Kematian seorang Ardandi Martias Handoko menjadi pukulan telak untuk Mutia. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu masih terisak pilu seusai mengantar mendiang kekasihnya itu sampai ke pemakaman. Bahkan hingga proses pemakaman selesai dan mereka kembali ke rumah pun, Mutia tak berhenti terisak.
Mutia memilih menyendiri dalam kamarnya. Sesekali memukul-mukul dadanya yang terasa begitu sesak. Dia tidak punya masalah pernapasan, jadi sesak dalam dadanya ini sudah pasti karena kehilangan yang ia rasakan.
"Mutia, makan dulu yuk, Nak? Kamu belum makan dari kemarin," bujuk Raisha, Mama dari Mutia.
Terakhir kali Mutia makan adalah kemarin siang. Setelah itu, tak sedikit pun gadis itu mau untuk mengisi perutnya. Hal ini tentu saja membuat Raisha khawatir.
Mutia tak menjawab. Hanya ada keheningan dalam kamar 3 x 5 meter persegi itu.
Tak mendapat jawaban dari anaknya, Raisha memilih pergi. Walaupun khawatir, ia juga ingin memberi ruang untuk anaknya bersedih. Dia tak ingin membuat anaknya harus berpura-pura kuat di depannya. Itu jauh lebih menyakitkan.
Sedangkan di dalam kamar, Mutia membaringkan diri di lantai yang dingin. Tak peduli pada ranjang hangatnya yang melambai-lambai ingin ditiduri. Ataupun pada karpet di samping bawah tempat tidurnya yang biasa ia gunakan untuk bersantai.
Mutia memilih lantai yang dingin. Sebab dia ingin kulitnya tetap merasa. Setidaknya hanya itulah yang bisa gadis itu lakukan untuk menyadarkan diri jika dia masih hidup.
Tak ada lagi lelehan air mata di wajahnya. Lelah rasanya terus menangis sepanjang hari. Ah, tidak, lebih tepatnya Mutia menangis sejak kemarin.
Matanya terasa kebas karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Bahkan sepertinya, matanya sudah sangat bengkak. Sampai-sampai Mutia tidak bisa melihat dengan jelas lagi.
"Aku janji bakal sembuh."
Kilas balik tentang janji Arda kembali muncul. Membuat perasaan yang tadinya kosong kini kembali penuh. Sesak sekali rasanya. Kesedihan memenuhi hatinya hingga rasanya akan meledak.
Jika diibaratkan sel hewan, kini hati Mutia tengah berada dalam larutan hipotonis. Membuat reaksi osmosis terjadi dan air bebarengan masuk ke dalamnya. Menempati setiap inci sel hingga mengalami Lisis.
Ah, di saat-saat seperti ini kenapa sempat-sempatnya memikirkan tentang pelajaran biologi itu sih?
Mungkin karena dulu dia mempelajari materi itu bersama Arda. Orang yang dicintainya. Jadi materi biologi yang satu itu ikut abadi bersama kenangan indah milik kekasihnya itu.
Huft, Arda lagi. Tak bisakah lelaki itu menghilang sejenak dari pikirannya? Bahkan setelah berbeda alam pun, Arda masihlah pemenangnya. Masihlah menjadi seseorang yang selalu ia ingat di sepanjang waktu.
Mutia terkekeh miris dibuatnya.
Kalau dipikir-pikir, Arda itu jahat sekali. Lelaki itu berjanji akan sembuh, tapi mengingkarinya. Lelaki itu yang membuatnya begitu bergantung, tapi lelaki itu juga yang memintanya untuk tetap bertahan hidup walaupun tanpa kehadirannya.
Arda itu ... tanpa sengaja membelenggu Mutia dalam ketergantungan yang tak berkesudahan.
"Kenapa? Kenapa kamu ingkar, Arda?" lirih Mutia.
Air mata yang dikiranya sudah mengering kini kembali hadir. Perasaan hampa mengingat ketiadaan Arda dalam hidupnya benar-benar menyesakkan. Entahlah, Mutia tak tahu kata-kata apa lagi yang mampu mendeskripsikan perasannya.
Mutia sadar betul jika apa yang dialaminya adalah kehendak Tuhan. Dia yakin sepenuhnya jika Arda pun sebenarnya ingin tetap bersamanya. Menikah dengannya, membangun keluarga yang bahagia, hingga menua berdua bersamanya.
Tapi apa yang bisa Mutia lakukan selain meratap? Dia benar-benar hilang akal. Otak dan hatinya terus-terusan menyangkal kenyataan bahwa Arda kini sudah tidak lagi berada di dekatnya.
Kini Arda-nya tak dapat lagi ia peluk. Tak dapat lagi menyanyikan lagu untuknya. Tak mampu lagi untuk sekadar mengucapkan selamat pagi sebelum memulai hari.
Terlalu sibuk meratap, Mutia jadi merasa kehausan. Tapi bagaimana caranya untuk mengambil minum? Untuk bangkit saja dia tak sanggup.
Ralat, bahkan untuk menggerakkan satu jarinya saja, sepertinya Mutia akan kesusahan. Gadis itu benar-benar seperti mayat hidup.
Suasana kamar yang temaram hampir membuat Mutia tak mampu melihat apapun. Sebab lampu kamar belum ia nyalakan. Tentu saja, sedari pagi gadis itu bahkan hanya sibuk berbaring di lantai tanpa melakukan apapun.
Mutia merasa badannya begitu kaku karena tak bergerak selama berjam-jam. Rasanya sakit saat bergerak barang satu senti saja. Tapi jika tidak dipaksakan, maka sampai besok pun ia akan berada pada posisi yang sama.
Menyerah dengan kesakitan di tangannya, Mutia memilih menggerakkan leher. Menatap satu persatu ornamen yang berada dalam kamarnya. Tak begitu terlihat karena tertutup oleh kegelapan.
Namun, ada satu ornamen yang membuat Mutia terpaku. Hah, sedari tadi Mutia mencoba merilekskan diri dengan menatap pemandangan yang nyatanya tak bisa ia lihat. Sekalinya ada yang bisa ia lihat, itu adalah papan yang berisi potret kebersamannya dengan Arda.
Sialan! Arda memang sialan! Tak bisakah lelaki itu menghilang dari pikirannya sebentar saja? Mutia bahkan harus mati-matian mengabaikan apapun tentang lelaki itu agar tak mengingatnya. Tapi dengan sebuah foto saja ingatan itu langsung menghujam masuk dengan keras.
Karena kesal, Mutia memaksa tubuhnya untuk bergerak. Tangannya mulai menopang tubuh bagian atasnya. Sehingga kini posisinya setengah duduk. Seketika tangannya gemetar. Tentu saja, setelah berjam-jam tidak bekerja, tangan itu justru dipaksa menopang beban yang lumayan berat.
Rasa sakit yang tiada tara mulai terasa. Tangannya keram. Tak bisa digerakkan untuk segera bangkit ataupun kembali berbaring.
Dengan tenggorokan yang masih kering kerontang, Mutia tak dapat melakukan apapun. Jangankan berteriak meminta tolong, untuk berbicara sedikit saja rasanya tidak bisa.
Ah, apa ini yang Arda rasakan setiap harinya? Apakah Arda merasakan kesakitan yang sama? Atau justru lebih sakit?
Kalau benar Arda merasakan rasa sakit ini setiap hari, Mutia mulai dapat mencerna semuanya. Mulai memaklumi perkataan Arda yang memintanya untuk bahagia tanpanya. Memaklumi jika pada akhirnya ... Arda memilih menyerah pada keadaan.
Tidak, Mutia masih belum bisa menerima jika ia kehilangan Arda. Hanya saja, membayangkan Arda merasakan rasa sakit ini setiap hari membuatnya begitu jahat. Jahat karena memaksa lelaki itu untuk tetap di sampingnya, tanpa peduli apakah ia kesakitan atau tidak. Sedangkan Mutia saja sudah merasa putus asa kala merasakan rasa sakit seperti ini untuk pertama kalinya.
Pening mulai menyerbu kepalanya. Rasa sakit yang tadinya hanya berasal dari tangannya kini mulai menyebar. Hingga tanpa sadar, air mata Mutia mulai mengeluarkan buliran bening.
Semakin ia mencoba bertahan, maka semakin pening pula kepalanya. Pandangannya sudah memburam. Hingga lama kelamaan terasa gelap.
Mutia pingsan di kamarnya. Tanpa seorang pun mengetahui.
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance in Another Universe
RomanceKefrustasian Mutia atas meninggalnya sang kekasih membuatnya melampiaskan melalui karya. Mutia menerbitkan novel yang menceritakan kisah hidupnya bersama sang kekasih. Perbedaannya adalah dalam novel itu, Mutia dan sang kekasih akan hidup bahagia be...