2. Perihal Kehilangan

112 7 1
                                    

Matahari pagi yang masuk melalui celah ventilasi kamar membangunkan sosok gadis yang masih pulas. Gadis itu mulai mengerjapkan matanya. Mencoba menyesuaikan matanya dengan cahaya sekitar.

Mutia tidak ingat apa yang terjadi kemarin. Hanya saja kepalanya terasa begitu pening. Begitu juga dengan perutnya yang sedikit keram. Apa kemarin ia telat makan?

Mutia memilih mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di kepala ranjang. Merilekskan tubuhnya yang tumben sekali terasa begitu kaku. Padahal biasanya, Mutia selalu bangun dalam keadaan yang segar karena sering melakukan meditasi ataupun yoga.

Menolehkan kepala ke kanan, Mutia menemukan ponselnya di atas nakas. Gadis itu tersenyum hangat. Teringat jika ia harus segera menghubungi kekasihnya.

Saat ini sudah pukul tujuh pagi. Kekasihnya itu pasti akan memarahinya karena terlambat bangun. Ah, mengingat kemarahan Arda yang tidak serius itu, membuatnya merasa gemas.

Mutia membuka media sosialnya. Sedikit berkerut bingung kala melihat banyak notifikasi pesan dari teman-temannya. Tapi gadis itu abai. Memilih langsung membuka ruang obrolan yang berada di paling atas karena sudah ia sematkan.

Lagi-lagi, Mutia sedikit keheranan saat tak ada satu pesan pun dari kekasihnya. Padahal biasanya laki-laki itu akan mengiriminya banyak pesan, bahkan menelponnya berkali-kali hanya untuk membangunkannya. Tapi kali ini tak ada satu pun pesan atau telepon, membuat Mutia lagi-lagi merasa aneh.

Sekali lagi, Mutia memilih abai. Mengirimkan pesan berupa ucapan selamat pagi dan permintaan maaf karena terlambat bangun. Sayangnya, semua pesan itu justru berakhir dengan tanda centang satu.

Kali ini Mutia tidak bisa lagi abai. Tak biasanya Arda masih offline ketika matahari sudah menunjukkan dirinya. Maka gadis itu memilih untuk menelpon kekasihnya.

Tidak ada jawaban. Tentu saja, Arda kan sedang tidak aktif. Seketika Mutia merasa bodoh.

Sebelum bertindak gegabah lagi, Mutia memilih untuk berpikir terlebih dahulu. Gadis itu mengingat kejadian apa yang terjadi kemarin. Siapa tahu karena kejadian itu, sekarang Arda masih tidur karena kelelahan.

Mutia kehilangan senyum setelahnya. Semangatnya yang beberapa menit lalu masih berkobar kini bagai api yang disiram air, mati seketika. Terkekeh, merasa miris karena melupakan hal sepenting ini.

Bagaimana bisa Arda mengiriminya pesan? Bagaimana bisa Arda membalas pesannya? Bagaimana bisa Arda mengangkat teleponnya? Bagaimana bisa dia melakukan semua itu ketika ... raganya bahkan tak lagi mampu bergerak.

Arda telah pergi.

Tiga kata mutlak itu memukul telak kewarasan Mutia. Menghancurkan seluruh kebahagiaan yang ada saat ia bangun tadi. Menghancurkan angan-angan tentang betapa menggemaskannya Arda saat merajuk.

Ah, Mutia benci perasaan ini. Bukan, bukan perasaan sakit yang ia maksud. Tapi kehampaan yang seakan membunuhnya perlahan.

Jika hanya rasa sakit, Mutia bisa mengatasinya dengan menangis. Setelah menangis, sudah pasti akan terasa lega. Itulah yang biasa ia lakukan jika dalam suasana hari yang buruk.

Namun, rasa hampa ini ... apa yang harus ia lakukan? Ini benar-benar pertama kalinya ia merasakan hal seperti ini. Mungkin karena dulu saat ayahnya meninggal, ia masih kecil. Sehingga tak banyak kenangan yang tercipta.

Tapi kini situasinya berbeda. Arda-nya telah pergi. Orang yang selama empat tahun ke belakang menggantikan posisi ayahnya, kini telah menyusul ke alam sana. Meninggalkan beribu-ribu kenangan indah yang justru begitu menyakitkan saat dikenang.

Mutia tak akan lupa bagaimana Arda akan membangunkannya di pagi hari. Setelah itu kekasihnya akan menggendongnya ke kamar mandi. Bertanya, apakah gadis itu ingin mandi sendiri atau dimandikan. Jawabannya? Tentu saja Mutia memilih mandi sendiri. Seberapa lama pun mereka pacaran, tak pernah sekalipun mereka melewati batas. Bahkan mereka tak pernah berciuman.

Selepas mandi, Arda akan menyeretnya ke bawah untuk makan. Hal itu kekasihnya lakukan karena Mutia adalah orang yang malas makan. Padahal gadis itu memiliki riwayat penyakit lambung.

Sayangnya, semua perhatian Arda itu tak akan ia dapatkan lagi. Sudah lama sebenarnya. Arda tentu tak dapat melakukan kebiasaan itu saat tubuhnya hanya mampu terbaring lemah di rumah sakit.

Tapi saat itu ... setidaknya Mutia memiliki harapan untuk bisa melakukannya lagi di masa depan.

Harapan itu sudah musnah sejak Mutia menggenggam tangan Arda yang sudah kaku dan dingin. Wajah yang biasanya menampilkan senyuman hangat untuknya, menjadi datar tak berekspresi. Lengan yang biasa digunakan untuk memeluknya itu sudah tak dapat bergerak lagi.

Sebab sang pemilik raga telah pergi. Pergi ke tempat yang begitu jauh untuk menemui Sang Pencipta. Mungkin yang dapat Mutia lakukan saat ini adalah mendoakan kekasihnya itu agar mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.

"Aku cinta kamu. Kamu mau nurutin apapun yang aku mau 'kan?" Kala itu Arda tahu hidupnya tak lama lagi. Ia bahkan dapat merasakan detak jantungnya yang semakin menggebu. Begitu cepat hingga ia kesulitan bernapas. Hanya saja, dia tak ingin menampakkannya. Tak ingin Mutia semakin khawatir.

"Selama aku bisa, aku bakal ikutin. Apapun itu," jawab Mutia sembari menciumi tangan dalam genggamannya.

"Aku mau kamu tetap bahagia apapun yang terjadi nanti. Entah aku ada di samping kamu ataupun enggak, aku mau kamu tetap bahagia."

Hempasan tangannya menjadi jawaban dari Mutia. Gadis itu menatap Arda marah. Matanya berkaca-kaca, membuat kekasihnya merasa bersalah.

"Aku nggak bisa." Singkat, padat, dan sangat jelas.

"Kamu harus bisa, Tia. Kamu harus. Karena aku nggak tau sampai kapan aku bisa bertahan. Jadi aku mohon, kalau kamu emang cinta sama aku, tetap bahagia apapun yang akan terjadi."

Mutia terkekeh miris saat kilasan memori terputar kembali. Buliran bening lagi-lagi turun melalui kedua pipinya. Bahkan ketika bengkak di matanya kemarin belum benar-benar sembuh.

"Kamu jahat, Arda," lirih Mutia.

"Kamu yang buat aku bergantung. Katamu, kamu lebih suka kalau aku andalkan. Katamu, aku tak perlu melakukan apapun karena ada kamu." Mutia berhenti sejenak mengambil napas. Dadanya mulai terasa sesak.

"Setelah semua yang kamu lakuin itu ... kamu kira aku masih bisa hidup seperti biasa tanpa kamu? Enggak! Aku nggak punya siapa-siapa lagi untuk jadi sandaran setelah kamu pergi." Isakannya semakin deras, dada yang semakin sesak pun mulai dipukul untuk menetralkan rasa sakitnya.

Tanpa diketahui, Raisha sedari tadi berdiri di depan pintu kamar. Memperhatikan apa yang dilakukan anaknya. Mulai dari bangun dengan semangat, memeriksa ponsel, menelpon seseorang, hingga berakhir kembali terisak.

Menyakitkan.

Sepertinya hanya itu satu kata yang pantas mengekspresikan perasaan Raisha saat ini. Melihat anaknya yang ia besarkan dengan susah payah, kini frustasi dan hanya mampu menangis seharian. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu sepertinya dibanding melihat penderitaan anaknya.

Raisha memilih melenggang ke dapur. Makanan yang ia bawa tadi sudah mendingin karena terlalu lama ia bawa berdiri. Jadi wanita itu berinisiatif memanaskan kembali makanannya. Tak ingin anaknya memakan makanan yang sudah mendingin.

Awalnya, Raisha ingin menjadi sosok yang kuat untuk anaknya. Menjadi sosok ibu yang bisa menjadi sandaran. Hanya saja, pemandangan tadi terlalu menyakitkan sampai Raisha tak mampu menahan air matanya.

Selesai dengan aktivitasnya, ibu dari Mutia itu kembali ke kamar anaknya. Mengelus lembut kepala Mutia yang tengah berbaring miring. Mencoba membujuk walau tahu apa yang akan ia dapatkan.

"Nak, makan dulu ya? Mama nggak mau kamu sakit."

Iya, keheningan.

***

To Be Continued

Second Chance in Another Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang