12.3 Unfolding The Truth

58 9 2
                                    

Navi alias Chika kini benar-benar membara di ruangan tersebut. Bola-bola api yang berada di kedua telapak tangannya, ia membuka jalan keluar dengan menghancurkan kaca yang berada disana. Chika membuat semacam thrust dari kedua telapak tangannya untuk membuatnya melayang. Tanpa berbicara apapun, ia segera pergi dari rumah itu dan bergegas menyelamatkan Jessi yang membutuhkan bantuannya.

"Kamu tidak sayang dengan kakakmu yang dibakar olehnya! Kenapa kau memperingatkannya?" tanya Pak Hartawan ayah Vivi yang kini marah besar kepadanya.

Vivi memberikan mata melotot kepada ayahnya kemudian melempar piring di meja kepada salah satu ajudannya. "Andrew pantas menerima itu untuk semua hal yang telah ia perbuat!"

"Oh jadi kau mendukung orang yang telah menghanguskan kakakmu?" balas Pak Hartawan yang geram mendengar anaknya memihak kepada Chika.

"Perjanjian kita hanya mengajaknya untuk berbincang dan mencari titik terang!" balas Vivi.

Pak Hartawan terdiam sejenak saat menyadari ia tak bisa berargumen dengan anak perempuannya. "Kalau kau tidak peduli dengan Kakakmu, aku juga tidak akan peduli denganmu," balasnya dengan menunjuk ke arah Vivi. Pak Hartawan lalu memetik jarinya dan memerintahkan anak buahnya untuk membawa Vivi. "Habisi dia bersama gadis api itu!" perintahnya.

Vivi memberontak saat ajudan ayahnya memegang erat kedua lengannya. Vivi tak berkata apapun saat ia di bawa entah kemana.

****

Di atas Menara yang dituju, Jessi nampak ketakutan melihat tingginya tempat tersebut. Telapak tangannya memerah memegang erat tali yang mengikat lehernya disitu. Di kejauhan langit malam, ia melihat bola api mendekatinya dengan kecepatan sangat tinggi. "Dewi api!" serunya yang kini tersenyum lebar mengetahui akan ada yang menyelamatkannya.

Chika membuat dorongan api dari kedua kakinya sehingga tangannya dapat digunakan untuk membantu menyelamatkan Jessi.

"Terima kasih Dew..., Chika?" ucap Jessi yang dengan mudah menyadari itu adalah sahabatnya.

"Kok lu..., tau?" balas Chika terbata-bata. Setelah mendaratkan Jessi ke tempat yang aman, kini tinggal gilirannya menghajar anak buah Hartawan.

Jessi menepuk pundak Chika dan memberi sedikit nasihat, "Jangan habisi mereka, mereka punya keluarga!" ujarnya sebelum melepaskan sahabatnya.

Ajudannya yang melihat Chika mulai mendekati mereka dengan dua bola api di kedua tangannya bergegas untuk masuk ke dalam Gedung, ke sebuah ruangan yang sudah diatur untuk menjebaknya.

Sesampainya di ruangan itu, Chika melihat semua orang sudah mengenakan masker yang terhubung selang di langit-langit kecuali dirinya. Saat ia mencoba mengeluarkan bola-bola api, seketika benda itu padam. "No, no, no!" ucapnya panik. Selain itu, ia merasakan udara yang mulai tipis dengan sulitnya ia bernapas.

Kekurangan oksigen membuat kepalanya pusing dan seketika tubuhnya terjatuh diatas lantai. Kemudian masuk Pak Hartawan dengan membawa Vivi yang masih samar-samar ia lihat. Isshou-nya seketika menghilang saat ia tak sadarkan diri dan menjadi siswi biasa.

"Sterilkan dia!" ucap Pak Hartawan melalui mic yang terpasang di dalam maskernya.

Ajudannya kemudian menyemprotkan apar kepadaku seperti sedang memadamkan api yang berkobar serta untuk memisahkan oksigen dari sekitar tubuhnya.

*****

"Kebenarannya adalah, Academy yang di maksud oleh Alumni-alumni itu tidak pernah ada!" ujar Dhike yang sedang berbicara dengan Jinan. Beberapa bulan berlalu setelah ia memberikan Chika kekuatan untuk menjadi bagian dari Idol.

Jinan menangguk, "Gua tahu itu kok, spellbinding yang digunakan mereka ke break entah karena apa jadi gua bisa liat Academy itu sebenarnya apa. Cuma gua pura-pura ikut permainan mereka agar masih hidup!"

Dhike dan Jinan melanjutkan perbincangannya ditemani oleh ayah dan adiknya Zee yang menghantarkan Jinan ke kafe tersebut. Mereka duduk di lantai tiga, di ruangan terbuka dimana mereka dapat melihat lalu lalang MRT sembari menikmati langit Jakarta.

Jinan menegaskan dengan kalimat terakhir tentang Academy tersebut kepada Dhike setelah menceritakan perbandingan keseharian sebelum dan setelah spellbind itu lepas darinya, "Aku melihat mereka tanpa penyamaran, wujud asli mereka nampak menyeramkan. Bermacam-macam bentuk mereka. Terima kasih juga kepadaku, aku menghancurkan surat untuk Zee, Marsha, dan Christy sehingga ia tak bergabung. Dan spellbind itu juga membuat mereka lupa siapa saja yang telah tiada di Academy itu!"

"Sebut nama!"

"Ka Michelle, Vio, Lisa, Aya...,"

"Cukup!" pinta Dhika yang mulai mempercayai Jinan setelah mendengarkan nama-nama tersebut.

***

Kembali ke Zee dan Marsha yang kini terpojok oleh monster dan juga orang-orang yang kini di bawah pengaruhnya. Fiony dan Shani yang berada di bawah pengaruh serta Christy yang setengah berubah menjadi Host.

Marsha melihat banyak sekali pengeras suara di sekitarnya, terpikir sebuah ide untuk memanfaatkan barang-barang tersebut. Ia mencoba mengarahkan kedua telapak tangannya ke benda-benda itu dan membuat barang baru darinya. Kekuatan Technopathy dan Technokinesis-nya sangat membantu dirinya pada saat itu untuk membuat senjata baru. Pengeras suara itu secara bertahap terbongkar hingga terlihat bagian penyusunnya. Kemudian, bagian piringan pengerasnya dirangkai sedemikian rupa oleh Marsha agar ia dapat menggenggam piringan tersebut dengan mudah. Piringan itu dipakai di ujung kepalan tangannya, seperti sarung tinju namun dengan piringan pengeras suara. Bagian-bagian lainnya ia jadikan pelindung untuk lengan dan tubuhnya serta piringan yang tersisa ia buat semacam booster di punggungnya untuk memberinya dorongan ekstra setiap lompatan.

"Kerensa, gua ready!" balas Marsha yang memanggil Zee dengan nama samarannya.

Zee menangguk dan kini mereka berdua terfokus kepada monster itu terlebih dahulu. Shani, Fiony, dan orang-orang yang menghalanginya hanya mereka hempaskan sejauh mungkin dan tidak mereka lawan.

Sementara Christy terpaksa Marsha lawan terlebih dahulu karena cakarannya memberikan kerusakan pada alatnya sehingga terlihat sedikit percikan. Beruntung Christy tak menggunakan Beat-nya, kekuatan yang dimiliki olehnya mampu membuat kekuatan miliknya tak berfungsi akibat listrik darinya.

Saat Monster itu hendak mengeluarkan nada lagi untuk mengontrol tubuh Zee. Marsha melepaskan gelombang suara dari senjata yang dibuatnya untuk melawan nada tersebut.

"Sha, setel suara destruktif buat ganggu gelombang musik monster itu!" pinta Zee setelah melihat efek itu.

Marsha memberikan jempol sambil menghindari beberapa serangan Christy. Jarinya menggeser smartwatch miliknya mencari musik yang sekiranya membantu. "Zee, tutup telinga lu!" ucapnya seraya menekan tombol putar pada jamnya.

'Kusnandarkan..,'

Zee membuka lebar matanya dan mencoba berbicara di tengah suara yang amat menggelegar itu, "Lu ngerekam suara kita pas karoke malem itu?"

Marsha mengangguk dan mengencangkan volume dari senjatanya yang terbuat dari pengeras suara. Tak lupa headset untuk menutup telinganya dari suara bising itu.

'Hati ini menanti..,'

Gelombang suara itu cukup kuat untuk mencerai beraikan tubuh monster musik itu seperti abu. Marsha lalu mengarahkan seluruh speakernya ke arah Christy untuk membuatnya linglung.

Zee berusaha menahan gelombang suara itu saat berusaha memurnikan kembali Christy menjadi manusia dengan Beat Ima Para-Para. Setelah menembak dengan Rythm yang telah dipasangkan Beat tersebut, Xeno yang menempel di wajahnya terlepas dan mati di atas lantai. "Marsha, matiin musiknya!" bentaknya.

Segera Marsha melepas senjatanya dan tercerai berai di tanah. Marsha terjatuh di tanah dengan kepala yang masih linglung akibat getaran musik yang amat keras itu mengalir keseluruh tubuhnya.

KAMONEGIX [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang