan seseorang yang tengah ditungguinya. 

Entah sampai kapan ia terus menunggu seperti ini. Akan tetapi, sejenak pikirannya melayang membayangkan malam ketika di mana sang suami meminta izin untuk pergi ke luar kota demi urusan pekerjaannya. Ingatan tersebut membuat perempuan itu kembali menitikkan air matanya. 

"Sayang!" panggil sang suami, kemudian saat itu ia menoleh tatkala sedang menulis sesuatu di buku diary miliknya kala berkunjung ke rumah sang mami. "Sejujurnya … aku benar-benar sangat menyayangimu. Aku tak ingin berpisah darimu, meski untuk sejam aja. Tapi … aku harus sampaikan ini sama kamu, kalau besok aku akan pergi ke luar kota untuk pekerjaanku. Entah kapan pulangnya, tapi kamu doakan aku, ya!" 

"Baru aja kita berantem soal mantan pacar Kakak, secepat itukah Kakak akan pergi ninggalin aku? Kakak marah sama aku sampai Kakak mutusin mau pergi?" tanyanya.

Bulir-bulir air mata tampaknya tak ingin berhenti menetes dari matanya. Perempuan itu seperti orang yang kehilangan akal. Duduk berjam-jam di sana tanpa ditemani secangkir teh atau minuman lainnya bahkan makanan ringan sekali pun. 

"Nggak! Aku nggak marah sama kamu, Sayang. Sulit bagiku untuk bisa marah sama kamu, tapi untuk urusan pekerjaan dan nggak bisa ditunda-tunda lagi. Jadi, aku terpaksa meninggalkanmu di Jakarta sendirian. Maafin aku, ya! Maaf karena nggak bisa buat tepati janji untuk jaga kamu terus, maaf karena mungkin kamu dan anak kita bakalan lama ketemu aku lagi."

'Ya Tuhan. Bisakah kau mengulang masa itu sekali lagi untukku? Aku tidak tahan jika harus hidup tanpanya. Aku benar-benar nggak bisa! Aku … hanya perempuan manja yang nggak bisa buat suami bahagia. Ya Tuhan! Kembalikanlah dia untuk hamba, anak ini butuh figur seorang ayah. Sedangkan aku … bagaimana jika nantinya anak ini lahir dan tahu kalau ayahnya tiada?' 

Lamunannya harus terhenti kala seseorang memanggilnya. Ia secepatnya menghapus sisa-sisa bulir air mata yang sejak tadi enggan untuk berhenti. Ia membenarkan posisi duduknya supaya terlihat nyaman. 

"Keisya! Anak Mami, Sayang. Kamu apa kabar, Nak?" tanya seorang wanita yang begitu tiba di meja nomor 15 memeluk perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan 'Keisya.' "Mami rindu sama kamu, Nak." 

Ya. Memang perempuan yang sedari tadi duduk di sana ialah Keisya. Keisya duduk di cafe tersebut dari mulai tempat itu buka hingga menjelang jam makan siang. 

"Sejak kamu mutusin untuk antar Indra Bandara. Sejak saat itu Mami sama Papi sama sekali nggak ngelihat kamu lagi bahkan tahu kabarmu pun tidak sama sekali, Sayang. Kamu … sungguh baik-baik aja, kan, Nak?" Lagi wanita itu terus bertanya.

"Mami ini gimana kalau nanya itu satu-satu dong. Kenapa malah terus-terusan. Tuh lihat!" tunjuk pria bermata empat itu. "Anaknya jadi kebingungan, kan?" 

"Nggak apa-apa kok, Pi. Kei mengerti apa yang Mami rasakan dan sekarang Kei kayak kehilangan arah. Kak Indra …  Kak Indra …." Isak tangis Keisya pun seketika pecah dan membuat semua orang memperhatikannya.

Sebagai seorang ibu. Geisya mencoba memberi ketenangan pada buah hatinya. Meski terlihat jelas bahwa wanita itu sangat mencemaskan putrinya dan penasaran akan apa saja yang terjadi selama sebulan belakangan ini. Yang mereka tahu putrinya ini waktu itu pergi mengantar sang suami untuk dinas ke luar kota. 

Setelah prosesi antar suaminya. Keisya sama sekali tidak pulang ke rumah mereka maupun rumah yang ditempati oleh dirinya dan sang suami. "Mi, Pi! Coba jelaskan sama Kei, apa Kei sebodoh ini sampai-sampai Kak Indra pergi gitu aja? Mi, Pi! Kenapa Kak Indra harus pergi, sih, kenapa?"

"Mami tahu kamu lagi cemas sama kondisi suamimu di luar sana, kan, Sayang? Mami benar-benar paham banget. Cuma … sekarang anak kesayangan Mami ini tenangin diri dulu, ya! Hem … gimana kalau semisal kita pesan makanan dulu. Mau, ya? Kebetulan kami juga belum makan, Nak," sahut Geisya seraya menyenggol lengan Wilan. 

"I-iya, Nak. Pesen makan dulu, ya?" 

Keisya mengangat jemarinya, ia menolak untuk memesan apa pun walau itu hanya minuman sekali pun.

"Sayang! Keisya, kok kamu malah diem, sih? Ada apa?" Dengan penuh kesabaran, Geisya menanyai putrinya.

"Papi penasaran, Mi. Gemes pengen cepet tahu kenapa sedari tadi anak kita nangis terus," tambah Willan.

"Sabar." 

"Keisya pengen dipeluk sama Mami. Apa boleh?" pinta perempuan itu. 

Pelukan itu bukannya menangkan Keisya. Justru semakin menjadikannya histeris. Tak peduli pakaian ibunya basah oleh air matanya. Namun, cara ini setidaknya bisa membuat Keisya sedikit lebih tenang.

"Mami tahu, gak? Kalau sebenarnya Kak Indra itu bukan berangkat ke luar kota, keberangkatannya bukan semata-mata untuk bekerja." Tangan kirinya mengusap genangan air mata. "Tapi … Kak Indra pergi ke luar negeri untuk melakukan pengobatan dan … dan semua itu disebabkan oleh Keisya, Mi, Pi." 

Geisya dan Willan saling bertatap-tatapan. Pelayan yang datang menawari mereka pesanan pun tak diharaukan. Mereka fokus pada putrinya dan membiarkan buah hati tercinta untuk berbicara melanjutkan kalimatnya sempat terpotong. "Hari itu … awalnya Keisya antar Kak Indra buat ke Surabaya. Kalian juga tahu kalau suamiku itu suami yang awalnya Keisya tak ingin ada pernikahan ini meminta izin pergi ke sana. Cuma … setiba di bandara setelah selesai mengantarkan dia …," Keisya lagi-lagi menghentikan uraian kisahnya. Namun, kali ini bukan karena tangisannya. Namun, seseorang datang mengacaukannya.

Tangis haru seketika berubah menjadi suasana menegangkan. Mereka bertiga jadi pusat perhatian para pengunjung cafe tersebut. Sebab adanya orang asing ini berhasil menyulut emosi kedua orang tua Keisya.

"Jadi Indra pergi gara-gara kamu?" Orang itu rupanya Jessica. Keisya bertanya pada ibu dan ayahnya mengapa sampai perempuan itu hadir menganggu ketenangannya. "Emang dasar kamu … perempuan culun, murahan bisanya cuma bikin susah Indra aja!" Jessica hampir saja menyiram Keisya, tetapi Willan berhasil membalikkan hingga akhirnya air minum itu mengenai tubuhnya. "Sialan!" umpat Jessica.

"Kamu ngikutin kami ke sini iya?" Willan membela putrinya seraya bertepuk tangan, "hebat juga ternyata kamu. Sudah diseret oleh istri saya masih punya nyali datang ke sini?" 

"Saya tidak ada urusannya sama kalian, orang tua bau tanah! Saya ke sini ingin anak kalian, mengerti?" 

Keisya melepaskan pelukan ibunya. Alhasil, ia pun buka suara. "Jika kamu datang ke sini untuk mencari suamiku. Salah besar! Karena dia …." 

Plak 

"Keisya!" 


After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang