13. Kefrustrasian

57 10 0
                                    

"Argghhh!!" Raungan itu terus menggema di sepenjuru ruangan.

Mutia mengacak-ngacak meja kerjanya. Beberapa barang jatuh berhamburan. Untung saja laptop yang juga berada di atas meja tak ikut tersapu oleh tangan Mutia.

Raisha masih dilanda kebingungan. Tadi anaknya begitu sibuk dengan ponselnya. Kemudian gadis itu tiba-tiba saja mengamuk dan memberantakkan seisi ruangan.

Saat Mutia sibuk memberantakkan ranjang, Raisha mengambil ponsel milik Mutia. Ponsel itu tergeletak tak berdaya setelah sempat Mutia banting tadi. Raisha segera membukanya dan menemukan notifikasi berita mengenai tunangan anaknya.

Raisha terpaku. Ini ... pasti hanya salah paham. Bagaimana mungkin waktunya bisa setepat ini? Arda memaksa untuk tetap berangkat walaupun Mutia memohon. Kemudian lelaki itu tiba-tiba saja lupa mengabari anaknya. Dan selanjutnya, berita mengejutkan tiba-tiba saja dimuat dalam salah satu media massa ternama.

Arda ... tidak mungkin selingkuh, kan?

Raisha menggelengkan kepalanya. Dia harus tetap waras untuk putrinya. Tak peduli sesakit apapun perasaannya ketika melihat kondisi Mutia, dia harus tetap kuat. Mutia butuh seseorang yang bisa dijadikan sandaran.

"Mutia, tenang dulu, Sayang!" mohon Raisha. Wanita itu memeluk erat anaknya.

"Gimana aku bisa tenang kalau cowok aku di sana selingkuh, Ma? GIMANA?!" bentak Mutia di akhir.

Gadis itu mengurai pelukannya dan kembali mengamuk. Botol minum yang berada di nakas samping tempat tidur dilemparkannya ke kaca. Biarlah kaca itu pecah. Hatinya jauh lebih hancur daripada kaca itu.

"Nak, mungkin itu cuma salah paham. Kamu tau 'kan media sekarang suka nyebarin berita tanpa fakta yang jelas?" Raisha mencoba membuat putrinya berpikir positif. Setidaknya itulah yang bisa ia lakukan untuk menenangkan Mutia sementara.

"Salah paham? SALAH PAHAM MAMA BILANG?! MAMA NGGAK LUPA KAN KALAU YANG BIKIN BERITA ITU MEDIA TERPERCAYA?"

Raisha menatap Mutia sendu. Ternyata begini rasanya dibentak anak sendiri. Raisha tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Yang jelas ini sangat menyakitkan.

Semarah apapun Mutia, dia adalah anak yang sopan. Tak pernah sekali pun gadis itu membentak orang lain dengan begitu kerasnya. Tapi saat ini Mutia mampu membentak mamanya sendiri hanya karena melihat berita kekasihnya menghabiskan waktu dengan gadis lain.

Di saat seperti ini Raisha jadi berpikir, apakah Arda benar-benar pasangan yang tepat untuk anaknya? Bagaimana jika berita itu ternyata mengungkap kebusukan Arda yang selama ini lelaki itu simpan dengan rapat? Apa yang akan terjadi pada Mutia jika benar Arda meninggalkannya?

Raisha yakin Mutia akan terpuruk. Ditinggal konser saja Mutia sudah shock. Apalagi untuk menerima kenyataan bahwa Arda bukanlah untuknya.

Sementara di sisi lain, Mutia kembali mencoba menghubungi Arda. Berharap lelaki itu mengangkat teleponnya. Kemudian menjelaskan bahwa yang dilihatnya hanya salah paham.

Tak diangkat. Arda benar-benar tidak bisa dihubungi. Dan itu membuat Mutia semakin menggila.

"Nak, sudah, Mutia. Tenang dulu ya. Kita cari solusinya sama-sama." Raisha kembali memeluk Mutia. Tak peduli rontaan putrinya yang melukai dirinya.

"Enggak! Lepasin! Aku mau ketemu Arda." Mutia terus meronta. Kuku panjangnya tanpa sengaja mencakar lengan Raisha yang memeluknya..

"Akh!" Raisha spontan melepaskan pelukannya. Wanita itu menatap tangannya yang kini dihiasi bekas cakaran dengan darah yang mulai mengalir keluar dari sana.

Tersadar, Mutia segera mendekati mamanya. Gadis itu berkaca-kaca. Merasa bersalah karena sudah melukai ibunya.

"Mama, maaf," kata Mutia menyesal.

Raisha mendongak. Tersenyum lembut saat menatap wajah anaknya yang tampak menyesal.

"Mama gapapa. Sekarang kita ke rumah Arda, ya? Mungkin kita bisa dapet jawaban di sana."

🌷🌷🌷

Jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun, pasangan ibu dan anak itu sudah berdiri di hadapan rumah seseorang. Hendak bertamu.

Sebenarnya, Raisha merasa tidak sopan. Hanya saja dia lebih memilih untuk bersikap tidak sopan daripada harus melihat anaknya mengamuk seperti orang gila. Itu sangat menyakitkan, sungguh.

Apalagi saat melihat anaknya yang tak berhenti menangis di perjalanan. Raisha jadi semakin yakin kalau keputusannya sudah benar. Lagipula, kedua orang tua Arda memang harus bertanggung jawab atas apa yang lelaki itu lakukan, kan?

Raisha menghampiri satpam yang berjaga di depan rumah. Penjaga kediaman keluarga Handoko itu lantas mengizinkan mereka untuk masuk setelah mengobrol sejenak. Dia kenal betul siapa dua orang itu, calon besan dan calon mantu keluarga Handoko.

Sampai di depan pintu rumah, Raisha menghubungi Tania. Memberitahukan kedatangannya yang begitu mendadak. Beberapa menit setelahnya, Tania muncul dari balik pintu rumah dengan penampilan yang sedikit acak-acakan. Mungkin ibu dari Arda itu buru-buru turun karena takut Mutia dan Raisha menunggu lama.

"Ada apa, ya? Kok tumben banget kalian datang sepagi ini," tanya Tania sesampainya di ruang tamu.

Raisha adalah tipe manusia yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Tidak mungkin wanita itu bertamu sepagi ini jika tidak ada sesuatu yang penting. Karena itu Tania memilih langsung bicara tanpa menawarkan makanan atau minuman.

Melihat Mutia yang masih belum tenang, Raisha memilih angkat suara. "Kamu sudah dapat kabar dari Arda? Biasanya 'kan dia selalu ngabarin kalau sudah sampai."

Tania mengernyit. Bukannya Mutia yang seharusnya ditanyai seperti itu? Karena anak lelakinya itu malah lebih sering mengabari Mutia dan kerap lupa untuk mengabarinya.

Tania melirik ke arah Mutia. Wanita itu terkejut saat sadar bahwa Mutia menangis tersedu-sedu. Calon mertua Mutia itu spontan menghampirinya dan memeluknya.

"Mutia kenapa, Sayang. Kok nangis?" tanya Tania lembut. Dia sudah menganggap Mutia seperti anaknya sendiri. Melihat Mutia sedih seperti ini membuatnya ikut merasa sakit.

"Arda nggak ada kabar dari kemarin, Bunda. Aku telpon nggak diangkat terus," jelas Mutia sambil sesenggukan.

"Mungkin Arda lupa, Sayang. Kamu jangan khawatir, dia pasti baik-baik aja kok. Arda itu anak yang kuat!" hibur Tania. Wanita itu mengelus lembut rambut kecoklatan milik Mutia.

"Tapi tadi Mutia baca berita tentang Arda. Katanya Arda tahun baru-an sama cewek lain. Mutia kesel, Bunda. Dia nggak bisa ngabarin Mutia tapi bisa jalan sama cewek lain. Mutia juga takut Arda bakal ninggalin Mutia."

Tania terkejut mendengar ucapan Mutia. Wanita itu segera membuka ponselnya. Mencoba memastikan kebenaran dari apa yang disampaikan calon menantunya itu.

Perasaan Tania terasa tercabik-cabik membaca berita di ponselnya. Dia tidak menyangka bahwa anaknya akan sejahat ini. Apalagi di foto itu Arda dan seorang perempuan yang entah siapa sedang berpelukan. Wajar saja kalau Mutia menggila.

Tania menghubungi suaminya. Dia tidak bisa menyelesaikan ini sendirian. Riu lebih tahu apa yang harus dilakukan.

"Sayang? Kenapa telpon? Aku udah bilang 'kan kalau hari ini nggak pulang?"

"Arda kepergok media lagi pelukan sama cewek, Mas. Tolong pulang sekarang."

"..."

"Mas?"

"Aku pulang sekarang."

Sambungan dimatikan. Tania meletakkan ponselnya. Memeluk kembali Mutia yang masih menangis.

"Yang sabar ya, Nak. Papa bentar lagi pulang. Kalau bener Arda nyakitin kamu, biar Papa yang hukum dia."

***
To Be Continued

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang