51. Janji Mutia

15 2 0
                                    

Mutia merasa jika ketegangan ini terus berlangsung, maka dia akan benar-benar kehilangan ibunya. Jadi gadis itu memilih memangkas habis egonya. Memulai sebuah tindakan setelah pertengkaran mereka.

Ketukan pintu senantiasa terdengar di telinga Raisha. Dia tahu itu anaknya. Sayangnya, dalam hati tak ada keinginan untuk membuka. Biar saja dikata jahat, dia benar-benar sudah muak.

Salahkah untuk Raisha marah? Dia adalah seseorang yang merawat Mutia dengan susah payah, bahkan sejak berada di dalam kandungan. Namun, usahanya dianggap angin lalu oleh anaknya itu.

"Ma, maaf. Tolong keluar! Kita butuh bicara, Ma." Pada akhirnya hanya itu yang bisa Mutia utarakan.

Apakah Mutia tidak bisa mengungkapkan pikirannya sekarang? Tentu saja bisa. Hanya saja tak ada jaminan jika Raisha akan mendengarnya dengan baik. Lagipula dia juga ingin tahu dengan apa yang berada dalam pikiran orang yang telah melahirkannya itu.

"Ma, aku tau kalau aku salah, dan aku minta maaf karena itu. Tapi aku juga punya alasan, Ma. Walaupun alasan ini pastinya nggak akan membenarkan tindakanku, seenggaknya aku pengen mama denger dulu," bujuk Mutia sekali lagi. Buku-buku jarinya sudah memerah akibat terlalu lama bergesekan dengan sang pintu kayu.

"Tolong, Ma. Tolong yakinin aku untuk tetap hidup di sini, di dunia nyata. Tolong buat aku percaya kalau melepas semua dunia khayalan adalah pilihan terbaik. Tolong! Cuma Mama yang bisa bikin aku yakin sekarang. Cuma Mama alasan aku mau balik ke dunia ini lagi."

Di dalam sana, Raisha mengepalkan kedua tangannya. Sedikit bingung, apakah setiap anak diberkati kemampuan manipulasi? Mengapa ada saja cara yang mereka lakukan untuk meluluhkan orang tuanya?

🌷🌷🌷

Pada akhirnya, di sinilah kedua insan itu berada. Di dalam ruang keluarga yang sunyi. Tanpa ada satu pun yang hendak memecah atmosfer ini.

Hingga lima belas menit telah berlalu, keadaan masih sama. Raisha, sebagai seorang ekstrovert mulai muak dengan keheningan ini. Pertemuan ini terasa ... membuang waktu.

"Mama sibuk, kalau kamu ngajak mama ke sini cuma buat diem aja, mending bubar. Kerjaan mama banyak." Raisha memperingati.

Yang diperingati menghela napasnya panjang. Seingatnya, sang ibu tak pernah sebegitu marahnya hingga mendiamkannya seperti ini. Perbuatannya pasti sudah keterlaluan.

"Aku ... ngerasa kesepian, Ma," buka Mutia.

Namun, ucapan itu ternyata menyulut emosi sang lawan bicara. Buktinya, wanita yang melahirkannya itu baru saja menggebrak meja ruang keluarga.

"Terus kamu anggap apa Mama, hah?!" teriaknya.

Sungguh, Raisha sakit hati. Upayanya selama lebih dari dua puluh tahun menjadi orang tua tunggal rupanya tak berarti apa-apa. Padahal, ia tak menuntut apa pun. Dia hanya ingin putrinya sembuh dan bisa menjalani hidup dengan normal.

Apakah dia salah?

"Mama bisa nggak sih dengerin aku dulu?!" Mutia balas berteriak. "Aku juga capek kayak gini! Capek fisik, capek mental. Aku juga butuh dingertiin, Ma."

Kali ini, Mutia tak dapat lagi menahan isak tangis yang sudah dibendungnya. Gadis itu menutup wajahnya dengan telapak tangan, lantas menangis di sana. Sesekali gadis itu berkata lirih.

"Aku juga capek, Ma ..."

Sementara itu, Raisha memalingkan wajahnya. Tak ingin luluh hanya karena tangisan anaknya. Bukannya itu adalah kesalahan Mutia sendiri yang menolak untuk sembuh?

Selama ini, Raisha melakukan segalanya untuk Mutia. Meliburkan sanggar sampai kehilangan beberapa murid hanya karena menemani Mutia memulihkan diri setelah kehilangan Arda. Kerja mati-matian demi membiayai pengobatan Mutia pasca kecelakaan. Bahkan, Raisha tak ragu untuk kembali menghabiskan uangnya demi kesehatan mental putrinya.

Lantas, apakah ini balasan yang Mutia berikan?

Raisha tak ingin apa-apa, sungguh. Dia masih sanggup bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Dai juga tak berminat mengatur kehidupan pribadi anaknya. Keinginannya hanya satu, Mutia hidup normal dan bahagia.

"Mama selalu ngertiin kamu loh, Tia. Kamu terpuruk setelah kematian Arda, apa Mama marah? Enggak! Satu tahun loh, Mama yang selalu nemenin kamu. Mama yang nyemangatin kamu pas lagi down. Meluk kamu waktu kamu nangis. Kurang ngerti apa lagi?" omel Raisha.

"Sesekali, kamu yang coba ngertiin mama. Tolong mengerti kalau mama juga masih manusia biasa. Kesabaran mama masih punya batas. Mama juga bisa capek, sedih, kecewa, marah. Apa kamu pernah ngelakuin hal yang sama ke Mama? Pernah kamu tanya, 'gimana perasaan Mama hari ini?' Pernah kamu mikir, kalau Mama juga terpuruk setelah kepergian Papa kamu?" lanjutnya dengan suara yang mulai bergetar.

"Ya, sama, Ma! Aku juga terpuruk. Kenapa harus saling menyalahkan? Selama ini, aku bingung harus cerita ke siapa karena takut Mama terbebani sama masalahku. Dan beneran 'kan? Baru kayak gini aja Mama udah marah-marah. Apalagi Mama tau masalah ini dari awal?"

"Itu karena kamu nggak pernah cerita sama Mama—"

"YAUDAH MAKANYA SEKARANG DENGERIN!" Mutia tak dapat lagi mengontrol emosinya.

Beberapa waktu ini, emosinya sedang tidak stabil. Dia sendiri bingung, kenapa hal itu terjadi. Mungkin ini salah satu efek samping obat dan terapi yang dilakukannya.

Merasa bersalah karena membentak ibunya, Mutia menundukkan kepala. Mencoba mengontrol emosinya. Sedangkan yang lebih tua juga berusaha untuk lebih bersabar. Dia harus bisa bersikap dewasa saat ini.

"Aku ... udah boleh cerita?" lirih Mutia yang hanya diangguki oleh Raisha. Wanita itu takut, jika ia membuka mulutnya lagi maka perdebatan akan dimulai.

"Aku sayang sama Mama. Sayaaannnggg banget. Tapi aku juga sayang Arda. Kalau Mama tanya kenapa aku pengen menatap di dunia novel, jawabannya karena di sana ada kalian berdua. Di sini, aku cuma punya Mama. Sedangkan di sana, aku punya kalian berdua.

Aku minta maaf, mungkin Mama sakit hati denger pernyataan aku barusan. Maaf aku lupa kalau perjuangan Mama supaya aku bertahan di sini itu luar biasa besarnya. Aku janji, setelah ini akan berobat dengan benar. Tapi tolong banget, maklumin aku kalau terkadang aku stres ya, Ma? Aku juga nggak mau kayak gini, Ma. Perjuanganku satu tahun penuh, runtuh gitu aja. Tapi ini takdir Tuhan."

🌷🌷🌷

Setelah perdebatan panjang yang melelahkan, hari itu Mutia meminta Raisha untuk menemaninya pergi menemui Dwi. Katanya, Mutia sudah membuat janji dengan psikiaternya itu. Mendengar kabar itu, Raisha tentu saja bahagia. Mutia berinisiatif untuk berkonsultasi, bukannya ini berarti gadis itu benar-benar ingin sembuh?

Dan di sinilah pasangan ibu dan anak itu. Ruang periksa psikiater Dwi. Kali ini, Mutia tak meminta Raisha untuk keluar. Berharap ibunya itu percaya jika dia benar-benar bertekad untuk sembuh.

"Jadi bagaimana, Mutia? Sudah merasakan efeknya?" sapa Dwi ramah.

Mutia mengangguk pelan, menarik napas sebelum mengatakan sesuatu yang mengejutkan.

"Aku ... boleh minta diresepin obat penenang, nggak?"

***
To Be Continued

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang